Kamis, 08 Januari 2009

POLITIK TANPA ETIKA: APAKAH MASIH LEGITIM?

Perseteruan antara Israel dan Palestina tanpa dapat disangkal oleh siapa pun ternyata menyisakan duka, kecemasan, keprihatinan, dan kengerian yang sangat mendalam. Bagi kita yang hanya dapat mengikuti peristiwa itu dari berita, foto dalam Jawa Pos edisi Selasa, 6 Januari 2009, pada halaman paling depan, dapat menjadi sumber untuk menilai betapa kejamnya perseteruan itu. Sebuah fakta yang menampilkan sebuah pemandangan yang sangat memprihatinkan. Seorang bapak yang ditenangkan oleh kerabatnya setelah menyaksikan ketiga anaknya yang masih balita tewas akibat serangan tentara Israel. Pemandangan ini jauh lebih mengerikan ketimbang dentuman bom, atau letupan senjata berapi.
Sangat memprihatinkan dan mengerikan karena pemandangan itu merupakan cermin yang paling nyata semakin tidak berharganya manusia di satu sisi, dan ambruknya pondasi dan citra moral manusia di sisi lain. Fenomena ini sekaligus merupakan representasi yang sangat jelas bahwa politik dan kekuasaan tidak lagi diintesikan untuk mengabdi manusia, sebaliknya manusialah yang harus mengabdi politik dan kekuasaan. Jika logika semacam ini dikembangkan, maka citra manusia tidak akan lebih dari sebuah “barang” tidak berharga yang bisa diperalat untuk mempertahankan politik dan kekuasaan, sekalipun itu harus ditempuh dengan mengorbankan jiwa-jiwa yang tidak berdosa dan menghalalkan segala cara.


Apakah skema penjabaran politik dan kekuasaan semacam ini legitim? Kalau kita berpedoman pada apa yang dipikirkan oleh Machiaveli maka fenomena pengejawantahan politik dan kekuasaan seperti yang saat ini diterapkan oleh Israel adalah sah. Sah karena bagi Machiaveli, seorang filosof yang merupakan salah satu pendiri filsafat politik modern ini, politik harus terpisah dari etika. Politik merupakan ranah yang incompatible dengan etika. Politik memiliki hukum dan keutamaannya sendiri, yang berbeda dengan hukum dan keutamaan yang dikedepankan oleh etika. Etika lebih mengedepankan perihal bagaimana manusia dapat hidup dengan baik sesuai dengan tatanan, kaidah-kaidah, dan nilai-nilai manusiawi. Sedangkan politik adalah ranah yang berurusan dengan soal bagaimana seorang penguasa menata negaranya, membela dan mempertahankan kekuasaannya, menjaga stabilitas keamanan negaranya, dan membela kepentingan rakyatnya sendiri.
Machiaveli setuju dan mengakui bahwa etika dengan segala artibut keutamaannya adalah sesuatu yang baik, terpuji dan luhur. Akan tetapi politik bukanlah persoalan yang dapat digandengkan atau bahkan disatukan dengan dunia etika. Jika seorang penguasa berani menempatkan etika di atas pertimbangan politis, maka pada saat itu juga dia harus siap dengan konsekuensi kehancuran kekuasaannya. Dalam tataran real, tidak satu pun penguasa menghendaki kehancuran kekuasaannya. Atau kehancuran negaranya. Karenanya seorang penguasa harus berani menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan etis demi keutuhan negara dan kekuasaannya.
Itulah Machiaveli. Mari sekarang kita merunut pendapat yang memiliki nada yang berbeda. Aristoteles ternyata memiliki pendapat yang berbeda dengan Machiaveli. Aristoteles, yang dikenal sebagai filosof klasik, berpendapat bahwa politik memiliki relasi yang tak terpisahkan dari etika. Berbeda dengan Machiaveli yang memisahkan antara politik dan etika, Aristoteles justru berpendapat bahwa politik sangat mengandaikan etika. Etika merupakan dasar dari pengembaraan dan penjabaran politik. Dasar dari tesis ini adalah kodrat manusia. Manusia dari kodratnya adalah makluk sosial atau makluk politik atau makluk yang hidup bersama dengan manusia lain. Definisi ini sekaligus hendak mengatakan bahwa hidup dalam kebersamaan dengan manusia lain merupakan representasi dari kesempurnaan jati diri manusia. Kesempurnaan manusia tercermin pada relasi harmonis dengan sesamanya. Bertolak dari kenyataan ini, Aristoteles berpendapat bahwa setiap tindakan yang berusaha merusak dan menghancurkan sesamanya merupakan tindakan yang tidak hanya kejam, melainkan juga tindakan yang bertentangan dengan kodrat manusia.
Dalam konteks ini yang menjadi tugas negara atau pemerintah adalah mengupayakan hidup dan berkembangnya relasi antar manusia. Tidak hanya agar tidak terjadi peperangan dan pertumpahan darah, melainkan terutama agar setiap manusia dimungkinkan untuk merealisasikan kesempurnaan dirinya. Disinilah terletak ukuran legitimasi sebuah kekuasaan pemerintahan atau negara. Menurut Aristoteles, sebuah kekuasaan dapat dikatakan legitim jika mengedepankan kaidah-kaidah kebenaran etis yang meniscayakan setiap manusia bertumbuh kembang dan menjadi sempurna dalam jalinan hubungan antar manusia.