Kamis, 11 Maret 2010

ZONA AMAN

Keluar dari zona aman.... memang berat... tetapi ketika kita berhasil melewatinya.... kita akan menjumpai diri kita sebagai pribadi yang segar... seperti layaknya manusia yang baru.


TANTANGAN

tantangan, hambatan, dan godaan.... adalah fakta yang seringkali tak terhindarkan dari proses tumbuh kembang kita.... sekaligus merupakan piranti yang akan mendulang dan memurnikan hidup kita menjadi pribadi yang dewasa dan matang... syaratnya: kita harus memiliki kecerdasan untuk mengolahnya.


CINTA DAN BENCI

kalau kita bangga jika dicintai dan disanjung oleh orang lain... apakah alasanya kita harus gelisah kalau dibenci oleh orang lain? bukankah cinta dan benci itu seperti dua sisi dari mata uang yang sama? Yesus, sosok pribadi yang sempurna pun ternyata juga tidak terlepas dari fakta itu. Yesus dicintai banyak orang, tetapi pada saat yang sama Yesus juga dibenci oleh banyak orang.


CITRA DIRI

Tanpa disadari, seringkali kita memposisikan diri kita sebagai yang lebih baik dari orang lain. pencitraan diri semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa kita mudah membicarakan kejelekan orang lain, mengadili orang lain, sementara kita sendiri sulit untuk menganalisa dan mengakui segala kelemahan dan keterbatasan diri kita.


CINTA DAN PERJUMPAAN

Pagi itu, dalam kesempatan ngobrol sambil makan bersama, seorang sahabat bercerita mengenai rasa jengkelnya. Rasa jengkel itu muncul karena dia dan lembaga yang dia pimpin dicap tidak peduli terhadap nasib orang miskin. “Bagaimana mungkin saya dinilai tidak mencintai orang miskin? Setiap tahun – kalau dihitung – saya mengeluarkan sedikitnya 300 juta untuk orang miskin.” “Oh… berarti kamu mengukur cinta kepada orang miskin dengan seberapa rupiah yang kamu keluarkan?” Pikirku dalam hati. Dengan pola pikir ini rasanya kita tidak terlalu sulit untuk membuat kesimpulan tentang sikap kita terhadap orang miskin: semakin sedikit uang dan barang yang kita berikan kepada orang miskin, maka semakin kecil pula rasa cinta kita kepada orang miskin. Sebaliknya, kita dapat dikatakan mencintai orang miskin jika semakin besar jumlah uang dan barang yang kita sumbangkan untuk menopang hidup orang miskin.
Benarkah demikian? Bernarkah uang dan barang itu adalah ukuran utama untuk mengatakan bahwa saya mencintai orang miskin atau tidak? Kalau itu benar, maka selama saya tidak memiliki uang dan barang, maka saya pasti tidak bisa dikatakan mencintai orang miskin. Dan sebaliknya saya akan dapat dikatakan mencintai orang miskin, jika saya mempunyai uang dan atau barang yang bisa saya sumbangkan untuk orang miskin.
Logika ini sekurang-kurangnya semakin menyadarkan saya akan fenomena yang sering terjadi saat ini. Bukan hanya sahabat saya, ternyata mayoritas orang jaman sekarang seringkali mengukur partisipasinya dalam kehidupan orang lain, terutama mereka yang miskin, dengan pemberian materi. Dan logika inilah yang menghantarkan orang-orang jaman ini dalam keengganan untuk memasuki kehidupan orang miskin. Keengganan ini biasanya disertai banyak alasan. Misalnya: saya sibuk, tidak punya waktu, itu bukan tugas saya, dan seterusnya.
Tidak hanya berkaitan dengan keengganan, tetapi logika di atas seringkali menjebak kita pada sikap-sikap mengadili orang miskin, keputus-asaan, dan seterusnya. Ada sahabat lain pernah bercerita: “menolong orang miskin… untuk apa? Saya sudah mengorbankan puluhan juta, tetapi ternyata orang miskin masih tetap miskin. Rasanya sia-sia saya mengorbankan banyak hal untuk orang miskin”. Inilah efek yang langsung kentara jika kita mengukur keterlibatan dalam hidup orang miskin dengan uang dan materi. Kita akan merasa sia-sia. Putus asa. Dan mungkin justru akan membenci orang miskin.
Apakah memberi uang dan materi kepada orang miskin itu salah? Tidak. Tetapi uang dan materi tidak bisa secara serta merta dijadikan patokan dalam pelayanan kepada orang miskin. Seorang tokoh Jerman, Frederic Williem Raiffeisen mengatakan: “Yang bisa menolong orang miskin adalah orang miskin itu sendiri!” Kalau kita setuju dengan pendapat Frederic, maka uang dan materi yang kita berikan kepada orang miskin sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian banyak faktor pelayanan atau keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Di atas uang dan materi ada faktor yang lebih mendasar, yaitu orang miskin itu sendiri. Frederic hendak mengatakan bahwa kalau kita ingin menolong orang miskin, maka faktor pertama yang harus menjadi fokus perhatian kita adalah orang miskin itu sendiri, dan bukan uang atau barang. Mengapa demikian? Ya tentu saja karena orang miskin adalah subjek atau pelaku utama perubahan. Kita tidak mungkin merubah orang miskin. Maka yang mungkin untuk kita lakukan adalah mengupayakan piranti-piranti yang meniscayakan orang miskin untuk bangkit, tumbuh dan berkembang. Sudah barang pasti, agenda ini tidak bisa kita tempuh hanya melalui pemberian uang dan barang. Kebangkitan, komitmen untuk tumbuh kembang akan menjadi keniscayaan jika kita sungguh-sungguh masuk dalam dunia dan kehidupan orang miskin. Dan untuk itu tidak bisa tidak kita harus berjumpa dengan orang miskin.
Apa pentingnya perjumpaan? Seperti halnya perjumpaan-perjumpaan pada umumnya, perjumpaan dengan orang miskin akan menghantar kita pada dialog kehidupan. Saling berbagi. Saling mendengarkan. Saling belajar dan memberi inspirasi. Saling memupuk empati. Tataran paling mendalam dari perjumpaan adalah lahirnya benih-benih relasi yang didasari ketulusan kasih cinta yang saling menumbuhkan dan memberdayakan.


PRIBADI-PRIBADI DI SEKITAR SALIB

Salah satu cara untuk mengisi masa prapaskah, selain dengan pantang dan puasa, doa dan amal, adalah dengan merenungkan tokoh-tokoh yang hadir di sekitar salib. Tokoh utama dalam peristiwa salib adalah Yesus. Dari tokoh utama ini kiranya tidak perlu ada paparan yang panjang lebar, karena fokus kita selama masa prapaskah selalu ke sana.
Sebagai pribadi yang sedang dalam peziarahan untuk meneladan Yesus, kita dapat bercermin pada tokoh-tokoh yang hadir di sekitar salib Yesus. Tokoh pertama yang dapat kita sebut adalah Simon dari Kirene. Dari pelbagai sumber yang ada, kita tahu bahwa Simon dari Kirene adalah seorang kafir, bekerja sebagai tukang kebun. Ketika dipaksa oleh para serdadu romawi untuk memanggul salib Yesus, Simon baru saja pulang dari kerja. Bisa dibayangkan, pada saat itu Simon berada dalam kondisi yang sangat lelah. Reaksi-reaksi seperti marah, jengkel, dan yang semacamnya rasanya juga tidak sulit untuk dipahami, karena selain dalam kondisi sangat lelah, tugas yang dibebankan oleh para serdadu kepada Simon adalah tugas yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan dirinya. Meskipun pada awalnya Simon bergulat dengan aneka bentuk penolakan, tetapi toh pada akhirnya Simon menyediakan diri untuk memanggul salib Yesus.
Simon dari Kirene adalah cermin pribadi yang memiliki beban tersendiri dalam hidupnya, tetapi toh dalam situasi semacam itu dia merelakan dirinya untuk meringankan beban orang lain. Inilah pelajaran berharga yang dapat kita petik dari Simon. Sadar atau tidak kadang-kadang kita terjebak dalam jalan pikiran: “bagaimana mungkin kita bisa menolong orang lain kalau diri kita sendiri terbelit masalah atau beban hidup?” Logika ini tidak seluruhnya salah, tetapi sering kali justru karena logika inilah kita menjauhkan diri dari pelbagai macam bentuk beban hidup yang ditanggung oleh sesama kita.
Simon dari Kirene sekali lagi hendak menyadarkan kita bahwa untuk bersikap solider, berani terjun dalam pelayanan, tidak perlu kita menunggu diri kita sempurna terlebih dahulu. Bahkan pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa sering kali solidaritas atau pelbagai bentuk pelayanan adalah piranti yang sangat baik untuk semakin memurnikan diri kita, mencerahkan hidup kita, dan menjadi sumber inspirasi untuk perkembangan hidup kita.
Tokoh yang kedua adalah Veronika. Seperti halnya Simon dari Kirene, Veronika adalah gambaran dari pribadi yang lemah, yang tidak memiliki kekuatan apapun untuk merubah situasi. Menyaksikan Yesus yang sedang menderita memanggul salib pun dia hanya bisa menangis. Tetapi toh dalam ketidak-berdayaannya itu, Veronika masih menyimpan kreatifitas untuk menunjukkan kepedulian dan rasa simpati terhadap Yesus. Mengusap wajah Yesus. Sebuah tindakan yang sangat sepele, tetapi memberikan arti dan kesan yang sangat mendalam bagi Yesus. Dari Veronika kita bisa belajar bahwa sikap peduli kepada sesama yang sedang menderita, tidak selamanya harus dicetuskan melalui hal-hal atau sikap-sikap yang spektakuler. Sebaliknya hal-hal atau sikap-sikap yang sangat sederhana, kecil, sepele, tetapi kita lakukan dengan ketulusan hati, seringkali justru menjadi daya kekuatan yang luar biasa bagi sesama kita yang sedang menderita untuk terus bangkit dan berjuang.
Selain kedua tokoh di atas, kita masih bisa belajar dari Maria dan para murid Yesus. Mereka adalah pribadi-pribadi yang setia menemani Yesus dalam penderitaannya. Dari mereka kita bisa belajar tentang pentingnya kehadiran dalam hidup sesama kita yang sedang menderita. Uang, rumah, kendaraan, dan pelbagai kebutuhan fisik lainnya mungkin sangat diperlukan oleh mereka yang menderita. Tetapi lebih dari semua itu, sesama kita yang menderita sesungguhnya memerlukan kehadiran seorang sahabat. Beranikah dalam masa prapaskah ini kita mengkonkritkan puasa dan pantang kita dengan menjadi sahabat bagi sesama kita yang sedang menderita?



KASIH

Entah sejak kapan mulainya, manusia sudah terlalu sibuk dengan urusan: ingin lebih bertambah kaya, ingin lebih bertambah pandai, ingin lebih populer, ingin lebih berkuasa, dan seterusnya. Ujung-ujungnya tidak sedikit manusia yang terjerat oleh pelbagai bentuk situasi “frustasi”, merasa gagal, merasa tidak bisa meraih cita-citanya. Tidak hanya itu. Tidak sedikit pula manusia yang rela mengorbankan orang lain hanya demi kekuasaan, jabatan, kesuksesan, gengsi, dan ambisi-ambisi pribadinya.

Bunda Theresa dalam salah satu bukunya menulis demikian: “ Didalam akhir hidup kita, kita tidak akan dihakimi dengan seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, atau seberapa banyak perkara besar yang telah kita lakukan, Kita akan di hakimi dengan ‘Ketika Aku lapar kamu memberi Aku makanan, Ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, Ketika Aku tidak punya rumah, kamu memberi Aku tumpangan’… Saya tidak tahu pasti seperti apa surga itu, tetapi yang saya tahu adalah ketika kita meninggal, dan pada saatnya Tuhan menghakimi kita, Dia tidak akan menanyakan Berapa banyak perbuatan baik yang kita lakukan dalam hidup kita, tetapi Dia akan menanyakan Berapa banyak kasih yang anda taruh dalam setiap perbuatanmu.”Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus juga menulis demikian: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Kor 13:1-3).
Ketika ditanya mengenai hukum yang utama, Yesus menegaskan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Mat 22:37-39).
Dengan pelbagai kutipan ini yakinlah kita bahwa kasih merupakan piranti yang tidak bisa kita lupakan dalam hidup kita. Tetapi justru ternyata sesuatu yang pokok ini sering kita lupakan. Mari kita upayakan berkembangnya budaya kasih, agar hidup kita semakin menjadi sejarah yang saling membahagiakan dan saling menumbuh-kembangkan.


LIMA PESAN NATAL DALAM TAHUN BARU

Ketika merayakan Natal dan Tahun Baru, pertanyaan ini sering kita dengarkan: “Apa kira-kira makna Natal dan Tahun Baru bagi Anda?” Tidak salah jika pertanyaan itu selalu kita ulang, mengingat memang Natal dan Tahun Baru harus kita maknai seiring dengan situasi, pergulatan, dan perkembangan hidup kita. Kali ini saya ingin menyodorkan kepada Anda sebuah refleksi Natal dan Tahun Baru berdasarkan lima keutamaan hidup yang diajarkan dan dihayati oleh Santo Vinsensius, Pendiri Kongregasi Misi (CM) dan Puteri Kasih (PK).
Kesederhanaan:
Santo Vinsensius mengajarkan bahwa kita harus selalu berusaha menjadi pribadi yang sederhana. Yaitu pribadi yang apa adanya, jujur dalam kata dan perbuatan, pribadi yang menjunjung tinggi keselarasan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Inilah makna dari kesederhanaan. Dan sikap ini pulalah yang ingin ditampilkan oleh Yesus dalam peristiwa Natal. Kelahiran Yesus di dunia bertujuan menyelamatkan manusia dari dosa, agar manusia memperoleh kebahagiaan sejati. Dan tujuan inilah yang dalam hidup-Nya dibela dan diperjuangkan sampai mati. Yesus tidak memiliki agenda lain kecuali tujuan ini. Yesus tidak menyembunyikan apa-apa. Yesus tidak mempunyai agenda terselubung. Yesus tidak memiliki saku rahasia.

Kelembutan Hati:
Menurut Vinsensius, orang yang lembut hati adalah orang yang mampu menahan diri dari kemarahan. Orang dikatakan lembut hati juga apabila dia”care”, hangat dalam berelasi, dan berpikir positif tentang orang lain. Pesan ini terlihat sangat jelas dalam peristiwa Natal. Ketika Maria dan Yosef ditolak oleh pemilik penginapan untuk melahirkan Yesus, mereka tidak marah. Sebaliknya mereka tetap menampilkan diri sebagai pribadi yang simpatik dan berpikir positif. Dalam periode-periode selanjutnya dari kehidupan Yesus, kelembutan hati itu kelihatan sangat jelas. Yesus memperhatikan kita. Yesus tidak mengadili kita, seperti yang juga ditunjukkan kepada perempuan yang berdosa (Yoh 8:2-11)

Kerendahan Hati:
Santo Vinsensius memaknai kerendahan hati sebagai kejujuran, keterbukaan, dan kegembiraan sikap dalam menerima dan mengakui segala kelemahan dan ketidak-pantasan kita. Yesus yang adalah Allah sendiri tidak malu lahir sebagai manusia miskin yang ditolak di mana-mana. Yesus juga tidak malu ketika orang-orang disekitarnya meremehkan dan menghina Dia karena Dia adalah anak tukang kayu yang miskin.

Matiraga:
Arti yang paling mendalam dari matiraga menurut Vinsensius adalah sikap yang tidak terikat pada segala sesuatu yang membuat kita tidak leluasa untuk datang kepada Allah. Kemiskinan Natal antara lain juga hendak menunjukkan kepada kita makna matiraga yang sesungguhnya, yaitu agar Yesus tidak terikat oleh apapun di dunia ini, selain oleh Allah. Bahwa Yesus tidak terikat oleh apapun di dunia ini sangat jelas juga kita lihat dalam kisah tentang godaan di padang gurun. (Mat 4: 1-11).

Penyelamatan Jiwa-jiwa:
Penyelamatan jiwa-jiwa adalah totalitas sikap dan tekad untuk membangun relasi yang mesra kepada Allah dan sesama. Dalam peristiwa Natal, pesan ini tidak terlalu sulit untuk kita tangkap. Pesan ini akan semakin jelas kalau kita menghubungkan Natal dan Paskah. Kelahiran dan kematian Yesus di atas kayu salib adalah bentuk yang paling kokrit dari totalitas sikap Yesus untuk menyelamatkan kita agar relasi kita dengan Allah dan sesama yang telah rusak karena dosa menjadi pulih dan mesra kembali.

Natal dan Tahun Baru merupakan dua moment yang terjadi beriringan. Sekiranya Tahun baru kita maknai dalam kerangka pesan-pesan Natal di atas, betapa indahnya hidup kita.