Rabu, 04 Februari 2009

KEBEBASAN DALAM FILSAFAT LOUIS LEAHY DAN DALAM PEMIKIRAN MANUSIA JAWA

TELAAH FILSAFAT PERBANDINGAN

1. PENGANTAR
Kebebasan. Sebuah ide yang senantiasa aktual dalam panorama perkembangan peradaban manusia. Dikatakan demikian karena kebebasan merupakan problem esensial dan eksistensial yang secara terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar. Maka dalam hal ini harus dikatakan juga bahwa kebebasan merupakan karakter dasar manusia. Kebebasan merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas.

Dalam tulisan yang singkat ini penulis mencoba menelisik ide kebebasan berdasarkan dua latar belakang pemikiran yang berbeda, yaitu pemikiran Louis Leahy dan pemikiran manusia Jawa. Dengan Louis Leahy dimaksudkan sebuah rujukan pemikiran barat. Dan dengan manusia Jawa dimaksudkan sebuah representasi pemikiran timur. Kedua latar belakang pemikiran ini akan dibahas secara terpisah terlebih dahulu supaya kekhasan masing-masing latar belakang kelihatan secara tegas. Pada tahap selanjutnya, penulis akan mencoba melihat keduanya dalam kesatuan pembahasan untuk menelaah aspek-aspek perbedaan dan kesamaannya, dan kemudian mencoba mencari gagasan yang lebih universal tentang arti kebebasan.
2. KEBEBASAN DALAM FILSAFAT LOUIS LEAHY
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is self-determination”. Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri. Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.
Berangkat dari pengertian kebebasan secara umum, seperti yang diuraikan di atas, secara ringkas Louis Leahy kemudian membedakan tiga macam atau tiga bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.

2.1. Kebebasan Fisik
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik. Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia. Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya.
Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.

2.2. Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia.
Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia “bisa” berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak. Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B. Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu. Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah.

2.3. Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Contohnya suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah “saya mengambil dompet itu.” Dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: “atau dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya.” Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak saya. Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.

3. KEBEBASAN DALAM TRADISI JAWA
3.1 Kebebasan dan Sikap Heteronomi Manusia Jawa
Sebagai awal telaah tentang paham kebebasan dalam pemikiran manusia Jawa, berikut ini penulis mencuplik dialog kecil antara seorang ayah dan seorang anaknya. “Wiriaatmadja menggelengkan kepalajna: ‘anak-anak sekarang pajah kita hendak mengertinja, pendapatnja selalu berlainan dengan kita; apa jang kita katakan baik, katajna tidak baik’. ‘Bukan begitu, bapa!’ kata Tuti pula menjambung kata ayahjna. ‘Bukan mereka sengadja selalu hendak bertentangan dengan orang-orang tua. Jang bertentangan itu hanjalah pendapatnja tentang bahagia, tentang arti hidup kita sebagai manusia.” Dialog kecil ini merupakan representasi yang sangat konkrit pemikiran manusia Jawa. Manusia Jawa seringkali diidentikkan dengan manusia yang memiliki corak pemikiran dan karakter tradisional dan tertutup terhadap aneka bentuk pembaharuan. Itu karena di dalam masyarakat Jawa atau di dalam panorama hidup manusia Jawa, terdapat sederetan norma. Maka ketika hendak melakukan sesuatu atau hendak melakukan penilaian terhadap suatu tindakan, pertanyaan pertama yang dicetuskan oleh manusia Jawa adalah: “apakah tindakan itu sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak?”.
Seluruh hidup manusia Jawa diatur secara ketat oleh bermacam-macam peraturan, larangan, dan tabu. Kebebasan manusia Jawa untuk bertindak dan berpikirpun tak terlepaskan dari konteks hidup semacam ini. Manusia Jawa mengartikan bahwa sebuah tindakan dikatakan bebas jika sesuai dengan peraturan, larangan, dan tabu yang sedang berlaku. Dengan demikian, dalam hidup manusia Jawa, peraturan, larangan, dan tabu merupakan sesuatu yang sangat penting. Penting karena pada norma-norma itulah sebuah tindakan konkrit diukur dan dinilai baik atau buruk, bebas atau tidak bebas. Sikap seperti ini disebut heteronom. Artinya suatu sikap di mana manusia membiarkan diri diatur dari luar. Manusia tidak menentukan diri sesuai dengan apa yang dimengertinya dan disetujuinya. Sebaliknya manusia selalu menyesuaikan diri pada hukum, aturan-aturan, larangan-larangan, dan tabu-tabu yang berlaku dalam masyarakat. Penyesuaian itu bukan karena manusia mengerti dan menyetujui maksud norma-norma atau hukum-hukum tersebut, melainkan karena “asal saja” tindakan itu sesuai dengan hukum.

3.2. Kebebasan dan Sikap “Rumangsan” Manusia Jawa
Manusia Jawa “rumangsan”, artinya perasa bahwa tindakannya selalu diperhatikan oleh sesamanya. Manusia Jawa adalah manusia yang takut terhadap penilaian negatif dari sesamanya. Oleh karenanya, manusia Jawa selalu “takut” untuk melakukan tindakan yang melanggar tatanan kesusilaan dan adat kesopanan. Rasa takut ini kemudian menggiring manusia Jawa dalam ranah ketidak-bebasan untuk bertindak. Pandangan bahwa sesama merupakan sumber pembicaraan yang memalukan dirinya, juga meniscayakan manusia Jawa menjadi pribadi yang takut untuk melakukan sesuatu secara terbuka.
Manusia Jawa, sebagaimana manusia pada umumnya, sebenarnya sangat menghendaki sebuah iklim kebebasan, di mana mereka dimungkinkan untuk bertindak dan mengaktualkan dirinya secara leluasa. Tetapi di sisi lain, di dalam hidupnya manusia Jawa tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari “mitos” dan paradigma yang negatif tentang kehadiran sesama dalam hidupnya. Kondisi dilematis inilah yang akhirnya mengantarkan manusia Jawa kepada pemahaman bahwa manusia Jawa adalah makhluk yang sangat cerdik dalam menyembunyikan dan menutup-nutupi segala tindakan yang tidak dibenarkan oleh norma-norma yang berlaku. Karakter “rumangsan” dalam manusia Jawa hendak menggambarkan tipe kepribadian manusia yang belum otentik, belum mempunyai kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bebas.

3.3. Kebebasan dan Kebangkitan Manusia Jawa dari Sikap Fatalistik
Manusia Jawa pada umumnya identik dengan sikap dan gagasan fatalistik. “Urip manungsa pinasti ing Pengeran”. Begja-cilakaning manungsa pinesthi ing Pengeran. Dengan ungkapan-ungkapan ini, manusia Jawa hendak mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia merancang hidupnya, kesudahannya Tuhanlah yang menentukan. Ini adalah sikap dan gagasan yang fatalistik. Dan sikap ini sangat merata dalam masyarakat Jawa. Konsekuensi logis dari paradigma ini adalah bahwa bagi manusia Jawa apa yang disebut dengan kebebasan merupakan sesuatu yang semu. Dikatakan demikian karena manusia Jawa yakin bahwa hidup ini merupakan produk faktor-faktor misterius yang tidak diketahui oleh manusia dan tak mungkin dirubah oleh manusia. Dalam hal ini satu-satunya sikap yang mungkin dilakukan oleh manusia adalah menerima keadaan sebagaimana adanya.
Sikap dan gagasan semacam ini dalam perkembangannya mengalami perubahan. Tradisi dan ajaran-ajaran keagamaan, mencuatnya aneka bentuk kemajuan pembangunan di bidang perekonomian dan kebudayaan merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan perubahan paradigma manusia Jawa. Manusia Jawa dalam perkembangannya tidak lagi terjebak dalam pandangan yang fatalistik. Sebaliknya manusia Jawa sangat menghargai otonomi dirinya. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai subjek penentu nasibnya sendiri.
Dengan pergeseran paradigma ini, manusia Jawa mulai menyakini bahwa hidup bukanlah sesuatu yang statis dan deterministik. Sebaliknya hidup merupakan suatu perjalanan dan upaya yang dinamis. Hidup juga bukanlah sebuah sikap tinggal diam dan menyerahkan nasib kepada Tuhan. Sebaliknya hidup merupakan pengejawantahan kebebasan untuk terus maju dan berubah ke arah yang lebih baik.

4.4. Kebebasan dan Paham Kemanunggalan
Di atas kita sudah melihat secara sangat singkat beberapa karakter manusia dalam hubungannya dengan ide kebebasan. Manusia Jawa itu heteronom. Manusia Jawa itu rumangsan. Manusia Jawa itu fatalistik. Karakter-karakter ini merupakan sesuatu yang terbentuk dengan alasan yang sangat jelas. Pada bagian ini penulis hanya akan memaparkan satu alasan yang sangat mendasar, yaitu paham kemanunggalan atau paham keesaan atau bisa juga disebut paham keharmonisan.
Manusia Jawa adalah makhuk yang sangat menaruh perhatian kepada kemanunggalan atau keharmonisan. Tidak hanya dalam hubungannya dengan sesama, tetapi juga keharmonisan dalam kaitannya dengan kosmos dan dengan sang Ada. Di sini kemanunggalan dimaknai sebagai keseluruhan yang terkoordinasi, atau keseluruhan sistem yang terintegrasi secara fungsional, “bulat”, meliputi yang “kasar” dan yang “halus”, rasio dan rasa, lahir dan batin. Semuanya mengambil bagian dalam kesatuan yang ada, terkoordinasi, berhubungan secara hirarkis, dan berada dalam keseimbangan yang harmonis dan tenteram.
Paham ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi etika Jawa dan sikap terhadap hidup. Dalam proses pengambilan keputusan secara musyawarah, kemanunggalan yang hirarkis dan terkoordinasi diwujudkan dalam mufakat atau keputusan yang “bulat”; dan kesatuan harmonis dalam kelompok tercetus dalam cita-cita dan praktek gotong-royong, saling membantu, dan dalam cita-cita “rukun”. Dalam kaitannya dengan individu, paham kemanunggalan menegaskan bahwa manusia individual haruslah dikoordinasi dan harus menjadi bagian harmonis sesamanya.
Keketatan dan keteraturan konsep kemanunggalan dalam menetapkan koordinasi, koinsidensi, ternyata tidak hanya menimbulkan dampak-dampak positif bagi hidup dan perilaku manusia Jawa. Sebaliknya paham kemanunggalan juga menyiratkan serentetan dampak yang yang negatif. Dengan paham kemanunggalan, hidup manusia Jawa menjadi sebuah panorama perjalanan yang sangat ritual dan deterministik. Dalam pamam Jawa, makna kebebasan menjadi semu, karena semua yang ada di dunia ini pada dasarnya sudah tertata dan harus demikian. Dan dengan demikian hidup tidak lebih dari sebuah perjalanan yang mengalir, yang mengikuti kondisi yang sudah dipastikan ke kondisi pasti yang lain.

4. GAGASAN TENTANG KEBEBASAN DIPERBANDINGKAN
Kebebasan dalam filsafat barat, sebagaimana direpresentasikan oleh Louis Leahy, memperoleh penjabaran yang sangat tegas. Freedom is self-determination dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari tataran fisik, psikologis, dan moral. Dalam pemikiran manusia Jawa, gagasan kebebasan semacam ini ternyata juga mendapat pengakuan. Memang, dalam keyakinan-keyakinan awalnya, manusia Jawa sangat sarat dengan kecenderungan berpikir heteronom, rumangsan, dan fatalistik. Namun dalam dinamika perkembangan dan pergulatannya, akhirnya manusia Jawa sampai juga pada keyakinan bahwa dirinya adalah faktor penentu hidupnya. Manusia Jawa adalah makhluk yang otonom. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Manusia Jawa mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang otonom; bebas. Namun pada saat yang sama manusia Jawa sebenarnya tidak bisa menegasi bahwa dirinya harus taat pada aneka tatanan moral-sosial dan kosmos yang melingkupi dirinya. Berbeda dengan apa yang tertuang dalam gagasan Louis Leahy. Sebagaimana tercetus dalam pemahaman manusia Jawa, Louis Leahy juga mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari kosmos atau alam semesta. Namun pada saat yang sama Louis Leahy menegaskan bahwa manusia terpisah dari alam semesta. Artinya walaupun dalam kenyataannya manusia hidup di dalam alam semesta ini, namun manusia mempunyai kemampuan untuk tidak begitu saja ikut arus gerak alam semesta ini. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyatukan, sekaligus melepaskan diri dari semua pengaruh lingkungan alam sekitarnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Namun dengan kebebasannya manusia mampu mengekang keinginan-keinginan yang muncul dalam dirinya untuk suatu tujuan yang lebih tinggi. Demikian juga manusia mempunyai keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera selama hidup di dunia. Namun semua itu dapat saja dikorbankan, tentu saja dengan landasan kebebasannya, untuk mencapai kebahagiaan sejati, yaitu persatuan abadi dengan Allah di surga.
Gagasan yang tegas semacam ini tidak kita temukan dalam pemahaman manusia Jawa. Mengapa? Karena dalam pemahaman manusia Jawa menjaga keselarasan atau keharmonisan dengan tata alam semesta, atau dengan aturan-aturan moral perilaku yang lainnya bukanlah hukum yang bisa dipertanyakan. Dan manusia Jawa memang tidak pernah mempertanyakan hal itu. Sebaliknya keharmonisan, keselarasan, dan kerukunan bagi manusia Jawa merupakan pedoman hidup yang harus ditaati. Dengan pondasi gagasan ini, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam pemahaman manusia Jawa kebebasan itu sebenarnya tidak ada?
Dalam pemikiran manusia Jawa, kebebasan itu sebenarnya ada. Bahkan mungkin harus dikatakan bahwa manusia Jawa adalah makhluk yang sangat menunjung tinggi kebebasan. Dikatakan demikian karena konsep kebebasan pada tataran yang paling esensial tidak bisa secara serta merta dimengeti sekedar dengan logika sebab akibat. Misalnya: manusia menghendaki kebebasan. Di sisi lain, manusia selalu hidup dalam tatanan kosmos yang bagi manusia harus ditaati. Lantas disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya tidak mungkin menghendaki kebebasan. Kesimpulan semacam ini tidak valid, pertama-tama karena sama sekali tidak memperhitungkan sebuah kedalaman arti dari terminologi kebebasan. Pada titik ini Louis Leahy kiranya dapat membantu kita untuk menemukan jawaban yang lebih valid. Seperti halnya dipikirkan oleh manusia Jawa, Louis Leahy juga mengakui bahwa manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia sadar bahwa hidupnya tergantung pada kondisi-kondisi tertentu dari alam semesta. Manusia tidak bisa melawan dan menolak gejala-gejala alamiah, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Meskipun demikian, tanpa harus melanggar hukum-hukum alam itu, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, manusia dengan kebebasannya mampu mengubah dunia.
Konsep yang sama juga berlaku dalam penjabaran ide kebebasan dalam kaitannya dengan realitas manusia sebagai makhluk yang harus berinteraksi dengan sesamanya. Di atas kita sudah melihat bahwa manusia Jawa sangat erat dengan sikap “rumangsan”. Dalam konteks ini, kalau ditelaah secara lebih mendalam, manusia Jawa sebenarnya memiliki konsep yang sangat serupa dengan apa yang dipikirkan oleh Louis Leahy. Menurut Louis Leahy manusia adalah makhluk yang pada hakekatnya sedang menyempurnakan diri. Dalam hal ini juga harus dikatakan bahwa dinamika manusia itu adalah dinamika kearah penyempurnaan sesamanya. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup bersama dan membentuk kesatuan dengan sesamanya. Manusia tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan menyempurnakan diri bersama-sama dengan sesamanya. Karena itu dinamika penyempurnaan diri manusia tidak bisa tidak juga merupakan penyempurnaan sesamanya. Hal itu juga berarti bahwa manusia harus menyempurnakan masyarakat sekitarnya. Maka pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara tujuan manusia sebagai pribadi dan tujuan masyarakat di mana dia hidup dan menyempurnakan dirinya. Menyempurnakan diri berarti menyempurnakan masyarakat. Begitu pula sebaliknya, menyempurnakan masyarakat berarti menyempurnakan diri manusia sendiri. Di sinilah terkandung makna yang sangat jelas mengenai ide kebebasan manusia. Manusia yang menyempurnakan diri adalah manusia yang bebas.
Hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi dan masyarakat tersebut dalam arti tegas bukan berarti mencampurkan begitu saja antara pengertian manusia sebagai pribadi dan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini diartikan sebagai suatu asosiasi individu-individu yang mempunyai tugas menyempurnakan dirinya. Sedangkan manusia dipandang sebagai persona yang terbuka terhadap masyarakatnya. Jadi manusia merupakan bagian dari masyarakat. Jika masyarakat itu dianalogikan dengan sebuah tubuh. Maka manusia sebagai pribadi merupakan bagian-bagian tubuh itu, seperti tangan, kaki, dan semacamnya. Dalam posisinya itu, kebebasan manusia sebagai pribadi terletak dalam keterbukaannya untuk senantiasa menyempurnakan dirinya dan menyempurnakan masyarakatnya.

5. PENUTUP
Bertolak dari dua paham kebebasan, yaitu menurut manusia Jawa dan Louis Leahy, pada akhir pembahasan ini penulis hendak menegaskan bahwa kebebasan sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dan dijunjung tinggi oleh manusia, baik itu manusia Jawa maupun manusia barat. Keduanya berangkat dari latar belakang pemikiran yang berbeda, tetapi keduanya memiliki pemahaman yang serupa, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


1. DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993
2. Laurentius Heru Susanto, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991
3. History Of Philosophy Quarterly, Vol.4, No.1, Januari, 1987
4. Richard Taylor, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, United States of America, 1983
5. History Of Philosophy Quarterly, Vol.9, No.1, Januari, 1992
6. P. Leenhouwers, Manusia Dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988
7. German Grisez / Russell Shaw, Beyond The New Morality: The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974
8. Basis, No.7, Tahun XXXVII, 1998
9. Lorens bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
10. History of Philosophy Quarterly, Vol.15, No.2, April 1998
11. K. Bertens, Filsafat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985
12. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
13. DR. Franz Magnis-Suseno, SJ, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989
14. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1985
15. Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990
16. The Journal Of Philosophy, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995
17. The Journal Of Philosophy, Vol.XC, No.2, Pebruari, 1993
18. Bernard J.F. Lonergan, Insight, Darton Longman and Todd, London, 1958
19. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993
20. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third edition), New York, 1976
21. DR. Franz magnis-Suseno, SJ, dkk, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989
22. Dr. Phil. Franz Magnis Suseno SJ, dan Dr. S. Reksosusilo CM, Etika Jawa Dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai, Kanisius, Yogyakarta, 1983
23. DRS. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1984
24. Dr. Stephanus Ozias Fernandez SVD, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Nusa Indah, Ende, 1990
25. Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional, Panji Pusaka, Yogyakarta, 2006
26. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
27. Ernst Cassirer, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico, Bandung, 1985
28. Sutarjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983
29. M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989
30. Prof. DR. N. Drijarkara SJ. Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1969
31. Johannes Messner, Social Ethhics: Natural Law In The Western World, B. Herder Book Co., St. Louis And London, 1965


2 komentar:

  1. Schreib doch bitte nochmal ein wenig ausführlicher.
    Möchte gerne mehr über das ganze hören.
    Take a look at my blog post :: www.dampfer-katalog.de

    BalasHapus
  2. Best Mobile Casino Apps in Ireland 2021 - JTGHub
    Best 양주 출장안마 Mobile Casino Apps in Ireland 2021 — Looking to use an 순천 출장마사지 iPhone or Android mobile casino app? Read 전라북도 출장안마 on for 고양 출장안마 all 여수 출장마사지 your details on the top iOS

    BalasHapus