Jumat, 20 November 2009

UPAH DAN KEPRIHATINAN GEREJA

Hati kami tersayat oleh rasa sedih yang mendalam, menyaksikan pemandangan yang memilukan: jutaan kaum buruh di sekian banyak negeri dan benua-benua akibat tidak layaknya upah, mereka terpaksa hidup bersama keluarga mereka dalam keadaan yang sama sekali tidak layak manusiawi… Di antara negeri-negeri itu kekayaan tak terduga besarnya, kemewahan yang tak terkendali pada kelompok kecil yang sangat beruntung, merupakan kontras yang tajam dan mengerikan sekali terhadap kemiskinan kebanyakan penduduknya yang sungguh keterlaluan. Diberbagai kawasan dunia orang-orang ditimpa oleh perampasan-perampasan yang tidak manusiawi. Di negeri-negeri lain persentase cukup besar penghasilan diserap dalam pembangunan “prestige nasional” dalam arti yang salah. Di negeri-negeri yang sudah maju perekonomiannya, jasa-jasa yang relatif tidak penting, dan jasa-jasa yang nilainya diragukan, sering mendapat imbalan yang tinggi sekali di luar segala proporsi, sedangkan kerja keras yang bermanfaat, dijalankan oleh jumlah amat besar orang-orang yang dengan jujur membanting tulang, mendapat imbalan yang kecil sekali. Upah yang mereka terima sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup. Upah itu sama sekali tidak sepadan dengan sumbangan mereka kepada kesejahteraan masyarakat, kepada keuntungan perusahaan tempat mereka bekerja, dan kepada ekonomi nasional pada umumnya.” (MM, art. 68-70). Apakah seruan keprihatinan moral ini mampu menggugah kesadaran nurani pihak-pihak penyandang modal atau pihak-pihak pemberi kerja? Apakah pertimbangan-pertimbangan moral dengan segala konsekuensinya – seperti terpapar di atas – juga menjadi referensi para pemberi kerja dalam berdiskusi dan akhirnya dalam memutuskan sebuah standart upah? Apakah memang benar bahwa dunia bisnis atau dunia kerja memiliki hukumnya sendiri yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum moral kemanusiaan?


Minggu, 08 November 2009

UPAH YANG ADIL

“Seorang pekerja patut mendapat upahnya” begitulah ungkapan logis yang harus kita katakan jika kita sedang berbicara tentang dunia kerja. Kerja dan upah merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lain. Tak terpisahkannya kerja dan upah bukan hanya berkaitan dengan ungkapan logis, seperti yang tertulis di atas, melainkan terutama berkaitan dengan keseimbangan antara tuntutan kerja di satu sisi dan kelayakan upah di sisi lain. Persoalan yang terus mengemuka dan menjadi bahan perdebatan antara pekerja dan pihak pemberi kerja, sering kali terjadi pada point ini. Tidak jarang pula pada point ini apa yang disebut dengan kesepakatan itu sulit ditemukan. Pihak pemberi kerja “merasa” sudah memberikan haknya kepada pekerja, secara maksimal, tetapi pekerja “merasa” bahwa apa yang diterima belum memenuhi standart dari hak yang seharusnya mereka terima. Ujung-ujungnya pekerja, sebagai pihak yang lemah dan hanya memiliki tenaga, selalu berperan sebagai pihak yang harus mengalah. Pasrah. Padahal mereka mengetahui secara persis bahwa mereka sedang berada dalam kubah perlakuan tidak adil. Inilah fenomena yang sangat umum kita lihat dalam dunia kerja.
Dalam situasi ini para petinggi agama pun hanya mampu memberikan seruan keprihatinan moral: “Hati kami tersayat oleh rasa sedih yang mendalam, menyaksikan pemandangan yang memilukan: jutaan kaum buruh di sekian banyak negeri dan benua-benua akibat tidak layaknya upah, mereka terpaksa hidup bersama keluarga mereka dalam keadaan yang sama sekali tidak layak manusiawi… Di antara negeri-negeri itu kekayaan tak terduga besarnya, kemewahan yang tak terkendali pada kelompok kecil yang sangat beruntung, merupakan kontras yang tajam dan mengerikan sekali terhadap kemiskinan kebanyakan penduduknya yang sungguh keterlaluan. Diberbagai kawasan dunia orang-orang ditimpa oleh perampasan-perampasan yang tidak manusiawi. Di negeri-negeri lain persentase cukup besar penghasilan diserap dalam pembangunan “prestige nasional” dalam arti yang salah. Di negeri-negeri yang sudah maju perekonomiannya, jasa-jasa yang relatif tidak penting, dan jasa-jasa yang nilainya diragukan, sering mendapat imbalan yang tinggi sekali di luar segala proporsi, sedangkan kerja keras yang bermanfaat, dijalankan oleh jumlah amat besar orang-orang yang dengan jujur membanting tulang, mendapat imbalan yang kecil sekali. Upah yang mereka terima sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup. Upah itu sama sekali tidak sepadan dengan sumbangan mereka kepada kesejahteraan masyarakat, kepada keuntungan perusahaan tempat mereka bekerja, dan kepada ekonomi nasional pada umumnya.”
Apakah seruan keprihatinan moral ini mampu menggugah kesadaran nurani pihak-pihak penyandang modal atau pihak-pihak pemberi kerja? Apakah pertimbangan-pertimbangan moral dengan segala konsekuensinya – seperti terpapar di atas – juga menjadi referensi para pemberi kerja dalam berdiskusi dan akhirnya dalam memutuskan sebuah standart upah? Apakah memang benar bahwa dunia bisnis atau dunia kerja memiliki hukumnya sendiri yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum moral kemanusiaan?
Jika semua orang sepakat bahwa kerja dan upah itu merupakan fakta yang berhubungan, atau bahkan tak terlepaskan dari hak-hak manusia, maka upah kerja seharusnya tidak boleh melulu digantungkan pada hukum-hukum pasar. Juga tidak benar memutuskan standart upah hanya berdasarkan kehendak mereka yang memiliki modal atau mereka yang sedang berkuasa. Sebaliknya upah harus ditetapkan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan hukum kelayakan. Itu berarti bahwa kaum buruh berhak untuk menerima upah yang memungkinkan mereka dan keluarga mereka hidup secara memadai dan layak manusiawi. Bagaimanakah seruan moral dalam dunia kerja, terutama yang berkaitan dengan upah yang adil ini, harus diejawantahkan secara konkrit?
Untuk konteks Indonesia, kiranya persoalan upah selalu aktual dibicarakan mengingat dinamika tumbuh kembang perekonomian dan dunia kerja di Indonesia belum sepenuhnya menjawab atau bahkan harus dikatakan masih sangat jauh dari tuntutan kaum buruh akan kehidupan yang layak. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di kalangan industri-industri atau perusahaan-perusahaan yang murni berorientasi pada keuntungan, melainkan juga bahkan terjadi pada lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang dalam keseharian dan dalam visi misinya selalu memproklamasikan keadilan, cinta kasih, dan keluhuran martabat manusia. Kalau lembaga-lembaga yang dalam hidupnya tak terlepaskan dari suara keadilan, tetapi ternyata di dalamnya penuh dengan praktek-praktek ketidak-adilan dalam memperlakukan para pekerjanya, lalu di mana lagi keadilan dan keluhuran martabat manusia harus disuarakan?