Jumat, 28 Agustus 2009

ORANG MISKIN ITU GURU DAN MAJIKAN SAYA

Setiap pagi ketika berangkat kuliah, mata saya selalu terarah ke sebuah rumah yang letaknya berseberangan dengan Seminari di mana saya hidup. Di depan rumah itu seorang bapak selalu setia duduk di depan rumahnya, menunggu kedatangan orang-orang miskin. Jumlahnya tidak sedikit. Kadang mencapai 30 orang. Ketika orang-orang miskin itu sudah berkumpul, bapak ini lalu mengajak ngobrol, kadang sambil sarapan bersama mereka. Sesudah itu bapak ini membagikan sejumlah uang kepada mereka. Sempat suatu hari saya ikut nimbrung dalam komunitas mereka, lalu saya mencoba bertanya kepada bapak itu: “Apa tujuan bapak melakukan semua ini?” “Mereka adalah saudara-saudaraku. Hanya, mereka kurang beruntung dalam soal ekonomi, maka sudah merupakan tugas saya untuk membantu mereka” Jawab bapak itu. Lalu saya melanjutkan dengan pertanyaan: “Apa yang bapak harapkan dari mereka?” Bapak itu menjawab: “Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya hanya memiliki keyakinan, bahwa kalau ketika di dunia saya menaburkan benih-benih kebaikan, terutama bagi saudara-saudari saya yang kurang beruntung, maka saya sudah melakukan investasi untuk kehidupan kelak, setelah saya mati.”
Mendengar penuturan bapak ini, saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Bunda Theresa: “Di dalam akhir hidup kita, kita tidak akan dihakimi dengan seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, atau seberapa banyak perkara besar yang telah kita lakukan. Kita akan di hakimi dengan ‘ Ketika Aku lapar kamu memberi Aku makanan, Ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, Ketika Aku tidak punya rumah, kamu memberi Aku tumpangan.” Theresa berkeyakinan bahwa saat ini Tuhan hadir secara nyata dalam diri orang-orang miskin. Oleh karena itu dalam salah satu tulisannya, Bunda Theresa berkata: “Saya melihat Tuhan dalam diri manusia, ketika saya membasuh penderita lepra, saya merasa sedang merawat Tuhan sendiri, bukankah hal itu merupakan pengalaman yang paling menakjubkan?” Di tempat lain, St. Vinsensius juga mengatakan bahwa orang miskin adalah guru dan majikan kita. Mengapa disebut guru? Dan mengapa disebut majikan? Orang miskin disebut guru, karena orang miskin ternyata banyak mengajarkan nilai-nilai Injil kepada kita.
Contoh konkritnya: ketika orang miskin digusur, mereka hanya bisa pasrah karena mereka memang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melawan. Di sini kita bisa menemukan nilai kerendahan hati. Lalu, ketika orang miskin memiliki hasil yang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mereka ternyata tetap bahagia. Dengan sikap ini kita bisa belajar tentang keutamaan menerima dan bersyukur atas anugerah Tuhan. Bahkan dalam pengalaman-pengalaman yang mungkin tidak menyenangkan pun kita dapat menemukan nilai-nilai Injili. Misalnya ketika mengalamai bahwa orang miskin itu menjengkelkan, kita bisa belajar tentang pentingnya kesabaran. Ketika kita menjumpai orang miskin itu sering menipu, kita bisa belajar tentang pentingnya kebesaran hati dan ketulusan dalam memberi. Dan masih banyak lagi contoh nilai-nilai dan keutamaan injili, yang bila kita refleksikan dengan mendalam, dapat kita temukan dalam diri saudara-saudara kita yang miskin.
Selain sebagai guru, St. Vinsensius juga menyebut orang miskin sebagai majikan. Mengapa? Dalam Matius 25: 40 dan 45, Yesus bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” Sabda inilah kiranya yang menjadi dasar mengapa St. Vinsensius berkeyakinan bahwa orang-orang miskin itu adalah majikan yang harus kita layani. Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang hina dan miskin. Maka melayani orang miskin, sama artinya dengan melayani Yesus sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar