Jumat, 20 November 2009

UPAH DAN KEPRIHATINAN GEREJA

Hati kami tersayat oleh rasa sedih yang mendalam, menyaksikan pemandangan yang memilukan: jutaan kaum buruh di sekian banyak negeri dan benua-benua akibat tidak layaknya upah, mereka terpaksa hidup bersama keluarga mereka dalam keadaan yang sama sekali tidak layak manusiawi… Di antara negeri-negeri itu kekayaan tak terduga besarnya, kemewahan yang tak terkendali pada kelompok kecil yang sangat beruntung, merupakan kontras yang tajam dan mengerikan sekali terhadap kemiskinan kebanyakan penduduknya yang sungguh keterlaluan. Diberbagai kawasan dunia orang-orang ditimpa oleh perampasan-perampasan yang tidak manusiawi. Di negeri-negeri lain persentase cukup besar penghasilan diserap dalam pembangunan “prestige nasional” dalam arti yang salah. Di negeri-negeri yang sudah maju perekonomiannya, jasa-jasa yang relatif tidak penting, dan jasa-jasa yang nilainya diragukan, sering mendapat imbalan yang tinggi sekali di luar segala proporsi, sedangkan kerja keras yang bermanfaat, dijalankan oleh jumlah amat besar orang-orang yang dengan jujur membanting tulang, mendapat imbalan yang kecil sekali. Upah yang mereka terima sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup. Upah itu sama sekali tidak sepadan dengan sumbangan mereka kepada kesejahteraan masyarakat, kepada keuntungan perusahaan tempat mereka bekerja, dan kepada ekonomi nasional pada umumnya.” (MM, art. 68-70). Apakah seruan keprihatinan moral ini mampu menggugah kesadaran nurani pihak-pihak penyandang modal atau pihak-pihak pemberi kerja? Apakah pertimbangan-pertimbangan moral dengan segala konsekuensinya – seperti terpapar di atas – juga menjadi referensi para pemberi kerja dalam berdiskusi dan akhirnya dalam memutuskan sebuah standart upah? Apakah memang benar bahwa dunia bisnis atau dunia kerja memiliki hukumnya sendiri yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum moral kemanusiaan?


Minggu, 08 November 2009

UPAH YANG ADIL

“Seorang pekerja patut mendapat upahnya” begitulah ungkapan logis yang harus kita katakan jika kita sedang berbicara tentang dunia kerja. Kerja dan upah merupakan dua hal yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lain. Tak terpisahkannya kerja dan upah bukan hanya berkaitan dengan ungkapan logis, seperti yang tertulis di atas, melainkan terutama berkaitan dengan keseimbangan antara tuntutan kerja di satu sisi dan kelayakan upah di sisi lain. Persoalan yang terus mengemuka dan menjadi bahan perdebatan antara pekerja dan pihak pemberi kerja, sering kali terjadi pada point ini. Tidak jarang pula pada point ini apa yang disebut dengan kesepakatan itu sulit ditemukan. Pihak pemberi kerja “merasa” sudah memberikan haknya kepada pekerja, secara maksimal, tetapi pekerja “merasa” bahwa apa yang diterima belum memenuhi standart dari hak yang seharusnya mereka terima. Ujung-ujungnya pekerja, sebagai pihak yang lemah dan hanya memiliki tenaga, selalu berperan sebagai pihak yang harus mengalah. Pasrah. Padahal mereka mengetahui secara persis bahwa mereka sedang berada dalam kubah perlakuan tidak adil. Inilah fenomena yang sangat umum kita lihat dalam dunia kerja.
Dalam situasi ini para petinggi agama pun hanya mampu memberikan seruan keprihatinan moral: “Hati kami tersayat oleh rasa sedih yang mendalam, menyaksikan pemandangan yang memilukan: jutaan kaum buruh di sekian banyak negeri dan benua-benua akibat tidak layaknya upah, mereka terpaksa hidup bersama keluarga mereka dalam keadaan yang sama sekali tidak layak manusiawi… Di antara negeri-negeri itu kekayaan tak terduga besarnya, kemewahan yang tak terkendali pada kelompok kecil yang sangat beruntung, merupakan kontras yang tajam dan mengerikan sekali terhadap kemiskinan kebanyakan penduduknya yang sungguh keterlaluan. Diberbagai kawasan dunia orang-orang ditimpa oleh perampasan-perampasan yang tidak manusiawi. Di negeri-negeri lain persentase cukup besar penghasilan diserap dalam pembangunan “prestige nasional” dalam arti yang salah. Di negeri-negeri yang sudah maju perekonomiannya, jasa-jasa yang relatif tidak penting, dan jasa-jasa yang nilainya diragukan, sering mendapat imbalan yang tinggi sekali di luar segala proporsi, sedangkan kerja keras yang bermanfaat, dijalankan oleh jumlah amat besar orang-orang yang dengan jujur membanting tulang, mendapat imbalan yang kecil sekali. Upah yang mereka terima sama sekali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok hidup. Upah itu sama sekali tidak sepadan dengan sumbangan mereka kepada kesejahteraan masyarakat, kepada keuntungan perusahaan tempat mereka bekerja, dan kepada ekonomi nasional pada umumnya.”
Apakah seruan keprihatinan moral ini mampu menggugah kesadaran nurani pihak-pihak penyandang modal atau pihak-pihak pemberi kerja? Apakah pertimbangan-pertimbangan moral dengan segala konsekuensinya – seperti terpapar di atas – juga menjadi referensi para pemberi kerja dalam berdiskusi dan akhirnya dalam memutuskan sebuah standart upah? Apakah memang benar bahwa dunia bisnis atau dunia kerja memiliki hukumnya sendiri yang terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum moral kemanusiaan?
Jika semua orang sepakat bahwa kerja dan upah itu merupakan fakta yang berhubungan, atau bahkan tak terlepaskan dari hak-hak manusia, maka upah kerja seharusnya tidak boleh melulu digantungkan pada hukum-hukum pasar. Juga tidak benar memutuskan standart upah hanya berdasarkan kehendak mereka yang memiliki modal atau mereka yang sedang berkuasa. Sebaliknya upah harus ditetapkan berdasarkan nilai-nilai keadilan dan hukum kelayakan. Itu berarti bahwa kaum buruh berhak untuk menerima upah yang memungkinkan mereka dan keluarga mereka hidup secara memadai dan layak manusiawi. Bagaimanakah seruan moral dalam dunia kerja, terutama yang berkaitan dengan upah yang adil ini, harus diejawantahkan secara konkrit?
Untuk konteks Indonesia, kiranya persoalan upah selalu aktual dibicarakan mengingat dinamika tumbuh kembang perekonomian dan dunia kerja di Indonesia belum sepenuhnya menjawab atau bahkan harus dikatakan masih sangat jauh dari tuntutan kaum buruh akan kehidupan yang layak. Kenyataan ini tidak hanya terjadi di kalangan industri-industri atau perusahaan-perusahaan yang murni berorientasi pada keuntungan, melainkan juga bahkan terjadi pada lembaga-lembaga dan instansi-instansi yang dalam keseharian dan dalam visi misinya selalu memproklamasikan keadilan, cinta kasih, dan keluhuran martabat manusia. Kalau lembaga-lembaga yang dalam hidupnya tak terlepaskan dari suara keadilan, tetapi ternyata di dalamnya penuh dengan praktek-praktek ketidak-adilan dalam memperlakukan para pekerjanya, lalu di mana lagi keadilan dan keluhuran martabat manusia harus disuarakan?

Jumat, 28 Agustus 2009

DALAM KELEMAHAN TUHAN MENGUTUS KITA

Seorang ibu yang sudah tua memiliki dua buah tempayan, yang dipikul di pundaknya dengan menggunakan sebatang bambu. Salah satu dari tempayan itu retak, sedangkan yang satunya tak bercela dan selalu memuat air hingga penuh. Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dari sungai, air di tempayan yang retak tinggal separuh. Selama dua tahun hal ini berlangsung setiap hari, dimana ibu itu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan. Tentunya si tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yang retak merasa malu akan kekurangannya dan sedih sebab hanya bisa memenuhi setengah dari kewajibannya.
Setelah dua tahun yang dianggapnya sebagai kegagalan, akhirnya dia berbicara kepada ibu tua di dekat sungai. “Aku malu, sebab air bocor melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu.” Ibu itu tersenyum, “Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, namun tidak ada di jalur yang satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu dan setiap hari dalam perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama dua tahun aku bisa memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak seasri seperti ini sebab tidak ada bunga.” Kita semua mempunyai kekurangan. Namun keretakan dan kekurangan itulah yang menjadikan hidup kita bersama menyenangkan dan membahagiakan.
Kelemahan dan kekurangan diri, acap kali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, menjadi faktor penyebab keminderan kita. Dan karena itu tidak banyak dari kita yang berani menghargai aneka kelemahan dan kekurangan diri. Bahkan kalau bisa aneka kekurangan dan kelemahan diri itu harus kita sembunyikan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun mengetahui bahwa kita memiliki kekurangan dan kelemahan.
Budaya kita mengajarkan bahwa apa yang baik itu senantiasa berhubungan dengan prestasi, kehebatan, kesuksesan, dan yang semacamnya. Di satu sisi pencitraan semacam ini memiliki efek yang baik, yaitu dapat menjadi pemicu agar kita terus berjuang mengejar apa yang ideal dalam hidup. Tetapi di sisi lain, cara pandang itu juga seringkali menggiring kita pada penyangkalan akan aneka kelemahan dan kekurangan yang kita miliki.
Cerita di atas hendak memberi pencerahan kepada kita bahwa kelemahan dan kekurangan diri ternyata tidak selalu memiliki arti yang negatif. Sebaliknya kekurangan dan kelemahan, jika kita sadari, kita terima, dan kita olah dengan baik, merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi hidup dan perkembangan diri kita. Bahkan bukan hanya diri kita, tetapi juga sesama kita.
Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus berkata : "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Kor 9-10).
Rasul Paulus memberi penegasan bahwa dirinya lemah dan banyak dosa. Tetapi dia yakin bahwa kelemahan dan kekurangan itulah yang menjadikan dia semakin berani mengandalkan dan menerima peran serta Tuhan dalam hidupnya. Rasul Paulus dengan penegasannya itu bermaksud mengajak kita untuk juga pertama-tama berani menerima kelemahan dan kekurangan diri. Dan selanjutnya Paulus mengajak kita untuk terus maju dalam tugas perutusan kita mengabdi dan melayani sesama kita. Tuhan mengutus kita tidak dalam konteks aneka kecemerlangan yang kita miliki. Sebaliknya, Tuhan mengutus kita dalam aneka kelemahan dan kekurangan diri kita.


KITA DIPANGGIL UNTUK SETIA, BUKAN UNTUK SUKSES

“Aduh Romo… kami itu sudah bosan kalau diajak berdiskusi, blusukan, berpanas-panasan, untuk menolong orang miskin… dari dulu sampai sekarang orang miskin juga tetap seperti itu….” Menolong atau terlibat secara langsung dalam dunia orang miskin, jika dinilai dari sudut pandang target-target kesuksesan, memang seringkali menggiring kita dalam sikap pesimis. Atau malahan dalam tataran yang sangat dramatis, akan menciptakan di dalam diri kita sikap-sikap apatis. Mengapa? Karena seringkali antara apa yang kita harapkan dengan apa yang terjadi dalam realitas kadang sangat berbeda. Ketika membantu orang miskin, kita mengharapkan agar kehidupan orang miskin semakin baik, orang miskin semakin mandiri, orang miskin memiliki kebiasaan yang lebih baik, dan seterusnya. Kenyataannya, setelah sekian lama dan sekian banyak hal kita korbankan untuk orang miskin, ternyata orang miskin tetap miskin, tetap kotor, tetap tidak mandiri, dan setrusnya. Kondisi-kondisi semacam inilah yang seringkali membuat kita enggan untuk meneruskan perjuangan kita untuk membela kehidupan orang miskin. Kita merasa gagal memperjuangkan perubahan hidup orang miskin. Kita merasa sendirian dalam berjuang. Maka seringkali sikap yang kita ambil adalah mundur. Mundur dari kehidupan dan keterlibatan dalam dunia orang miskin.
“Orang-orang miskin selalu ada padamu….” (Mat 26:11). Demikianlah sabda Yesus kepada para muridnya. Dengan sabda ini seakan-akan Yesus hendak mengingatkan kita bahwa perjuangan membela kepentingan orang miskin harus kita lakukan sampai batas yang mungkin kita sendiri tidak tahu. Sabda ini juga dapat kita mengerti bahwa orang miskin adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sendiri. Maka hadir dan memberikan diri kepada orang miskin juga merupakan sesuatu yang menjadi konsekuensi yang tak terpisahkan dari hidup kita. Dengan demikian, keterlibatan dalam dunia orang miskin bukanlah pilihan yang dapat diukur sekedar dengan prinsip sukses atau gagal. Sebaliknya keterlibatan dalam dunia orang miskin harus kita mengerti sebagai tugas dan panggilan dari Yesus sendiri yang harus kita jalani sepanjang hidup kita.
Bunda Theresa, kepada para susternya berkata: “kita dipanggil bukan untuk sukses, melainkan untuk setia”. Nasehat bunda Theresa ini mengingatkan kita akan tugas dan panggilan kita untuk tetap menyertai orang miskin dalam perjalanan dan perjuangan hidupnya. Seperti halnya Yesus yang sepanjang hidupnya mendedikasikan diriNya untuk orang miskin. Bahkan mengidentikkan dirinya dengan orang-orang miskin dan terlantarr. "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk: 4:18-19). Kemudian, di dalam Matius 25 Yesus menegaskan: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku… Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (Mat 25: 40.45).
Dedikasi dan identifikasi diri Yesus dengan orang miskin ini merupakan teladan dan sekaligus bukti bahwa orang miskin merupakan pribadi yang tidak mungkin terlepas dari perjalanan hidup kita. Kendati kalau dihitung-hitung dari kacamata manusiawi kita, melayani dan memberikan diri kepada orang miskin tidak selalu menyenangkan, memerlukan banyak pengorbanan, menyita banyak waktu, dan seterusnya, tetapi toh untuk itulah kita dipanggil. Para Bapa Gereja dalam dokumen Gaudeum et Spes juga mengingatkan kita akan tugas panggilan ini: “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.”
Mari kita menelaah iman kita. Apakah selama ini kita cukup setia dalam memberikan diri kepada saudara-saudari kita yang miskin dan lemah? Apakah seruan Yesus, para Bapa Gereja, dan para pendahulu kita itu sudah kita praktekkan dalam kehidupan kita? Atau iman kita masih merupakan iman di seputar altar?


ORANG MISKIN ITU GURU DAN MAJIKAN SAYA

Setiap pagi ketika berangkat kuliah, mata saya selalu terarah ke sebuah rumah yang letaknya berseberangan dengan Seminari di mana saya hidup. Di depan rumah itu seorang bapak selalu setia duduk di depan rumahnya, menunggu kedatangan orang-orang miskin. Jumlahnya tidak sedikit. Kadang mencapai 30 orang. Ketika orang-orang miskin itu sudah berkumpul, bapak ini lalu mengajak ngobrol, kadang sambil sarapan bersama mereka. Sesudah itu bapak ini membagikan sejumlah uang kepada mereka. Sempat suatu hari saya ikut nimbrung dalam komunitas mereka, lalu saya mencoba bertanya kepada bapak itu: “Apa tujuan bapak melakukan semua ini?” “Mereka adalah saudara-saudaraku. Hanya, mereka kurang beruntung dalam soal ekonomi, maka sudah merupakan tugas saya untuk membantu mereka” Jawab bapak itu. Lalu saya melanjutkan dengan pertanyaan: “Apa yang bapak harapkan dari mereka?” Bapak itu menjawab: “Saya tidak mengharapkan apa-apa. Saya hanya memiliki keyakinan, bahwa kalau ketika di dunia saya menaburkan benih-benih kebaikan, terutama bagi saudara-saudari saya yang kurang beruntung, maka saya sudah melakukan investasi untuk kehidupan kelak, setelah saya mati.”
Mendengar penuturan bapak ini, saya jadi teringat apa yang dikatakan oleh Bunda Theresa: “Di dalam akhir hidup kita, kita tidak akan dihakimi dengan seberapa banyak gelar yang kita miliki, atau seberapa banyak uang yang telah kita kumpulkan, atau seberapa banyak perkara besar yang telah kita lakukan. Kita akan di hakimi dengan ‘ Ketika Aku lapar kamu memberi Aku makanan, Ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian, Ketika Aku tidak punya rumah, kamu memberi Aku tumpangan.” Theresa berkeyakinan bahwa saat ini Tuhan hadir secara nyata dalam diri orang-orang miskin. Oleh karena itu dalam salah satu tulisannya, Bunda Theresa berkata: “Saya melihat Tuhan dalam diri manusia, ketika saya membasuh penderita lepra, saya merasa sedang merawat Tuhan sendiri, bukankah hal itu merupakan pengalaman yang paling menakjubkan?” Di tempat lain, St. Vinsensius juga mengatakan bahwa orang miskin adalah guru dan majikan kita. Mengapa disebut guru? Dan mengapa disebut majikan? Orang miskin disebut guru, karena orang miskin ternyata banyak mengajarkan nilai-nilai Injil kepada kita.
Contoh konkritnya: ketika orang miskin digusur, mereka hanya bisa pasrah karena mereka memang tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk melawan. Di sini kita bisa menemukan nilai kerendahan hati. Lalu, ketika orang miskin memiliki hasil yang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mereka ternyata tetap bahagia. Dengan sikap ini kita bisa belajar tentang keutamaan menerima dan bersyukur atas anugerah Tuhan. Bahkan dalam pengalaman-pengalaman yang mungkin tidak menyenangkan pun kita dapat menemukan nilai-nilai Injili. Misalnya ketika mengalamai bahwa orang miskin itu menjengkelkan, kita bisa belajar tentang pentingnya kesabaran. Ketika kita menjumpai orang miskin itu sering menipu, kita bisa belajar tentang pentingnya kebesaran hati dan ketulusan dalam memberi. Dan masih banyak lagi contoh nilai-nilai dan keutamaan injili, yang bila kita refleksikan dengan mendalam, dapat kita temukan dalam diri saudara-saudara kita yang miskin.
Selain sebagai guru, St. Vinsensius juga menyebut orang miskin sebagai majikan. Mengapa? Dalam Matius 25: 40 dan 45, Yesus bersabda: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku… Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” Sabda inilah kiranya yang menjadi dasar mengapa St. Vinsensius berkeyakinan bahwa orang-orang miskin itu adalah majikan yang harus kita layani. Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang hina dan miskin. Maka melayani orang miskin, sama artinya dengan melayani Yesus sendiri.


Rabu, 29 April 2009

APAKAH HARAPAN ITU MASIH ADA?

Krisis keuangan global yang saat ini sedang melanda semua kalangan masyarakat dengan pelbagai macam bentuk dan efek negatifnya; pemilu di Indonesia yang hingga saat ini masih kental dengan praktek-praktek money politik yang pada gilirannya menggiring pelbagai kebijakan pemerintahan yang tidak memihak pada rakyat; kondisi real masyarakat sipil Indonesia yang semakin hari semakin memperlihatkan gejala apatisme dan pesimisme terhadap segala daya upaya pembenahan dan pembaharuan kondisi negara dan pemerintahan Indonesia; semuanya ini merupakan gambaran yang sangat nyata bahwa poros-poros kehidupan bangsa dan negara Indonesia saat ini tidak lagi kokoh kuat. Bahkan mungkin tidak bisa diandalkan lagi.
Beberapa pakar ketika berbicara mengenai kondisi nyata Indonesia, menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah seperti kerumunan massa yang terombang-ambing, tanpa arah yang jelas hendak ke mana. Lantas apa yang harus kita lakukan dalam situasi seperti itu? Masihkan kita bisa berharap dalam situasi semacam itu? Berikut ini ada cuplikan singkat tentang dialog lilin.
Ada 4 lilin yang menyala, sedikit demi sedikit habis meleleh. Suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah percakapan mereka.... Yang pertama berkata: “Aku adalah Damai. Namun manusia tak mampu menjagaku: maka lebih baik aku mematikan diriku saja!” Demikianlah sedikit demi sedikit sang lilin padam. Yang kedua berkata: “Aku adalah Persahabatan. Sayang aku tak berguna lagi. Manusia tak mau mengenalku. Untuk itulah tak ada gunanya aku tetap menyala” Begitu selesai bicara, tiupan angin memadamkannya. Dengan sedih giliran lilin ketiga bicara: “ Aku adalah Cinta” “Tak mampu lagi aku untuk tetap menyala. Manusia tidak lagi memandang dan mengganggapku berguna. Mereka saling membenci, bahkan membenci mereka yang mencintainya, membenci keluarganya.” Tanpa menunggu waktu lama, maka matilah Lilin ketiga. Tanpa terduga... Seorang anak saat itu masuk ke dalam kamar, dan melihat ketiga Lilin telah padam. Karena takut akan kegelapan itu, ia berkata: “Eh.. apa yang terjadi?! Kalian harus tetap menyala, Aku takut akan kegelapan!” Lalu ia menangis tersedu-sedu... Lalu dengan terharu Lilin keempat berkata: “Jangan takut, Janganlah menangis, selama aku masih ada dan menyala, kita tetap dapat selalu menyalakan ketiga Lilin lainnya” Karena Aku adalah : “HARAPAN” Dengan mata bersinar, sang anak mengambil Lilin Harapan, lalu menyalakan kembali ketiga Lilin lainnya. Apa yang tidak pernah mati hanyalah HARAPAN yang ada dalam hati kita.... dan masing-masing kita semoga dapat menjadi alat, seperti sang anak tersebut, yang dalam situasi apa pun mampu menghidupkan kembali Damai, Persahabatan, Cinta dengan HARAPAN-nya!!!


Selasa, 24 Maret 2009

BURUH, PEMILU, DAN MINDSET

Di tengah hiruk pikuk persiapan menyambut pemilu 2009, hampir di setiap sudut jalan, kita dapat menyaksikan pelbagai atribut parpol. Bentuknya bermacam-macam. Isinya juga sangat variatif. Namun demikian semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajak masyarakat untuk mempercayai dan akhirnya memilih partainya atau memilih dirinya sebagai “representative person” dalam jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan.
Fenomena yang agak berbeda akan kita temukan kalau kita berjalan di lorong jalan di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta (KOMPAS, 18 Maret). Seperti yang dicatat Kompas, wilayah ini menolak pemasangan segala macam bentuk atribut parpol. Alhasil, berbeda dengan tempat-tempat dan wilayah-wilayah lainnya, wilayah kelurahan ini sampai saat ini kelihatan rapi dan bersih. Terlepas dari soal bersih atau rapi, saya menilai bahwa apa yang diputuskan oleh warga Kelurahan Kadipaten tersebut sebenarnya merupakan bentuk yang paling sederhana tetapi sangat nyata dari kedewasaan dan kematangan sikap berpolitik.Saya yakin bahwa keputusan warga Kelurahan Kadipaten yang nadanya sangat berbeda dengan wilayah-wilayah dan daerah-daerah lainnya ini, diambil tidak sekedar untuk tampil beda. Sebaliknya sikap dan keputusan itu merupakan bukti bahwa warga Kelurahan Kadipaten memiliki prinsip hidup yang kokoh. Dan prinsip itu ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk menentukan sikap yang tegas, tanpa harus terombang-ambing oleh aneka janji, tawaran, dan strategi-strategi parpol, kendati sikap itu berbeda dengan sikap masyarakat Indonesia pada umumnya. Prinsip dan sikap tegas semacam ini kiranya yang harus kita bangun saat ini.
Sudah bukan barang baru lagi di telinga dan pemahaman kita, seperti apa dan bagaimana arah dan peta politik di negara kita. Juga bukan sesuatu yang asing lagi bagi kita, bagaimana dan seperti apa perilaku para pejabat dan calon pejabat di negara kita. Mereka dengan sangat tegas mendeklarasikan dirinya sebagai wakil-wakil masyarakat. Arah dan skema perjalanan kebijakan politik pun disuarakan di mana-mana untuk melayani dan mengembangkan masyarakat, bangsa dan negara. Namun kita semua mengetahui bahwa tidak jarang semuanya itu dalam kenyataannya tidak lebih dari sebuah iklan kebohongan publik. Pada point ini tidak perlu saya mengulas secara panjang lebar, karena fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat umum.
B. Herry Priyono mensinyalir bahwa perilaku caleg dan parpol-parpol dalam pemilu 2009 ini hanya terfokus pada perolehan suara (KOMPAS, 18 Maret). Yang penting slogan saya bagus dan menarik. Yang penting mendapat suara banyak. Yang penting menang. Tidak peduli apakah caleg-caleg itu memiliki integritas pribadi dan kompetensi untuk menduduki kursi wakil rakyat atau tidak. Juga tidak jarang caleg-caleg dan parpol-parpol, karena terlalu terfokus pada tujuan kemenangan dan perolehan suara, mereka justru melupakan hal-hal fundamental yang bersentuhan langsung dengan prinsip perubahan dan pengembangan negara dan bangsa. Kalau analisa ini benar, maka makna sejati dari sebuah percaturan politik menjadi sesuatu yang sangat dangkal. Dikatakan demikian karena percaturan politik hanya berkisar dan berjalan hanya pada tataran “perolehan kursi jabatan”, dan bukan pada kedalaman “platform” atau mindset politik. Dan kedangkalan itu pada gilirannya dapat dipastikan akan berimbas pada tiadanya perbaikan-perbaikan yang berarti dalam negara dan pemerintah. Bahkan mungkin akan semakin menggiring negeri ini dalam keterpurukan yang semakin mendalam.
Dalam situasi semacam ini apa yang harus kita lakukan? Golput? Menceburkan diri dalam salah satu partai? Memihak salah satu partai? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja satu hal ini tidak bisa kita tinggalkan, yaitu mindset. Mindsetnya siapa? Tentu saja pertama-tama adalah mindset kita sendiri, dan pada gilirannya mindset parpol-parpol dan para caleg yang akan kita pilih. Apa maksudnya mindset atau pola pikir? Yang dimaksud dengan mindset atau pola pikir bukanlah semata-mata soal strategi dalam memikirkan sesuatu, atau bagaimana caranya saya memikirkan sesuatu. Lebih dari sekedar itu, mindset atau pola pikir sebenarnya adalah sikap dan prinsip hidup kita. Dalam hal ini mindset atau pola pikir memiliki isi yang sangat luas, mulai dari apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidup dan perjuangan saya? Apa sesungguhnya yang menjadi prinsip hidup saya? Bagaimana saya menggambarkan dan memposisikan diri dan hidup saya? Dan seterusnya.
Bagi kita yang bergerak dalam zona perjuangan kaum buruh, mindset kiranya merupakan persoalan yang sangat fundamental. Pengalaman-pengalaman perjuangan-perjuangan kita di masa lampau kiranya dapat menjadi bahan yang sangat baik untuk meneliti diri kita, bagaimana sesungguhnya warna pola pikir atau mindset kita. Lemahnya persatuan dan solidaritas di antara buruh, tiadanya konsep gerakan serikat buruh yang mampu merangkul elemen-elemen perburuhan yang lainnya, masih adanya elite-elite serikat buruh yang cenderung oportunis, dan yang semacamnya, merupakan bukti yang sangat nyata bahwa selama ini kita masih berada dalam kedangkalan mindset. Apa pun yang dikatakan, dalam gerakan-gerakan perburuhan, mindset merupakan faktor utama yang mutlak untuk kita perdalam. Salah satu contoh betapa pentingnya mindset sudah kita lihat dalam diri para warga Kelurahan Kadipaten. Kita yang berada dalam jalur perjuangan nasib buruh, betapa kokohnya pengaruh dan daya tawar kita untuk perubahan negeri ini, jika masing-masing dari kita memiliki mindset yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh para warga Kelurahan Kadipaten di atas. Dan pemilu 2009 bagi saya merupakan moment yang sangat istimewa untuk menguji diri kita, apakah di tengah hiruk pikuk pemilu kali ini kita mampu menempatkan diri sebagai element masyarakat yang memiliki kedalaman pola pikir? Atau kita masih berada dalam kecenderungan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pelbagai tawaran atau janji-janji para caleg dan parpol-parpol? Kecenderungan mudah terpengaruh dan terombang-ambing merupakan bukti yang jelas bahwa kita masih belum memiliki kekokohan mindset. Maka, pertanyaannya sekarang adalah: apa sesungguhnya yang menjadi platform atau mindset perjuangan kita?
Kalau menilik kekuatan buruh, maka kita sekalian sangat paham bahwa teoritis kaum buruh sebenarnya memiliki kekuatan yang tak dapat diragukan. Sekurang-kurangnya jika hal itu ditinjau dari sisi jumlah buruh. Namun dalam tataran percaturan di lapangan, tidak jarang kita justru berada dalam posisi yang sangat lemah dan dengan dengan mudah diperalat oleh pihak-pihak lain untuk melanggengkan ambisi-ambisi mereka. Mari sekarang kita bertanya kepada diri kita sendiri: mengapa kita sampai berada dalam situasi semacam itu? Apakah karena sistem? Atau apakah karena nota bene kita belum memiliki kesamaan mindset perjuangan? Atau karena faktor-faktor lain?
Pemilu, krisis global, dan situasi aktual kita saat ini, bagi saya merupakan saat yang sangat tepat untuk menguji diri kita. Untuk apa? Ya, supaya platform gerakan-gerakan kita semakin jelas. Juga supaya kita yang berada dalam jalur perjuangan kaum buruh semakin mampu menunjukkan peran yang sangat berarti untuk perubahan dan perbaikan negeri ini pada umumnya, dan secara khusus perubahan dan perbaikan nasib buruh.



Jumat, 13 Maret 2009

DI BERANDA NUGINI

Mans Werang, CM

Pagi ini mereka ingin membakar mobil di kampung ini. Kata seorang ibu kepadaku, saat aku bertemu dia di beranda pastoran. Orang-orang di kampung ini tidak menerima kematian saudara mereka. Keluarga dan kenalannya mulai datang dari berbagai kampung ke kampung ini dengan pertanyaan, mengapa dia mati muda? Semalam sekelompok orang merencanakan untuk membakar rumah dan membawa orang-orang yang dituduh penyebab kematian orang muda itu ke pengadilan desa. Bukankah orang muda yang meninggal itu, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras? Kata saya kepada ibu itu. Menurut adat kami kematian bukanlah hal yang alamiah, apalagi dia masih muda, pasti ada orang yang membenci dia dan membunuh dia secara gaib. Demikian jawaban dari ibu itu kepadaku.
Saya tidak ingin melanjutkan lagi pertanyaan kepada ibu dan segera itu dia meninggalkan pastoran. Saya memilih duduk diam saja di beranda pastoran sambil merenungkan apa yang akan terjadi di pagi hari ini. Bermacam-macam perasaan takut dan cemas muncul di dalam benakku. Apa yang akan terjadi seandainya mereka sungguh-sungguh membakar mobil? Mungkinkah akan ada perang? Atau mereka akan membakar rumah-rumah penduduk disini juga? Tampak dari jauh sesepuh di desa kami, Noel namanya datang menemuiku di pastoran. Raut wajahnya tampak sangat lelah. Ia hanya diam saja dan memilih duduk di beranda bersama saya. Beberapa menit kemudian ia berkata kepadaku, bahwa persoalan di kampung ini semakin sulit. Kemungkinan akan terjadi kekacauan yang luar biasa di kampung ini. Tadi malam semua suku-suku berkumpul di rumah duka untuk membicarakan persoalan mengapa dia meninggal? Bahkan beberapa kelompok merencanakan untuk membakar mobil, dan ingin melakukan balas dendam sebagai tanda ketidakpuasaan mereka atas kematian saudara mereka ini. Untuk itu, sebaiknya father tetap berada di pastoran saja, dan menunggu sampai saya datang dan memberikan informasi lebih lanjut kepada father.



Dentang ketakutan

Ketika dia pamit meninggalkanku, saya masuk ke kamar dan memilih berdiam diri. Tatkala saya berada di dalam kamar, saya mendengar ledakan yang sangat besar, tampak asap tebal mengepul di jalan raya. Rasa takut dan cemas menghantuiku. Dari balik jendala pastoran, saya melihat massa di jalan raya yang begitu banyak. Mungkinkah akan terjadi perang? Tanyaku dalam hati. Beberapa orang lari menuju jalan raya. Sr. Denis Haman, DW (Daughter of wisdom) datang menemuiku di pastoran. Ia berkata kepadaku mengapa orang-orang Matkomnai melakukan tindakan kekerasan seperti ini? Apakah tidak ada cara lain lagi yang lebih manusiawi? Saya sendiri tidak tau apa yang dapat saya katakan kepadanya. Saya hanya menyarankan dia untuk tetap berada di susteran saja.

Beberapa saat kemudian seorang pemimpin umat berlari dengan ketakutan tanpa mengenakan pakaian. Saya mencoba pergi menemui dia, namun dia tidak memberikan informasi yang banyak kepadaku. Beberapa orang yang menemuiku bercerita bahwa keluarga dari orang muda yang meninggal itu hampir saja membakar dia hidup-hidup dengan menuangkan bensin ke tubuhnya. Ketika mereka hendak membakar dia, korek apinya jatuh ke tanah, dan segera saja pemimpin umat itu berlari ke rumahnya untuk menyelamatkan diri. Mereka berkata kepadaku, dia adalah salah satu yang dituduh oleh pihak keluarga sebagai pembunuh secara gaib. Tatkala kutanya dimanakah polisi? Mereka mengatakan kepadaku, ini bukan bisnisnya polisi, tetapi ini bisnisnya orang-orang kampung. Saya tidak mau melanjutkan lagi pertanyaan dan memilih kembali lagi ke beranda pastoran. Ketika senja mulai kembali ke peraduaan, kuajak beberapa umat datang ke gereja untuk menghadiri perayaan ekaristi, meskipun tidak begitu banyak jumlahnya. Selesai misa, sesepuh dari desa lain datang menemuiku dengan permintaan untuk berdoa di rumah duka. Saya agak ragu menerima permintaannya, karena hari sebelumnya saat saya datang ke rumah duka, mereka menolak saya berdoa untuk orang muda yang meninggal ini. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke rumah duka. Saya datang dengan beberapa anak muda dan Sr. Denis Haman, DW. Kondisi dan keadaannya sudah mulai meredah, namun mereka mengatakan bahwa besok saat penguburan pasti terjadi kekacauan lagi di kampung ini.

Keesokan harinya saat saya datang untuk penutupan peti, tampak kerumunan orang-orang di rumah duka. Beberapa dari mereka merusakan apa saja yang ada di sekitar mereka, bahkan tiang rumah pun dipotong. Tidak ada orang yang berani menghentikan mereka karena ini ungkapan kesedihan dan kemarahan mereka. Upacara penutupan peti tidak berjalan dengan lancar, karena pihak-pihak keluarga menuntut agar kompensasi berupa uang atas meninggalnya saudara mereka harus diletakan di atas peti sebelum dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Maka kami harus menunggu lagi. Saya mencoba menunggu dengan sabar. Noel, datang mendekatiku dan mengatakan untuk tetap bersabar. Meskipun dia seorang pemimpin umat dan sesepuh di desa itu, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan apapun menghadapi suku dari keluarga yang berduka ini. Setelah melalui perdebatan dan negoisasi, akhirnya saya diperkenankan mendoakan dan memberkati jenasah, dan akhirnya dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Selama satu bulan semua kegiatan di gereja tidak berjalan dengan lancar. Kegiatan pasar di tepi jalan juga sangat sepih, karena tidak ada yang berani menjual dagangannya di pasar. Sementara jumlah orang yang datang ke gereja juga mulai menurun. Masing-masing pihak saling mencurigai dan menuduh satu dengan yang lainnya. Pihak keluarga yang berduka datang ke pastoran berbicara dengan saya tentang kematian saudara mereka dengan versi yang berbeda-beda. Sementara itu orang-orang yang dituduh membunuh orang muda itu secara gaib juga datang berkisah kepada saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena masing-masing dengan versi kisahnya. Saya mencoba mendengarkan kisah mereka, dan menawarkan untuk mengadakan rekonsialiasi. Namun gagasan rekonsialiasi ternyata sangat berbeda dengan apa yang mereka pikirkan. Rekonsiliasi bagi mereka adalah, pihak yang dituduh harus membawa uang, makanan, binatang kepada keluarga yang berduka tersebut. Mereka akan duduk bersama, makan bersama dan meminta maaf sesuai dengan adat kebiasaan mereka. Sementara gagasan rekonsialiasi yang saya pikirkan sangat berbeda dengan mereka, sehingga rekonsiliasi yang saya tawarkan tidak pernah terwujud.



Merenung di beranda

Hidup dan berkarya di Papua New Guinea kadang sangat keras, bagaikan hidup di tengah padang gurun. Ada begitu banyak kesulitan dan tantangan yang akan kita hadapi dan alami. Kata seorang relawan dari Australia kepada saya. Karena yang dihadapi adalah karakter orang-orang Papua yang unik, keras, dan akses tempat tinggal yang sangat jauh, serta sulitnya sarana transportasi. Kita sangat sulit mengerti jalan pikiran dan hidup mereka. Romo Hubert, seorang imam diosesan bercerita kepadaku bahwa dia pernah diusir oleh orang-orang Papua sendiri, ketika dia berusaha membangun jalan raya bagi penduduk. Melihat akses tempat tinggal mereka yang sangat sulit, dia berusaha sekuat tenaga untuk membuka jalan di tengah hutan menuju kampung mereka, namun dia dibenci oleh orang-orang Papua. Ia sendiri berkata kepadaku bahwa dia pun sulit mengerti dengan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Romo Salvius, seorang imam diosesan lainnya berkata kepadaku, jalan satu-satunya untuk hidup dan berkarya di Papua adalah menghadapi semua tantangan dan kesulitan dengan kebesaran jiwa. Ia berkisah tentang pengalamannya kepadaku bahwa setiap daerah di Papua memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Untuk datang ke keuskupan saja dia harus menempuh perjalanan melewati sungai selama tiga hari. Beberapa kali, dia terpaksa harus tidur dan menginap di hutan, karena kehabisan minyak, atau mesin motor tidak berfungsi dengan baik. Ia hanya makan pisang dan makan apa saja yang dia temukan di hutan, bahkan seringkali dia tidak makan apapun juga. Pengalaman ini bukan hanya terjadi sekali, tetapi seperti menu bagi kehidupan dan karyanya setiap saat. Romo Jack Gros, CM, juga berkisah kepadaku bahwa selama delapan hari dia berjalan kaki mencari umatnya yang sedang berada dalam ketakutan, tetapi dia tidak menemukan mereka. Setelah delapan hari tidur dan tinggal di hutan dengan makan apa saja yang ditemukan di hutan, dia berhasil menjumpai satu keluarga. Saya juga ingat Romo Edi CM yang menerima seorang bapak dengan kebesaran jiwa, meskipun bapak itu meluapkan kemarahan yang meluap-luap tanpa alasan yang jelas. Saya juga ingat kisah dari Romo Aloi, SMM, yang berkarya di daerah Nomed yang sangat terpencil. Ketika dia pergi mengunjungi umatnya, tidak jarang dia tidur di tengah hutan, karena jarak yang sangat jauh. Lelah, capeh, dan lapar adalah santapan dan menu hidupnya. Ia berkisah kepadaku, hampir setiap hari umatnya meninggal dunia, karena tidak tersedianya rumah sakit. Saya juga ingat kisah Romo Mas John, SMM, setiap kali datang ke keuskupan dia harus berjalan kaki selama tiga hari. Ia berkisah kepadaku, jalan kaki selama tiga hari untuk datang ke kota , atau untuk kembali ke parokinya adalah santapan dan menu hidupnya. Bila hari sudah mulai malam, dia tidur di tengah hutan. Saya juga ingat kisah tentang jatuhnya pesawat yang menyebabkan seorang romo, smm yang adalah pilot, dan seorang suster DW meninggal dunia.



Makna Salib

Saya masih duduk di beranda, tatkala kisah-kisah tentang kehidupan orang-orang Papua dengan segala kesulitan dan tantangan hadir dalam ingatanku. Kesulitan dan tantangan ini masih akan selalu dihadapi, karena ini adalah menu dan santapan keseharian bagi orang yang bekerja di Papua. Mengingat kisah tragedy di Matkomnai setahun yang lalu, dan kisah-kisah dari Romo-romo yang berkarya di Papua, terlintas di benak saya mungkinkah ada solusinya? Namun saya tidak pernah menemukan jawaban yang tuntas. Tatkala saya memalingkan wajahku, kulihat salib besar yang dipasang di luar gereja. Salib itu setiap hari berdiri di sana , tetapi saya tidak melihat dengan mata iman. Kini, saat duduk sendirian di beranda, salib itu sepertinya berbicara kepadaku tentang pemberian diri Tuhan Yesus kepada kita. Salib adalah tanda pengorbanan Yesus dan cinta yang tuntas kepada kita. Salib juga adalah jalan untuk menemukan makna, dan arti hidup manusia. Semakin lama saya melihat dan membayangkan salib Kristus, semakin saya mulai menemukan jawaban atas hidup dan pelayanan kita sebagai seorang kristiani. Cardinal Basil Hume dalam bukunya (“The mystery of the cross”, Dalton Longman + Todd, 2000), menulis (“...there, and there alone, is the solution, because behind the crucifix you see, with the eyes of faith, the outline of the risen Christ. That is the point and that is why a crucifix is such a lovely thing”). Saya yakin jawaban yang ditemukan oleh Kardinal Basil bukanlah tanpa alasan yang kuat, karena segala persoalan, kesulitan, beban hidup yang berat, dan padang gurun hidup yang kita hadapi dan alami akhirnya kita temukan keindahannya pada salib Kristus. Melalui salib, Kristus ingin menunjukkan cintaNya untuk kita. Dia tidak mempunyai dosa, tetapi dia melakukan semuanya itu sehingga setiap orang dapat mengalami keselamatan. “Tidak ada cinta yang lebih besar, dari pada cinta seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”.

Kadang saya merasa hidup dan berkarya di Papua sangat berat, karena kita sepertinya berada dalam situasi padang gurun, dan kesendirian. Apalagi merasa tidak berdaya menghadapi orang Papua, karena karakter mereka yang unik dan akses tempat tinggal mereka yang sangat jauh. Namun, dari berbagai pengalaman itu, saya semakin mengerti kata-kata Tuhan Yesus, barang siapa ingin menjadi pengikutiku, harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikuti Aku. Tuhan Yesus sendiri menunjukkan jalan, memikul salib, dan mati di kayu salib. Namun kematiannya di kayu salib berakhir dengan kemenangan yakni kebangkitan. Saat itulah hidup kita dijiwai dengan semangat pengharapan, kegembiraan dan damai, karena setelah melewati padang gurun, pasti ada sumber air yang memancarkan kegembiraan, setelah masa kegelapan dalam hidup, pasti ada terang, setelah penderitaan ada kegembiraan, dan setelah kematiaan ada kebangkitan. Selamat menjalani masa prapaskah 2009.

Rabu, 04 Februari 2009

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN KECERDASAN SPIRITUAL

Seiring dengan berkembangnya perabadan manusia, semakin berkembang pula aneka ilmu dan pengetahuan tentang kepemimpinan. Dalam tulisan yang singkat ini, saya akan menampilkan beberapa point refleksi tentang kepemimpinan yang selama ini saya terapkan dalam lingkup tugas pelayanan saya. Namun di sini saya tidak bermaksud merepresentasikan sebuah teori baru dalam kepemimpinan. Mungkin apa yang akan saya tuangkan hanya berupa sintesa dari pelbagai macam prinsip kepemimpinan yang sudah banyak berkembang dan digunakan di mana-mana. Namun demikian, sebagai sebuah pondasi refleksi, saya akan menggunakan teori kecerdasan spiritual.
Sesuai dengan tugas kepemimpinan yang saya emban, maka ruang lingkup dan konteks refleksi yang akan saya cermati dalam tulisan ini ada dua, yaitu kepemimpinan di paroki dan kepemimpinan di lembaga perburuhan.

I. PANORAMA KONTEKS KEPEMIMPINAN
Dua belas tahun yang lalu, ketika saya masih menjalani masa pembinaan awal di Seminari Tinggi, Pimpinan saya sering mengulang-ulang pertanyaan ini: “Tekamu mrene arep ngopo?” (kamu datang ke sini mau apa?) atau “Apa yang sesungguhnya kamu kejar dalam hidupmu?” Dalam kesempatan berkomunikasi secara personal, beliau menjelaskan alasan mengapa pertanyaan reflektif itu ditanyakan berulang-ulang. Sambil menunjuk sebuah pohon yang tumbuh persis di atas tebing, beliau mengatakan bahwa pohon itu sengaja ditanam di atas tebing agar ketika hujan datang, tanahnya tidak mudah longsor karena terlindungi dan tertahan oleh akar-akar pohon itu.
Sekarang saya mulai mengerti mengapa Pimpinan saya melontarkan secara terus-menerus pertanyaan yang sama. Rupanya, beliau ingin agar saya menjadi pribadi yang kokoh; pribadi yang memiliki fokus hidup yang jelas; pribadi yang memiliki visi atau tujuan hidup yang mendalam; pribadi yang murni dalam motivasi. Singkatnya, melalui personal mission yang dikemas dalam pertanyaan di atas, pimpinan saya menghendaki agar hidup saya menjadi sebuah panorama yang meniscayakan makna dan nilai. Bukan hanya makna dan nilai yang terarah kepada diri saya sendiri, melainkan – seperti halnya contoh pohon yang ditanam di atas tebing – terutama makna dan nilai yang terarah kepada sesama, lingkungan hidup, dan Tuhan.
Melalui refleksi yang konstan, ditambah dengan aneka pengalaman yang saya temukan selama saya menjalani pembinaan di Seminari di tahun-tahun berikutnya, dan pengalaman saya terlibat dalam tugas pelayanan sebagai imam hingga saat ini, saya semakin yakin bahwa apa yang menjadi harapan pimpinan saya itu merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak, bukan hanya untuk saya sendiri melainkan juga untuk sesama dan umat yang saya layani. Penting dan mendesak antara lain karena harapan pimpinan saya itu sangat dekat dengan apa yang menjadi kebutuhan umat yang saya layani dan bahkan kebutuhan semua manusia jaman sekarang. Bahkan saya berani menyimpulkan bahwa kebutuhan utama manusia jaman ini adalah kebutuhan akan makna dan nilai hidup. Saya akan mencoba memaparkan fenomena ini secara global dalam bidang-bidang pastoral atau kepemimpinan yang saya emban.

1.1. Kebutuhan makna dan nilai hidup dalam konteks pastoral pendampingan buruh.
Sebagai ilustrasi awal tentang konteks pastoral pendampingan buruh yang saya tangani, berikut ini saya paparkan sebuah fakta kehidupan dari salah seorang buruh yang bergabung dalam institusi saya. “Setelah lima tahun bekerja di sebuah pabrik sepatu di kawasan Surabaya Utara, Sumirah tetap saja menempati kamar kost 2 x 2,5 meter, dan tak memiliki apa-apa, juga dikampungnya. Keadaan buruh yang satu ini membangkitkan pertanyaan, apa yang menyebabkan kehidupannya sama sekali tak berubah. Orang bisa mengadilinya dengan malas, tak mau menabung, mungkin untuk foya-foya, dan sebagainya. Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah pada kenyataan yang ia pertanyakan balik, "Uang 315.000 sebulan saat ini dapat apa Mas?" Sumirah hanya salah satu dari ribuan buruh Surabaya yang tak pernah menyentuh angka Upah Layak. la masuk kerja 5 tahun lalu dengan upah 8.000 per hari, berarti 208.000 per bulan. Kini ia menyentuh 12.120 per hari. la memaksa cukup hidup dengan angka tersebut sebagai uang makan, uang kost, uang untuk berpakaian, dana beli bedak seadanya. Bisa dimengerti kalau ia tak pernah membuktikan janjinya pada keluarga untuk mengirimkan sedikit biaya sekolah 3 adiknya di kampung. Ribuan buruh hidup jauh dibawah standart hidup layak.” Cerita singkat tentang kehidupan salah satu buruh ini, cukup representatif untuk menggambarkan kehidupan kaum buruh pada umumnya. Realitas kehidupan buruh seperti di atas, seringkali diperparah dengan aneka tekanan dan ancaman-ancaman dari pimpinan tempat mereka bekerja. Misalnya yang paling sering adalah ancaman PHK.
Bagaimana realitas kehidupan buruh seperti terpapar di atas itu terbentuk? Realitas di atas terbentuk karena gagalnya dinamika dialog antara poros negara atau pemerintah, poros pengusaha atau pemilik modal, dan poros masyarakat sipil atau buruh. Sudah bukan barang baru, bahwa pemerintah Indonesia identik dengan korupsi dan manipulasi. Bahkan institusi hukum dan perundang-undangan, yang seharusnya menjadi pilihan terakhir untuk mengejar kebenaran dan keadilan, tak terelakkan dari fakta-fakta dan kebiasaan korupsi dan manipulasi. Sementara itu, poros pemilik modal bekerja dengan prinsip pencarian untung sebesar-besarnya. Dalam proses ini tidak jarang faktor manusia (buruh) ditempatkan di bawah modal dan keuntungan. Bisnis dengan demikian tidak pertama-tama dilakukan untuk mengabdi kepada manusia, sebaliknya manusia diekspoitasi untuk mengabdi kepada bisnis. Dalam proses dialog antara poros-poros ini, buruh sebagai pihak yang hanya memiliki kekuatan tenaga, tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengalah dan menerima apa adanya segala keputusan yang disodorkan oleh poros pemerintah dan poros pengusaha.
Pribadi-pribadi yang “kalah”. Seperti inilah kurang lebih wajah dunia perburuhan yang saya hadapi. Siapa yang saya maksud dengan pribadi-pribadi yang “kalah”? Buruh merupakan cerminan pribadi-pribadi yang kalah, karena mereka selalu melihat dirinya sebagai pihak yang inferior, yang tidak berdaya, korban dari kesewenang-wenangan, penindasan dan ketidakadilan. Pihak-pihak yang duduk dalam pemerintahan juga merupakan cerminan pribadi-pribadi yang kalah, karena hidup mereka tidak lagi selaras dengan tugas dan panggilan mereka untuk melayani kepentingan masyarakat. Dan pengusaha juga merupakan representasi dari pribadi-pribadi yang kalah karena hidup mereka telah disetir oleh uang, dan bukan mereka yang menyetir uang.
Danah Zohar membahasakan mendefinisikan fenomena pribadi-pribadi yang kalah dengan terminologi keterasingan diri, atau fenomena alienasi diri. Maksudnya adalah situasi di mana hidup manusia dikendalikan dan dikuasai oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Atau hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh dirinya yang sejati. Sebagai konsekuensinya, manusia tidak lagi menjadi “tuan” atas dirinya sendiri. Sebaliknya manusia menjadi “hamba” bagi kekuasaan dan kekuatan di luar dirinya. Dan itu berarti bahwa manusia kehilangan makna dan nilai hidupnya sendiri.

1.2. Kebutuhan makna dan nilai hidup dalam konteks pastoral paroki.
Kehidupan umat di wilayah pelayanan paroki memiliki sekian banyak varian persoalan hidup. Tetapi kalau dirunut secara detail dari mana sumber utama persoalan itu mengejawantah, maka jawabannya adalah keluarga. Saya tampilkan di sini salah satu contohnya. “Meike adalah seorang siswa SMU kelas 2. Lahir dan hidup dalam keluarga yang kaya. Usianya saat ini masih 16 tahun. Sejak kelas 3 SMP, Meike sudah mengenal dunia diskotik. Perkenalannya dengan dunia malam itu berawal dari ajakan temannya. Karena di dunia diskotik merasa mendapatkan banyak teman, akhirnya Meike mulai terbiasa ke diskotik, bahkan tanpa teman sekalipun. Tidak jarang sepulang sekolah Meike tidak pulang ke rumahnya, melainkan pergi ke rumah teman-temannya yang dia kenal di diskotik. Meike lebih suka pergi ke diskotik atau ke tempat teman-temannya daripada tinggal di rumah, karena di rumah dia tidak pernah mendapat sapaan dan kasih sayang. Kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kakak laki-lakinya juga demikian. Hampir setiap hari dia sendirian di rumah. Kalau sekolah di antar jemput oleh sopir. Kalau pun ada kesempatan bertemu dengan keluarganya, maka yang terjadi bukan dialog yang enak, melainkan luapan kemarahan kepada Meike. Bahkan tidak jarang Meike dipukuli oleh ayahnya. Situasi semacam ini tidak ditemukan di diskotik dan di rumah teman-temannya. Di rumah teman-temannya dan di diskotik, Meike merasa sering mendapat sapaan yang menyejukkan, yang menghibur, yang mau memahami, dan seterusnya. Namun tanpa disadari, pelan-pelan Meike mulai terserat dalam pergaulan-pergaulan yang menyesatkan. Kini Meike sudah kecanduan narkoba, kecanduan rokok, kecanduan seks bebas, dan terbelit oleh hutang dengan teman-temannya. Dan ketika sadar akan situasi hidupnya, Meike hanya bisa menangis dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mau mengandalkan keluarga? Tidak mungkin, karena kalau keluarganya tahu kondisinya, pasti dia dibuang dari keluarga. Pengandaian ini logis, karena bahkan dalam saat-saat normal saja keluarganya sudah tidak mau menerima kehadiran Meike, apalagi dalam keadaan Meike yang sudah hancur seperti itu, pasti dengan udah Meike dibuang oleh keluarga.”
Meskipun masih banyak keluarga yang baik, bahagia, dan sejahtera, namun kisah Meike dan keluarganya kiranya merupakan kisah yang senantiasa aktual dalam kehidupan umat yang saya layani. Di luar kasus yang dihadapi Meike dan keluarganya, kita masih bisa melihat kasus-kasus kecil mulai dari semakin berkembangnya keengganan untuk menempatkan dan memprioritaskan kehidupan beriman di satu sisi dan kecenderungan berkembangnya sikap-sikap konsumeris dan sekularis di sisi lain; kelesuan dalam hidup berkomunitas di satu sisi dan berkembangnya gaya hidup individualis di sisi lain; formalisme agama di satu sisi dan materialisme di sisi lain, stress, depresi, keputusasaan, dan seterusnya. Fenomena-fenomena ini merupakan fakta yang secara sporadis menghiasi panorama perjalanan hidup umat yang saya layani.
Apa sebenarnya yang hendak ditampilkan oleh pelbagai fenomena di atas? Alkoholisme, seperti yang dialami Meike, materialisme, konsumerisme, sekularisme, formalisme agama, merupakan representasi yang sangat konkrit bahwa manusia telah tercabut dari akar kesejatian dirinya. Dikatakan demikian karena - misalnya - dalam mentalitas materialisme manusia cenderung mengidentikkan dan menterjemahkan makna hidupnya dengan materi yang berlimpah. Dalam mentalitas alkoholisme bukan lagi manusia yang mengendalikan dirinya, melainkan obat-obatan terlarang, narkoba, dan sejenisnya itulah yang menguasai dirinya. Dan fakta-fakta ini sekaligus menggambarkan bahwa disposisi batin manusia dalam memaknai dan menilai hidupnya sudah semakin melemah.
Hal yang serupa juga dapat kita katakan pada fenomena-fenomena seperti depresi, stress, dan keputusasaan. Soren Kierkegaard - sebagaimana dikutip oleh Danah Zohar - menterjemahkan kepustusasaan sebagai penyakit yang menuntun pada kematian. Keputusasaan merupakan simbol bahwa manusia tidak lagi mempunyai antusiasme untuk hidup. Manusia yang putus asa adalah manusia yang melepaskan diri dari konteks kehidupannya. Manusia yang putus asa adalah manusia yang tidak mempunyai daya untuk memenangkan kehidupannya. Danah Zohar melukiskan situasi itu sebagai berikut: “Keputusasaan adalah pelepasan diri sepenuhnya dari kehidupan, semacam tindakan bunuh diri. Orang yang berputus asa telah menyerah, dia tidak dapat menemukan makna, benda, atau orang-orang yang cukup berharga yang patut ditanggapinya. Hari-hari yang dilaluinya merupakan rangkaian kesamaan yang kelabu, malam-malamnya sering berupa peristiwa-peristiwa mengerikan.”
Depresi, stress, dan keputusasaan dengan demikian hendak mengatakan bahwa manusia sungguh-sungguh tidak mempunyai daya untuk memaknai kehidupannya. Juga merepresentasikan fenomena bahwa manusia tidak lagi mempunyai perspektif yang pasti dalam hidupnya. Keputusasaan merupakan fenomena yang menunjuk pada hancurnya makna keberadaan diri manusia. Karenanya manusia dipaksa untuk berada dalam iklim ketiadaan makna dan nilai.

II. KECERDASAN SPIRITUAL: APA DAN MENGAPA?
Di atas saya sudah memaparkan aneka fenomena yang menampilkan semakin mendesaknya kebutuhan akan makna dan nilai hidup. Dengan makna dan nilai hidup saya maksudkan kebutuhan yang berkaitan dan merujuk langsung pada persoalan kecerdasan spiritual.
Apa itu kecerdasan spiritual? Dan mengapa kecerdasan spiritual? Danah Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai hidup, bukan dalam horison teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku konkrit atau dalam hamparan tantangan nyata hidup sehari-hari. Misalnya di tengah-tengah krisis kesehatan, pekerjaan, kualitas lingkungan hidup, relasi sosial, ekonomi, politik, moral, intelektual, dan seterusnya. Bahkan juga di tengah-tengah fenomena hidup yang diwarnai nada dasar kebahagiaan. Di dalam panorama hidup semacam itu kecerdasan spiritual pertama-tama menghadirkan diri sebagai sebuah pemicu lahirnya refleksi-refleksi kritis: Mengapa saya hidup? Apa makna hidup saya? Kepandaian saya? Keterampilan saya? Kesehatan saya? Kegagahan atau kecantikan saya? Kedudukan saya? Kesuksesan saya? Penderitaan saya? Kegagalan saya? Apakah hidup saya sunggguh-sungguh berharga? Dan seterusnya.
Selanjutnya - lebih dari ungkapan-ungkapan reflektif kritis - kecerdasan spiritual dimengerti sebagai kemampuan yang dengan itu manusia tergugah untuk menemukan panggilan hidupnya yang sejati. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang meniscayakan manusia untuk menemukan dan menghayati apa yang esensial dan eksistensial dalam hidupnya. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang dengannya manusia dimungkinkan untuk menemukan makna hidup yang mendalam, yang dapat mengatasi rasa nyeri, sakit, derita, dan maut sekalipun. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang bercorak transformatif, yang melampaui segala arti sementara, yang membimbing manusia untuk memiliki keberanian mengorbankan uang, kedudukan, kebebasan, dan lain sebagainya, demi pilihan dan makna tertentu yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian kecerdasan spiritual juga berarti kemampuan yang dengannya manusia tidak hanya terpaku pada apa yang ada, melainkan manusia memiliki disposisi batin yang kreatif dan terbuka pada nilai-nilai tertentu yang lebih mendasar.
Sudah barang tentu, pertanyaan-pertanyaan personal ini pada gilirannya juga akan bersentuhan dengan realitas yang berada di luar diri manusia, yaitu sesamanya dan dunia di mana manusia itu hidup. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia juga adalah makhluk mondial. Eksistensi sesama dan dunia - dalam arti tertentu - merupakan faktor yang sangat berperan dalam mencitrakan hidup manusia. Dalam konteks hidup semacam ini kecerdasan spiritual pertama-tama dimengerti sebagai kemampuan dan keterbukaan manusia kepada sesama dan dunia di luar dirinya, yang sekaligus merangkum dirinya itu.
Namun demikian, apa yang disebut dengan kecerdasan spiritual bukanlah kemampuan yang berhenti pada kesadaran dan keterbukaan yang bertalian dengan dimensi personal, sosial dan kosmis. Sebaliknya - dengan bertolak pada kematangan dimensi-dimensi tersebut, kecerdasan spiritual lebih merupakan kemampuan yang dengannya mata manusia terbuka akan kehadiran prinsip utama yang mengutuhkan hidupnya, yaitu Tuhan. Inilah sebenarnya inti dari kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual menampilkan diri sebagai kemampuan - yang melalui pemahaman akan dirinya, sesamanya, dan dunianya - manusia sampai pada kesadaran Aintegratif@ dan Akontekstual@ akan kehadiran Pribadi Yang Mahabesar, yang mengatasi sesama, alam semesta, dan dirinya, tetapi juga yang sekaligus meresapi sesama, seluruh alam semesta, dan dirinya. Dengan terminologi integratif dan kontekstual hendak ditekankan bahwa panji-panji kecerdasan spiritual selalu mengisyaratkan adanya kemampuan Apenghayatan@ makna dan nilai hidup. Itu berarti bahwa makna dan nilai yang dirujuk oleh kecerdasan spiritual bukanlah semata-mata makna dan nilai yang berhenti dalam keterpesonaan manusia pada romantisme kontemplasi teologis. Melainkan makna dan nilai itu pertama-tama adalah sebuah pengintegrasian antara refleksi dan aksi; perkawinan antara apa yang dikontemplasikan dengan apa yang aktual; kesatuan antara credo dan sikap hidup sehari-hari. Dengan kata lain corak disposisi yang menjadi kriteria kecerdasan spiritual adalah corak disposisi manusia yang bertanggung jawab pada hidupnya, dan bukan manusia yang melarikan diri dari kehidupan konkritnya. Juga manusia yang semakin berdedikasi pada kebahagiaan sesamanya dan pembangunan lingkungan hidupnya.

III. KECERDASAN SPIRITUAL DALAM KEPEMIMPINAN
Sebenarnya ada banyak cara dan kemungkinan yang bisa kita gunakan untuk membangun dan menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam konteks kepemimpinan. Dalam bagian ini saya hanya akan mensharingkan dua bentuk pengalaman pengembangan kecerdasan spiritual dalam konteks kepemimpinan saya. Dua bentuk pengalaman itu adalah dengan menciptakan ruang dialog dan yang kedua melalui keteladanan hidup.

3.1. Menciptakan ruang dialog
Chris Miller, CEO Angilan Water di Inggris, mengatakan, “jika Anda benar-benar ingin menjadi seorang pemimpin, hal pertama yang harus Anda pahami adalah diri Anda sendiri.” Pada titik inilah saya memulai untuk menerapkan point-point kecerdasan spiritual. Sepenuhnya saya sadar bahwa kecerdasan spiritual bukanlah materi atau tema atau ide yang dapat saya sampaikan melalui pengajaran, atau rekoleksi, atau seminar, atau yang semacamnya. Dalam konteks kepemimpinan, kecerdasan spiritual sebenarnya merupakan piranti praktis untuk mendulang sebuah kedalaman hidup. Dan ini harus diawali dari diri sendiri.
Di sisi lain, saya menyadari bahwa jika saya terlalu lama berkutat dengan diri sendiri dan menunggu hingga saya memiliki kesempurnaan, lantas pada tahap selajutnya mulai mengajak orang lain untuk mulai menampilkan point-point kecerdasan spiritual, itu juga bukan keputusan yang bijak. Mengapa? Karena hampir setiap saat saya bertemu dengan pribadi-pribadi yang memerlukan uluran ide baru untuk keluar dari aneka persoalan hidupnya.
Maka di tengah-tengah situasi bahwa saya harus terus merevisi diri di satu sisi, dan di sisi lain saya harus melayani pribadi-pribadi yang datang kepada saya, kepemimpinan lantas pertama-tama saya maknai sebagai sebuah ruang dialog. Dalam dialog tidak ada lagi batasan yang sangat ketat bahwa saya adalah guru dan orang lain murid, atau saya adalah pemimpin dan orang lain bawahan, atau saya adalah orang yang tahu dan orang lain tidak tahu. Sebaliknya dengan ruang dialog saya maksudkan bahwa relasi antara saya dan orang yang saya layani lebih sebagai relasi kemitraan; relasi yang saling memahami, dan bukannya mengetahui; relasi yang saling mencari, dan bukannya memberi jawaban; relasi yang saling berbagi, dan bukannya menang atau kalah; relasi yang setara, dan bukannya atasan bawahan; relasi yang dipondasikan pada sikap penghargaan dan cinta, dan bukannya kekuatan; relasi yang saling mendengarkan, dan bukannya membuktikan kebenaran pendapat. Dengan cara ini, maka bukan hanya orang lain yang belajar dari saya, melainkan juga saya banyak menimba pengalaman yang berharga dari orang lain. Dalam iklim relasi dialogal semacam itu, kecerdasan spiritual kemudian lebih merupakan frame yang berfungsi sebagai pondasi dan penuntun proses penemuan makna dan nilai kehidupan.

3.2. Keteladanan Hidup
Seperti yang sudah saya tegaskan di atas, kecerdasan spiritual bukanlah sesuatu yang dimaksudkan sebagai piranti teoritis. Sebaliknya dalam konteks kepemimpinan, kecerdasan spiritual lebih merupakan piranti praktis untuk sebuah tujuan eksplorasi diri ke arah hidup yang lebih kaya akan makna dan nilai. Pada titik ini, keteladanan dan kesaksian hidup merupakan sesuatu yang sangat penting. Dengan itu dimaksudkan bahwa saya, sebagai seorang pemimpin, dituntut untuk menghadirkan diri sebagai insan yang sungguh-sungguh memiliki komitmen dan konsistensi dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan spiritual. Dengan demikian eksplorasi kecerdasan spiritual bukanlah sekedar proses yang keluar dari konsep-konsep teoritis. Melainkan terutama merupakan proses yang didasari oleh kesaksian saya yang nyata dalam menerapkan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam perilaku hidup sehari-hari.
Misalnya, di tengah-tengah realitas hidup umat yang mulai merepresentasikan fenomena kekalahan terhadap dirinya – seperti yang saya uraikan di atas – saya berusaha untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki kehendak kokoh untuk terus mengenal diri. Juga sebagai pribadi yang memiliki konsistensi untuk menghayati panggilan dan tujuan hidup saya yang sejati. Pribadi yang mempunyai antusiasme hidup. Kegairahan hidup. Semangat hidup. Bergembira. Pribadi yang selalu berusaha menampilkan paradigma yang terbuka. Pribadi yang memiliki tanggung jawab yang kokoh atas apa yang harus saya kerjakan dan berani menanggung resiko sebagai konsekuensi logis dari perbuatan saya.
Atau di tengah-tengah berkembangnya kecenderungan yang menjunjung tinggi aliran materialisme dan sekularisme, serta formalisme agama, saya berusaha untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki kekonstanan dalam menjalin relasi harmonis dengan Tuhan, meluangkan waktu untuk secara personal berbicara dengan Tuhan; sebagai pribadi yang sepenuhnya sadar bahwa hanya dalam persatuan dengan Tuhan maka hidup saya menjadi bermakna dan bernilai; sebagai pribadi yang juga sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya prinsip dan kekuatan yang mengenal dan menerangi delik-delik jalan terbaik bagi hidup saya.
Dalam konteks dunia perburuhan yang sangat akrab dengan mentalitas koruptif-manipulatif terhadap harkat, martabat, dan hak-hak hidup sesama, maka saya selalu berusaha untuk memperhatikan kaum buruh; mengembangkan dan memberdayakan kaum buruh; mengupayakan relasi yang adil, yang tulus, dan jujur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999
2. J. Inocencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Kanisius, Yogyakarta, 1986
3. Robert H. Lauer, Social Problems and The Quality of Life, Wm. C. Brown Company, Lowa, 1982
4. Bob Garon, Dinamika Kehidupan Yang Bahagia, Nusa Indah, Ende, 1986
5. Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, (terjemahan: Rahmani Astuti), Mizan, Bandung, 2000
6. B.S. Mardiatmadja, SJ., Panggilan Hidup Manusia, Kanisius, Yogyakarta, 1982Sukidi, Kecerdasan Spiritual, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
7. Henri J.M. Nouwen, Pandanglah Wajah Kasih Allah: Spiritualitas Seni Ikon, Kanisius, Yogyakarta, 2003
8. Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, jakarta, 1985Victor Barnouw, Culture and Personality, Dorsey Press, USA, 1973
9. Catechism of The Catholic Churc, Veritas, Ireland, 1994
10. Louis leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan, Kanisius, Yogyakarta
11. Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital, Mizan, Bandung, 2006
12. A.M. Mangunhardjono, Pendampingan Kaum Muda, Kanisius, Yogyakarta, 1986


KEBEBASAN DALAM FILSAFAT LOUIS LEAHY DAN DALAM PEMIKIRAN MANUSIA JAWA

TELAAH FILSAFAT PERBANDINGAN

1. PENGANTAR
Kebebasan. Sebuah ide yang senantiasa aktual dalam panorama perkembangan peradaban manusia. Dikatakan demikian karena kebebasan merupakan problem esensial dan eksistensial yang secara terus-menerus diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar. Maka dalam hal ini harus dikatakan juga bahwa kebebasan merupakan karakter dasar manusia. Kebebasan merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia. Kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia. Manusia akan mungkin merealisasikan dirinya secara penuh jika ia bebas.

Dalam tulisan yang singkat ini penulis mencoba menelisik ide kebebasan berdasarkan dua latar belakang pemikiran yang berbeda, yaitu pemikiran Louis Leahy dan pemikiran manusia Jawa. Dengan Louis Leahy dimaksudkan sebuah rujukan pemikiran barat. Dan dengan manusia Jawa dimaksudkan sebuah representasi pemikiran timur. Kedua latar belakang pemikiran ini akan dibahas secara terpisah terlebih dahulu supaya kekhasan masing-masing latar belakang kelihatan secara tegas. Pada tahap selanjutnya, penulis akan mencoba melihat keduanya dalam kesatuan pembahasan untuk menelaah aspek-aspek perbedaan dan kesamaannya, dan kemudian mencoba mencari gagasan yang lebih universal tentang arti kebebasan.
2. KEBEBASAN DALAM FILSAFAT LOUIS LEAHY
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is self-determination”. Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebasan yang nampak secara sekilas dalam binatang-binatang pada dasarnya bukan kebebasan sejati. Mereka dapat menggerakkan tubuhnya ke mana saja, tetapi semuanya itu sebenarnya bukan berasal dari diri binatang itu sendiri. Gerakan binatang bukanlah hasil dorongan internal diri binatang. Kebebasan mereka adalah kebebasan sebagai produk dorongan-dorongan instingtualnya. Dengan istilah instingtual dimaksudkan tidak adanya peran akal budi dan kehendak. Dalam arti itu sebenarnya di dalam diri binatang-binatang tidak ada kebebasan. Di dalam diri binatang tidak ada self-determination atau kemampuan internal untuk menentukan dirinya. Sedang manusia mempunyai kemampuan untuk berhasrat dan berkeinginan. Ia mempunyai kecenderungan dan kehendak yang bebas. Manusia mempunyai kemampuan memilih. Karena itu dikatakan bahwa manusia adalah tuan atas perbuatannya sendiri. Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.
Berangkat dari pengertian kebebasan secara umum, seperti yang diuraikan di atas, secara ringkas Louis Leahy kemudian membedakan tiga macam atau tiga bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.

2.1. Kebebasan Fisik
Kebebasan fisik menurut Louis Leahy adalah ketiadaan paksaan fisik. Artinya adalah tidak adanya halangan atau rintangan-rintangan eksternal yang bersifat fisik atau material. Dalam konteks ini orang menganggap dirinya bebas jika ia bisa bergerak ke mana saja tanpa ada rintangan-rintangan eksternal. Ia dikatakan bebas secara fisik jika tidak dicegah secara fisik untuk berbuat sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Seorang tahanan di sebuah sel tidak mempunyai kebebasan dalam arti ini karena dia secara fisik dibatasi. Dia akan bebas jika masa tahanannya sudah lewat. Dengan demikian paksaan di sini berarti bahwa fisik manusia diperalat oleh faktor eksternal untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang tidak ia kehendaki atau yang ia kehendaki. Jangkaun kebebasan fisik juga ditentukan oleh kemampuan badan manusia sendiri. Jangkauan itu terbatas. Namun demikian hal itu tidak mengurangi melainkan justru mencirikan kebebasan manusia. Contohnya: bahwa manusia tidak bisa terbang itu bukan merupakan pengekangan terhadap kebebasannya. Hal itu semata-mata disebabkan oleh kemampuan badan manusia yang terbatas. Jadi sekali lagi yang dimaksud paksaan terhadap kebebasan fisik ini adalah pengekangan atau paksaan yang datang dari luar diri manusia. Misalnya dari lembaga atau orang lain.
Kebebasan dalam pengertian ini bisa terdapat pada manusia atau binatang, bahkan pada tumbuhan atau objek yang tidak berjiwa. Yang membedakan manusia dengan binatang dan benda-benda itu adalah aspek kehendak akal budi manusia. Binatang menggerakkan tubuhnya sendiri, namun akar dari gerakan itu adalah dorongan instingtualnya. Sedangkan manusia bergerak karena dorongan kehendaknya.
Kebebasan fisik adalah bentuk kebebasan yang paling sederhana atau dangkal. Karena bisa saja orang yang tidak bebas secara fisik, namun ia merasa sungguh-sungguh bebas. Banyak para pejuang keadilan dan kebenaran pernah ditahan atau bahkan disiksa, namun mereka tetap merasa bebas. Tiadanya kebebasan fisik bisa disertai kebebasan dalam arti yang lebih mendalam. Kebebasan fisik sebenarnya bukan merupakan kebebasan yang sejati. Ia hanya merupakan bentuk kebebasan dalam pengertian yang sangat sederhana.Namun demikian kebebasan ini mempunyai makna yang esensial dan nilai yang positif. Kebebasan fisik dapat menjadi sarana untuk mencapai kebebasan yang sejati.

2.2. Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis berarti ketiadaan paksaan secara psikologis. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan untuk mengarahkan hidupnya. Orang dikatakan bebas secara psikologis jika ia mempunyai kemampuan dan kemungkinan untuk memilih pelbagai alternatif. Yang men-ciri-khas-kan kemampuan itu adalah adanya kehendak bebas. Karena itulah Louis Leahy mengidentikkan kebebasan psikologis dengan kebebasan untuk memilih atau kebebasan berkehendak. Kebebasan memilih atau kebebasan berkehendak sering pula dikatakan dalam arti kebebasan untuk mengambil keputusan berbuat atau tidak berbuat, atau kebebasan untuk berbuat dengan cara begini atau begitu, atau merupakan kemampuan untuk memberikan arti dan arah kepada hidup dan karya, atau merupakan kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-nilai yang terus-menerus ditawarkan kepada manusia.
Kebebasan psikologis berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal budi. Manusia “bisa” berpikir sebelum bertindak. Ia menyadari dan mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Karena itu jika orang bertindak secara bebas maka itu berarti ia tahu apa yang dilakukan dan tahu mengapa melakukannya. Jadi kebebasan berkehendak mengandaikan kesadaran dan kemampuan berpikir maupun kemampuan menilai dan mempertimbangkan arti dan bobot perbuatan sebelum manusia membuat suatu keputusan untuk bertindak. Dalam kebebasan psikologis kemungkinan memilih merupakan aspek yang penting. Konsekuensinya adalah tidak ada kebebasan jika tidak ada kemungkinan untuk memilih. Orang dikatakan bebas dalam pengertian ini jika ia mempunyai kemungkinan untuk melakukan tindakan A dan bukan B. Kemungkinan untuk memilih adalah aspek yang penting, namun demikian aspek ini tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kebebasan psikologis. Mengapa? Karena pemilihan bukan merupakan hakekat kebebasan psikologis. Hakekat kebebasan psikologis adalah kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri.
Berbeda dari kebebasan fisik, kebebasan psikologis tidak bisa secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak bisa dipaksa untuk menghendaki sesuatu. Misalnya dalam peristiwa perampokan. Seandainya saya terpaksa menyerahkan semua uang dan harta yang saya punyai, penyerahan itu saya lakukan atas kehendak saya. Dalam arti itu saya masih bebas secara psikologis, karena saya masih mempunyai kemungkinan untuk memilih. Dan (mungkin) saya tidak bebas secara fisik, karena dalam perampokan itu saya diancam untuk dibunuh. Secara tidak langsung bentuk paksaan psikologis adalah pembatasan-pembatasan psikis yang memaksa seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kebebasan psikologis juga dapat dihalangi dengan mengkondisikan orang sehingga tidak mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu. Misalnya seorang ibu yang mengharuskan anaknya untuk langsung pulang setelah jam sekolah selesai. Ibu itu membatasi kebebasan psikologis anaknya karena dia tidak memberi kemungkinan pada anaknya untuk melakukan tindakan lain selain langsung pulang setelah sekolah.

2.3. Kebebasan Moral
Louis Leahy mendefinisikan kebebasan moral sebagai ketiadaan paksaan moral hukum atau kewajiban. Kebebasan moral tidak sama dengan kebebasan psikologis. Meskipun demikian antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Contohnya suatu ketika saya berjalan dan melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan tanpa pemilik. Pikiran yang muncul saat itu adalah “saya mengambil dompet itu.” Dan memang kemudian saya mengambil dompet itu. Namun setelah mengambil dompet itu saya masih menimbang lagi: “atau dompet ini saya kembalikan pada pemiliknya, atau saya mengambil dan tidak memberikan pada pemiliknya.” Dalam hal ini saya mempunyai kemungkinan atau kebebasan untuk memilih. Saya mempunyai kebebasan psikologis. Di lain pihak dalam tindakan saya itu tidak ada kebebasan moral. Alasannya adalah tindakan saya secara moral tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Saya telah mengambil barang orang lain yang bukan hak saya. Contoh lain: Seorang wanita yang disandra yang harus memilih di antara dua pilihan, yaitu atau menyerahkan semua perhiasannya atau diperkosa. Pada akhirnya perempuan itu memilih untuk menyerahkan semua perhiasannya. Dalam pengertian kebebasan psikologis perbuatan perempuan itu adalah bebas karena perbuatan itu keluar dari kehendaknya. Dalam pilihannya itu ia menjadi penentu atas dirinya sendiri. Meskipun perempuan itu bebas secara psikologis, namun ia tidak bebas secara moral. Alasannya ialah karena perempuan itu memilih secara terpaksa. Ia dipaksa secara moral. Ia berhadapan dengan dua pilihan dilematis yang sama-sama mempunyai konsekuensi negatif. Perempuan itu menjadi tidak berdaya. Jadi dalam pengertian inilah kebebasan moral mengandaikan kebebasan psikologis. Dan sebaliknya jika ada kebebasan psikologis belum tentu ada kebebasan moral. Dan karena itulah kebebasan moral harus dibedakan dengan kebebasan psikologis dan kebebasan fisik. Kebebasan moral dapat dibatasi dengan pemberian larangan atau pewajiban secara moral. Orang yang tidak berada dibawah tekanan sebuah larangan atau berada dibawah suatu kewajiban adalah bebas dalam arti moral.

3. KEBEBASAN DALAM TRADISI JAWA
3.1 Kebebasan dan Sikap Heteronomi Manusia Jawa
Sebagai awal telaah tentang paham kebebasan dalam pemikiran manusia Jawa, berikut ini penulis mencuplik dialog kecil antara seorang ayah dan seorang anaknya. “Wiriaatmadja menggelengkan kepalajna: ‘anak-anak sekarang pajah kita hendak mengertinja, pendapatnja selalu berlainan dengan kita; apa jang kita katakan baik, katajna tidak baik’. ‘Bukan begitu, bapa!’ kata Tuti pula menjambung kata ayahjna. ‘Bukan mereka sengadja selalu hendak bertentangan dengan orang-orang tua. Jang bertentangan itu hanjalah pendapatnja tentang bahagia, tentang arti hidup kita sebagai manusia.” Dialog kecil ini merupakan representasi yang sangat konkrit pemikiran manusia Jawa. Manusia Jawa seringkali diidentikkan dengan manusia yang memiliki corak pemikiran dan karakter tradisional dan tertutup terhadap aneka bentuk pembaharuan. Itu karena di dalam masyarakat Jawa atau di dalam panorama hidup manusia Jawa, terdapat sederetan norma. Maka ketika hendak melakukan sesuatu atau hendak melakukan penilaian terhadap suatu tindakan, pertanyaan pertama yang dicetuskan oleh manusia Jawa adalah: “apakah tindakan itu sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak?”.
Seluruh hidup manusia Jawa diatur secara ketat oleh bermacam-macam peraturan, larangan, dan tabu. Kebebasan manusia Jawa untuk bertindak dan berpikirpun tak terlepaskan dari konteks hidup semacam ini. Manusia Jawa mengartikan bahwa sebuah tindakan dikatakan bebas jika sesuai dengan peraturan, larangan, dan tabu yang sedang berlaku. Dengan demikian, dalam hidup manusia Jawa, peraturan, larangan, dan tabu merupakan sesuatu yang sangat penting. Penting karena pada norma-norma itulah sebuah tindakan konkrit diukur dan dinilai baik atau buruk, bebas atau tidak bebas. Sikap seperti ini disebut heteronom. Artinya suatu sikap di mana manusia membiarkan diri diatur dari luar. Manusia tidak menentukan diri sesuai dengan apa yang dimengertinya dan disetujuinya. Sebaliknya manusia selalu menyesuaikan diri pada hukum, aturan-aturan, larangan-larangan, dan tabu-tabu yang berlaku dalam masyarakat. Penyesuaian itu bukan karena manusia mengerti dan menyetujui maksud norma-norma atau hukum-hukum tersebut, melainkan karena “asal saja” tindakan itu sesuai dengan hukum.

3.2. Kebebasan dan Sikap “Rumangsan” Manusia Jawa
Manusia Jawa “rumangsan”, artinya perasa bahwa tindakannya selalu diperhatikan oleh sesamanya. Manusia Jawa adalah manusia yang takut terhadap penilaian negatif dari sesamanya. Oleh karenanya, manusia Jawa selalu “takut” untuk melakukan tindakan yang melanggar tatanan kesusilaan dan adat kesopanan. Rasa takut ini kemudian menggiring manusia Jawa dalam ranah ketidak-bebasan untuk bertindak. Pandangan bahwa sesama merupakan sumber pembicaraan yang memalukan dirinya, juga meniscayakan manusia Jawa menjadi pribadi yang takut untuk melakukan sesuatu secara terbuka.
Manusia Jawa, sebagaimana manusia pada umumnya, sebenarnya sangat menghendaki sebuah iklim kebebasan, di mana mereka dimungkinkan untuk bertindak dan mengaktualkan dirinya secara leluasa. Tetapi di sisi lain, di dalam hidupnya manusia Jawa tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari “mitos” dan paradigma yang negatif tentang kehadiran sesama dalam hidupnya. Kondisi dilematis inilah yang akhirnya mengantarkan manusia Jawa kepada pemahaman bahwa manusia Jawa adalah makhluk yang sangat cerdik dalam menyembunyikan dan menutup-nutupi segala tindakan yang tidak dibenarkan oleh norma-norma yang berlaku. Karakter “rumangsan” dalam manusia Jawa hendak menggambarkan tipe kepribadian manusia yang belum otentik, belum mempunyai kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bebas.

3.3. Kebebasan dan Kebangkitan Manusia Jawa dari Sikap Fatalistik
Manusia Jawa pada umumnya identik dengan sikap dan gagasan fatalistik. “Urip manungsa pinasti ing Pengeran”. Begja-cilakaning manungsa pinesthi ing Pengeran. Dengan ungkapan-ungkapan ini, manusia Jawa hendak mengatakan bahwa sebaik-baiknya manusia merancang hidupnya, kesudahannya Tuhanlah yang menentukan. Ini adalah sikap dan gagasan yang fatalistik. Dan sikap ini sangat merata dalam masyarakat Jawa. Konsekuensi logis dari paradigma ini adalah bahwa bagi manusia Jawa apa yang disebut dengan kebebasan merupakan sesuatu yang semu. Dikatakan demikian karena manusia Jawa yakin bahwa hidup ini merupakan produk faktor-faktor misterius yang tidak diketahui oleh manusia dan tak mungkin dirubah oleh manusia. Dalam hal ini satu-satunya sikap yang mungkin dilakukan oleh manusia adalah menerima keadaan sebagaimana adanya.
Sikap dan gagasan semacam ini dalam perkembangannya mengalami perubahan. Tradisi dan ajaran-ajaran keagamaan, mencuatnya aneka bentuk kemajuan pembangunan di bidang perekonomian dan kebudayaan merupakan faktor-faktor yang sangat menentukan perubahan paradigma manusia Jawa. Manusia Jawa dalam perkembangannya tidak lagi terjebak dalam pandangan yang fatalistik. Sebaliknya manusia Jawa sangat menghargai otonomi dirinya. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kebebasan. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mendeklarasikan dirinya sebagai subjek penentu nasibnya sendiri.
Dengan pergeseran paradigma ini, manusia Jawa mulai menyakini bahwa hidup bukanlah sesuatu yang statis dan deterministik. Sebaliknya hidup merupakan suatu perjalanan dan upaya yang dinamis. Hidup juga bukanlah sebuah sikap tinggal diam dan menyerahkan nasib kepada Tuhan. Sebaliknya hidup merupakan pengejawantahan kebebasan untuk terus maju dan berubah ke arah yang lebih baik.

4.4. Kebebasan dan Paham Kemanunggalan
Di atas kita sudah melihat secara sangat singkat beberapa karakter manusia dalam hubungannya dengan ide kebebasan. Manusia Jawa itu heteronom. Manusia Jawa itu rumangsan. Manusia Jawa itu fatalistik. Karakter-karakter ini merupakan sesuatu yang terbentuk dengan alasan yang sangat jelas. Pada bagian ini penulis hanya akan memaparkan satu alasan yang sangat mendasar, yaitu paham kemanunggalan atau paham keesaan atau bisa juga disebut paham keharmonisan.
Manusia Jawa adalah makhuk yang sangat menaruh perhatian kepada kemanunggalan atau keharmonisan. Tidak hanya dalam hubungannya dengan sesama, tetapi juga keharmonisan dalam kaitannya dengan kosmos dan dengan sang Ada. Di sini kemanunggalan dimaknai sebagai keseluruhan yang terkoordinasi, atau keseluruhan sistem yang terintegrasi secara fungsional, “bulat”, meliputi yang “kasar” dan yang “halus”, rasio dan rasa, lahir dan batin. Semuanya mengambil bagian dalam kesatuan yang ada, terkoordinasi, berhubungan secara hirarkis, dan berada dalam keseimbangan yang harmonis dan tenteram.
Paham ini memiliki pengaruh yang sangat besar bagi etika Jawa dan sikap terhadap hidup. Dalam proses pengambilan keputusan secara musyawarah, kemanunggalan yang hirarkis dan terkoordinasi diwujudkan dalam mufakat atau keputusan yang “bulat”; dan kesatuan harmonis dalam kelompok tercetus dalam cita-cita dan praktek gotong-royong, saling membantu, dan dalam cita-cita “rukun”. Dalam kaitannya dengan individu, paham kemanunggalan menegaskan bahwa manusia individual haruslah dikoordinasi dan harus menjadi bagian harmonis sesamanya.
Keketatan dan keteraturan konsep kemanunggalan dalam menetapkan koordinasi, koinsidensi, ternyata tidak hanya menimbulkan dampak-dampak positif bagi hidup dan perilaku manusia Jawa. Sebaliknya paham kemanunggalan juga menyiratkan serentetan dampak yang yang negatif. Dengan paham kemanunggalan, hidup manusia Jawa menjadi sebuah panorama perjalanan yang sangat ritual dan deterministik. Dalam pamam Jawa, makna kebebasan menjadi semu, karena semua yang ada di dunia ini pada dasarnya sudah tertata dan harus demikian. Dan dengan demikian hidup tidak lebih dari sebuah perjalanan yang mengalir, yang mengikuti kondisi yang sudah dipastikan ke kondisi pasti yang lain.

4. GAGASAN TENTANG KEBEBASAN DIPERBANDINGKAN
Kebebasan dalam filsafat barat, sebagaimana direpresentasikan oleh Louis Leahy, memperoleh penjabaran yang sangat tegas. Freedom is self-determination dalam segala aspek kehidupan manusia, mulai dari tataran fisik, psikologis, dan moral. Dalam pemikiran manusia Jawa, gagasan kebebasan semacam ini ternyata juga mendapat pengakuan. Memang, dalam keyakinan-keyakinan awalnya, manusia Jawa sangat sarat dengan kecenderungan berpikir heteronom, rumangsan, dan fatalistik. Namun dalam dinamika perkembangan dan pergulatannya, akhirnya manusia Jawa sampai juga pada keyakinan bahwa dirinya adalah faktor penentu hidupnya. Manusia Jawa adalah makhluk yang otonom. Manusia Jawa adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Manusia Jawa mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang otonom; bebas. Namun pada saat yang sama manusia Jawa sebenarnya tidak bisa menegasi bahwa dirinya harus taat pada aneka tatanan moral-sosial dan kosmos yang melingkupi dirinya. Berbeda dengan apa yang tertuang dalam gagasan Louis Leahy. Sebagaimana tercetus dalam pemahaman manusia Jawa, Louis Leahy juga mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari kosmos atau alam semesta. Namun pada saat yang sama Louis Leahy menegaskan bahwa manusia terpisah dari alam semesta. Artinya walaupun dalam kenyataannya manusia hidup di dalam alam semesta ini, namun manusia mempunyai kemampuan untuk tidak begitu saja ikut arus gerak alam semesta ini. Manusia mempunyai kemampuan untuk menyatukan, sekaligus melepaskan diri dari semua pengaruh lingkungan alam sekitarnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Namun dengan kebebasannya manusia mampu mengekang keinginan-keinginan yang muncul dalam dirinya untuk suatu tujuan yang lebih tinggi. Demikian juga manusia mempunyai keinginan untuk hidup bahagia dan sejahtera selama hidup di dunia. Namun semua itu dapat saja dikorbankan, tentu saja dengan landasan kebebasannya, untuk mencapai kebahagiaan sejati, yaitu persatuan abadi dengan Allah di surga.
Gagasan yang tegas semacam ini tidak kita temukan dalam pemahaman manusia Jawa. Mengapa? Karena dalam pemahaman manusia Jawa menjaga keselarasan atau keharmonisan dengan tata alam semesta, atau dengan aturan-aturan moral perilaku yang lainnya bukanlah hukum yang bisa dipertanyakan. Dan manusia Jawa memang tidak pernah mempertanyakan hal itu. Sebaliknya keharmonisan, keselarasan, dan kerukunan bagi manusia Jawa merupakan pedoman hidup yang harus ditaati. Dengan pondasi gagasan ini, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam pemahaman manusia Jawa kebebasan itu sebenarnya tidak ada?
Dalam pemikiran manusia Jawa, kebebasan itu sebenarnya ada. Bahkan mungkin harus dikatakan bahwa manusia Jawa adalah makhluk yang sangat menunjung tinggi kebebasan. Dikatakan demikian karena konsep kebebasan pada tataran yang paling esensial tidak bisa secara serta merta dimengeti sekedar dengan logika sebab akibat. Misalnya: manusia menghendaki kebebasan. Di sisi lain, manusia selalu hidup dalam tatanan kosmos yang bagi manusia harus ditaati. Lantas disimpulkan bahwa manusia pada dasarnya tidak mungkin menghendaki kebebasan. Kesimpulan semacam ini tidak valid, pertama-tama karena sama sekali tidak memperhitungkan sebuah kedalaman arti dari terminologi kebebasan. Pada titik ini Louis Leahy kiranya dapat membantu kita untuk menemukan jawaban yang lebih valid. Seperti halnya dipikirkan oleh manusia Jawa, Louis Leahy juga mengakui bahwa manusia hidup dalam ruang dan waktu. Manusia sadar bahwa hidupnya tergantung pada kondisi-kondisi tertentu dari alam semesta. Manusia tidak bisa melawan dan menolak gejala-gejala alamiah, seperti terbit dan tenggelamnya matahari, bulan dan bintang-bintang. Meskipun demikian, tanpa harus melanggar hukum-hukum alam itu, bahkan dengan mematuhi hukum-hukum itu, manusia dengan kebebasannya mampu mengubah dunia.
Konsep yang sama juga berlaku dalam penjabaran ide kebebasan dalam kaitannya dengan realitas manusia sebagai makhluk yang harus berinteraksi dengan sesamanya. Di atas kita sudah melihat bahwa manusia Jawa sangat erat dengan sikap “rumangsan”. Dalam konteks ini, kalau ditelaah secara lebih mendalam, manusia Jawa sebenarnya memiliki konsep yang sangat serupa dengan apa yang dipikirkan oleh Louis Leahy. Menurut Louis Leahy manusia adalah makhluk yang pada hakekatnya sedang menyempurnakan diri. Dalam hal ini juga harus dikatakan bahwa dinamika manusia itu adalah dinamika kearah penyempurnaan sesamanya. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup bersama dan membentuk kesatuan dengan sesamanya. Manusia tidak bisa menjadi sempurna kecuali dengan menyempurnakan diri bersama-sama dengan sesamanya. Karena itu dinamika penyempurnaan diri manusia tidak bisa tidak juga merupakan penyempurnaan sesamanya. Hal itu juga berarti bahwa manusia harus menyempurnakan masyarakat sekitarnya. Maka pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara tujuan manusia sebagai pribadi dan tujuan masyarakat di mana dia hidup dan menyempurnakan dirinya. Menyempurnakan diri berarti menyempurnakan masyarakat. Begitu pula sebaliknya, menyempurnakan masyarakat berarti menyempurnakan diri manusia sendiri. Di sinilah terkandung makna yang sangat jelas mengenai ide kebebasan manusia. Manusia yang menyempurnakan diri adalah manusia yang bebas.
Hubungan timbal balik antara manusia sebagai pribadi dan masyarakat tersebut dalam arti tegas bukan berarti mencampurkan begitu saja antara pengertian manusia sebagai pribadi dan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini diartikan sebagai suatu asosiasi individu-individu yang mempunyai tugas menyempurnakan dirinya. Sedangkan manusia dipandang sebagai persona yang terbuka terhadap masyarakatnya. Jadi manusia merupakan bagian dari masyarakat. Jika masyarakat itu dianalogikan dengan sebuah tubuh. Maka manusia sebagai pribadi merupakan bagian-bagian tubuh itu, seperti tangan, kaki, dan semacamnya. Dalam posisinya itu, kebebasan manusia sebagai pribadi terletak dalam keterbukaannya untuk senantiasa menyempurnakan dirinya dan menyempurnakan masyarakatnya.

5. PENUTUP
Bertolak dari dua paham kebebasan, yaitu menurut manusia Jawa dan Louis Leahy, pada akhir pembahasan ini penulis hendak menegaskan bahwa kebebasan sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat esensial dan dijunjung tinggi oleh manusia, baik itu manusia Jawa maupun manusia barat. Keduanya berangkat dari latar belakang pemikiran yang berbeda, tetapi keduanya memiliki pemahaman yang serupa, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


1. DR. Nico Syukur Dister OFM, Filsafat Kebebasan, Kanisius, Yogyakarta, 1993
2. Laurentius Heru Susanto, Filsafat Kebebasan Albert Camus, STFT Widya Sasana, Malang, 1991
3. History Of Philosophy Quarterly, Vol.4, No.1, Januari, 1987
4. Richard Taylor, Metaphysics, (third edition), Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, United States of America, 1983
5. History Of Philosophy Quarterly, Vol.9, No.1, Januari, 1992
6. P. Leenhouwers, Manusia Dalam Lingkungannya: Refleksi Filsafat Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta, 1988
7. German Grisez / Russell Shaw, Beyond The New Morality: The Responsibility Of Freedom, University Of Notre Dame Press, London, 1974
8. Basis, No.7, Tahun XXXVII, 1998
9. Lorens bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
10. History of Philosophy Quarterly, Vol.15, No.2, April 1998
11. K. Bertens, Filsafat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1985
12. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
13. DR. Franz Magnis-Suseno, SJ, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989
14. DR. Franz von Magnis, Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1985
15. Drs. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Pers, Jakarta, 1990
16. The Journal Of Philosophy, Vol.XCII, No.5, Mei, 1995
17. The Journal Of Philosophy, Vol.XC, No.2, Pebruari, 1993
18. Bernard J.F. Lonergan, Insight, Darton Longman and Todd, London, 1958
19. Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 1993
20. William H. Halverson, A Concise Introduction To Philosophy, (third edition), New York, 1976
21. DR. Franz magnis-Suseno, SJ, dkk, Etika Sosial: Buku Panduan Mahasiswa, Gramedia, Jakarta, 1989
22. Dr. Phil. Franz Magnis Suseno SJ, dan Dr. S. Reksosusilo CM, Etika Jawa Dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai, Kanisius, Yogyakarta, 1983
23. DRS. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1984
24. Dr. Stephanus Ozias Fernandez SVD, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Nusa Indah, Ende, 1990
25. Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional, Panji Pusaka, Yogyakarta, 2006
26. Prof. DR. H.M. Rasjidi, Filsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1978
27. Ernst Cassirer, Manusia Dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Gramedia, Jakarta DR. Soedjono Dirdjosisworo, S.H., Asas-Asas Sosiologi, Armico, Bandung, 1985
28. Sutarjo Adisusilo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1983
29. M. Habib Mustopo, Ilmu Budaya Dasar: Kumpulan Essay-Manusia Dan Budaya, Usaha Nasional, Surabaya, 1989
30. Prof. DR. N. Drijarkara SJ. Filsafat Manusia, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1969
31. Johannes Messner, Social Ethhics: Natural Law In The Western World, B. Herder Book Co., St. Louis And London, 1965


PRINSIP DAN TUJUAN HIDUP BERSAMA

Perbandingan antara Pandangan Orang Jawa dan Filsafat Aristoteles

Dewasa ini, dengan mencuatya aneka bentuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sarana komunikasi, peziarahan hidup manusia semakin berada pada dinamika perubahan yang sangat signifikan. Manusia lebih condong mengedepankan karakter individualitasnya di atas prinsip-prinsip tata hidup bersama. Tentu, fenomena ini tak terlepaskan dari fakta bahwa dengan segala bentuk perkembangan fasilitas dan trend gaya hidupnya, manusia telah terbukti mampu melalukan segala aktivitas hidupnya tanpa orang lain. Apakah fenomena ini harus dikatakan sebagai dampak positif dari proses mengalirnya peradaban manusia? Atau justru sebaliknya, apakah fenomena ini merupakan representasi kemunduran proses perjalanan peradaban manusia?
Kita akan merunut jawaban atas persoalan di atas dengan membandingkan dua latar belakang tradisi pemikiran yang berbeda, yaitu tradisi pemikiran Jawa dan tradisi pemikiran Barat. Dari tradisi pemikiran Jawa kita akan menelaah Pandangan Manusia Jawa tentang individu dan hidup bersama. Dan dari pemikiran barat kita akan menganalisa filsafat Aristoteles tentang kodrat manusia.

Tradisi pemikiran Jawa: tempat individu dalam tata hidup bersama
Tradisi Jawa mengakui otonomi invividu. Pengakuan ini terutama tercetus dalam sikap manusia Jawa yang menunjung tinggi hak-hak pribadi. Misalnya adalah hak yang berhubungan dengan tukar-menukar, hutang-piutang, pinjam-meminjam, pembagian warisan, dan lain sebagainya. Dalam perkara-perkara semacam itu manusia Jawa memiliki kesadaran yang sangat tajam.
Namun demikian, harus ditegaskan bahwa dalam pandangan manusia Jawa yang ditekankan tidaklah pertama-tama dimensi otonomi individu atau hak yang dapat dituntut, melainkan dimensi otonomi individu atau hak yang harus diberikan kepada orang lain. Prinsipnya adalah bahwa setiap manusia atau individu memiliki kewajiban menjunjung tinggi hak sesamanya demi kerukunan hidup bersama. Kerukunan dalam pandangan manusia Jawa merupakan prinsip yang paling utama.
Apa itu rukun? Rukun dalam tradisi pemikiran Jawa dipahami sebagai suatu keadaan dan sebagai suatu cara bertindak. Rukun sebagai suatu keadaan berarti keselarasan sosial, atau suatu keadaan di mana semua manusia berada dalam relasi damai satu dengan yang lainnya. Dan rukun sebagai suatu cara bertindak berarti bahwa setiap manusia berani mengorbankan atau menomorduakan kepentingannya sendiri demi kepentingan hidup bersama.
Mengapa dalam tradisi Jawa kerukunan mendapat tempat paling utama? Paling utama karena menurut manusia Jawa dengan kerukunan, maka aneka pertentangan baik itu yang terjadi dalam tataran pribadi maupun dalam horizon sosial, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya tidak terejawantah secara nyata. Rukun merupakan cara untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan antara individu-individu yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Kedua, kerukunan itu memiliki kedudukan sangat penting karena di dalamnya terdapat paham Jawa tentang keseimbangan emosional yang merupakan sumber kekuatan moral dan sosial.
Apa konsekuensi logis dari paham tentang kerukunan di atas? Konsekuensi logisnya, kepentingan individu menjadi relatif. Kepentingan individu tidak mutlak. Kepentingan individu tidak boleh ditekankan sampai menimbulkan ketegangan yang mengancam kerukunan atau keselarasan tata hidup bersama. Kerukunan berarti bahwa semua pihak harus mau berdamai. Oleh karena itu setiap individu tidak dimungkinkan mengajukan tuntutan-tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebaliknya setiap individu harus tunduk pada norma-norma kerukunan.

Aristoteles: hidup bersama merupakan representasi kepenuhan kodrat manusia
Tata hidup bersama dan natura manusia. Dua gagasan ini dalam filsafat Aristoteles merupakan satu kesatuan tema yang tak terlepaskan satu dengan yang lainnya. Ide tentang tata hidup bersama mengandaikan penjabaran tentang siapa itu (kodrat atau natura) manusia. Sebaliknya bagi Aristoteles, menjelaskan gagasan tentang kodrat manusia berarti juga menelaah ide tentang tata hidup bersama. Siapa itu manusia? Apa itu tata hidup bersama?
Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai makluk politik atau makhluk sosial. Maksudnya bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan kodrati tinggal bersama dengan manusia lain. Atau makhluk yang dapat menggagas hidupnya sendiri dalam kebersamaan dengan manusia lain. Apa dasarnya gagasan ini? Dasarnya adalah fakta bahwa manusia tidak mungkin hidup sendirian. Manusia tidak mungkin hidup tanpa kehadiran pribadi lain. Sebaliknya manusia senantiasa berusaha membangun kesatuan. Seperti yang tertuang dalam literatur sejarah penciptaan, kesatuan yang paling kecil dibangun antara pria dan wanita. Kesatuan ini kemudian memunculkan keluarga, lantas masyarakat dan negara.
Tata hidup bersama dengan demikian – menurut Aristoteles – merupakan sistem yang ada secara natural karena manusia membangunnya. Apa tujuannya? Tata hidup bersama dibangun oleh manusia-manusia sedemikian rupa supaya masing-masing individu tercukupi kebutuhannya. Maksudnya adalah kebutuhan yang tidak sekedar berhubungan dengan hal-hal fisik belaka, melainkan terutama yang dimaksudkan adalah kebutuhan yang langsung merujuk pada cita-cita tertinggi hidup manusia, yaitu the good life. Sampai pada titik inilah, Aristoteles berpendapat bahwa polis atau tata hidup bersama merupakan cetusan paling tinggi dari aktivitas hidup manusia dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan sosialitasnya. Mengapa? Karena di dalam sistem atau tata hidup bersama itulah natura atau kodrat manusia ditemukan.


Perbandingan antara Tradisi Pemikiran Jawa dan Filsafat Aristoteles
Di mana titik temunya antara pandangan manusia Jawa dan Filsafat Aristoteles tentang invividu dan tata hidup bersama? Baik Aristoteles maupun manusia Jawa, keduanya sangat menekankan pentingnya hidup bersama. Bagi manusia Jawa hidup bersama merupakan tatanan yang memiliki nilai tak terbantahkan. Segala kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan individu harus tunduk pada kepentingan yang lebih luas, yaitu kerukunan hidup bersama. Aristoteles juga menegaskan hal yang sama. Dengan berpondasi pada fakta bahwa manusia dalam kesendiriannya tidak mungkin mengejar cita-cita kesempurnaan dirinya, Aristoteles berpendapat bahwa tata hidup bersama merupakan cetusan paling tinggi dari segala aktivitas hidup manusia. Hidup bersama merupakan tatanan yang merujuk langsung pada natura manusia dengan cita-cita the good life-nya. Dan karena itu tidak mungkin manusia menegasi keberadaan sistem hidup bersama. Manusia yang menegasi atau menyangkal hidup bersama berarti menyangkal eksistensi dirinya sebagai manusia, karena tatanan hidup bersama adalah cetusan yang paling nyata dari kodratnya sebagai manusia.
Di mana letak perbedaannya antara pandangan manusia Jawa dengan pemikiran Aristoteles? Perbedaannya terletak pada cara memaknai tatanan hidup bersama di satu sisi, dan cara memandang kodrat manusia di sisi yang lain. Manusia Jawa memaknai sistem hidup bersama dengan cara mengorbankan otonomi individu. Di hadapan kepentingan hidup bersama, setiap individu harus menyangkal dan merelatifkan kepentingan-kepentingannya. Seorang tokoh Jawa yang bernama Pangestu menuturkan bahwa seorang manusia ketika berada dalam tuntutan-tuntutan norma hidup bersama, maka ia harus rela, menerima (nrima), legawa (bersikap luhur, tidak menolak), dan sabar. Setiap manusia Jawa memiliki tugas untuk menjunjung tinggi sikap-sikap ini, karena sikap-sikap ini merupakan piranti yang akan mengantarkan seorang manusia pada keselarasan hidup dengan sesamanya.
Berbeda dengan manusia Jawa yang memaknai hidup bersama sebagai sebuah sistem yang kepadanya mereka harus menundukkan dirinya, Aristoteles memandang bahwa tata hidup bersama merupakan sistem yang tercetus karena kehendak masing-masing individu. Individu-individu menghendaki dan membangun sendiri sebuah tata hidup bersama karena – menurut Aristoteles – mereka menyadari bahwa memang di situlah (dalam kebersamaannya dengan yang lain) kepenuhan kodratnya sebagai manusia dapat tertuang secara sempurna. Dalam logika berpikir semacam ini, kemudian tata hidup bersama tidak dipandang oleh individu-individu sebagai tirani yang menghambat dirinya dan kebebasannya untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya sistem hidup bersama justru dipandang sebagai piranti yang akan meniscayakan terejawantahnya the good life, atau self sufficient, atau happiness, sebagai cita-cita tertinggi hidup manusia.
Sekali lagi, sistem hidup bersama – menurut Aristoteles – dibangun pertama-tama agar kebutuhan anggota-anggotanya terpenuhi. Dalam konteks ini individu-individu dipandang sebagai sungguh-sungguh subjek pengelolanya. Oleh karenanya partisipasi aktif anggota-anggota sistem hidup bersama sangat diperlukan. Sampai pada titik ini terlihat secara jelas juga adanya perbedaan antara pemikiran manusia Jawa dan pemikiran Aristoteles. Dalam pemikiran Aristoteles peran aktif masing-masing anggota tata hidup bersama pertama-tama muncul dari kodrat manusia yang memang menghendaki adanya sistem hidup bersama. Sedangkan dalam pemikiran manusia Jawa, apa yang disebut partisipasi aktif dalam menjaga dan mengelola sistem hidup bersama berarti sebuah pengorbanan atau penegasian kepentingan-kepentingan diri sendiri.

Penilaian terhadap fenomena individualisme
Aristoteles dan paham Jawa, keduanya sangat menjunjung tinggi prinsip hidup bersama. Terlepas dari aneka perbedaan cara memaknai hidup bersama, keduanya memandang bahwa hidup bersama merupakan nilai yang memiliki kedudukan sangat penting bagi setiap manusia. Dan karenanya harus diperjuangkan oleh setiap manusia.
Dalam frame pemikiran semacam ini maka dapat dikatakan bahwa individualisme merupakan aliran yang sangat bertentangan dengan hakekat manusia di satu sisi, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup bersama di sisi yang lain. Di mana letak pertentangannya? Pertentangannya terletak pada cara mendefinisikan hakekat atau jati diri manusia. Atau dalam bahasa Aristotelian, natura manusia. Dalam individualisme manusia didefinisikan sebagai aku egois. Maksudnya adalah aku yang bertindak hanya demi dan untuk aku sendiri. Tindakan semacam ini menyisihkan kehadiran pribadi lain, menyangkal kepentingan pribadi lain, dan menegasi keberadaan pribadi lain.
Dalam pemikiran Jawa dan juga dalam filsafat Aristoteles, khazanah “aku” juga tercetus dengan jelas. Namun dalam kedua pemikiran ini (Jawa dan Aristoteles) “aku” tidak didefinisikan dengan aku egois, melainkan “aku” subjek. Aku subjek berarti aku yang berpikir dan bertindak sebagai pelaku sejati kehidupan. Aku subjek menyadari bahwa dalam kehidupan ada aku-aku lain, atau pribadi-pribadi lain, kepentingan-kepentingan dan peran-peran pribadi lain. Aku subjek memandang bahwa individu lain bukanlah sungguh-sungguh “lain” sebagai yang bertentangan dengan aku, melainkan sebaliknya justru menjadi alteritasku. Maksudnya, orang-orang lain adalah juga subjek-subjek lain, yang sama dengan aku yang adalah subjek. Pendefinisian semacam ini akan tidak muncul dalam aliran individualisme. Dan justru karena itu individualisme sangat menyepelekan apa yang disebut dengan tata hidup bersama. Dalam individualisme, hidup bersama hanyalah dipahami semata-mata sebagai sejumlah individu-individu, tetapi tidak merupakan sebuah keseluruhan atau kesatuan yang nyata.

PUSTAKA

1. Dr. Phil. Franz Magnis Suseno SJ, dan Dr. S. Reksosusilo CM, Etika Jawa Dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai, Kanisius, Yogyakarta, 1983
2. DRS. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1984
3. Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional, Panji Pusaka, Yogyakarta, 2006
4. Bryan Magee, The Story of Philosophy, (terj), Kanisius, Yogyakarta, 2008
5. Dr. Armada Riyanto CM, Filsafat Politik/Kenegaraan (Filsafat Pancasila), STFT Widya Sasana, Malang, 2000
6. FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992
7. Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Gramedia, Jakarta, 1984
8. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996