Jumat, 28 Agustus 2009

DALAM KELEMAHAN TUHAN MENGUTUS KITA

Seorang ibu yang sudah tua memiliki dua buah tempayan, yang dipikul di pundaknya dengan menggunakan sebatang bambu. Salah satu dari tempayan itu retak, sedangkan yang satunya tak bercela dan selalu memuat air hingga penuh. Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dari sungai, air di tempayan yang retak tinggal separuh. Selama dua tahun hal ini berlangsung setiap hari, dimana ibu itu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan. Tentunya si tempayan yang utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yang retak merasa malu akan kekurangannya dan sedih sebab hanya bisa memenuhi setengah dari kewajibannya.
Setelah dua tahun yang dianggapnya sebagai kegagalan, akhirnya dia berbicara kepada ibu tua di dekat sungai. “Aku malu, sebab air bocor melalui bagian tubuhku yang retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu.” Ibu itu tersenyum, “Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yang kau lalui, namun tidak ada di jalur yang satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu dan setiap hari dalam perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama dua tahun aku bisa memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tidak seasri seperti ini sebab tidak ada bunga.” Kita semua mempunyai kekurangan. Namun keretakan dan kekurangan itulah yang menjadikan hidup kita bersama menyenangkan dan membahagiakan.
Kelemahan dan kekurangan diri, acap kali dianggap sebagai sesuatu yang memalukan, menjadi faktor penyebab keminderan kita. Dan karena itu tidak banyak dari kita yang berani menghargai aneka kelemahan dan kekurangan diri. Bahkan kalau bisa aneka kekurangan dan kelemahan diri itu harus kita sembunyikan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorangpun mengetahui bahwa kita memiliki kekurangan dan kelemahan.
Budaya kita mengajarkan bahwa apa yang baik itu senantiasa berhubungan dengan prestasi, kehebatan, kesuksesan, dan yang semacamnya. Di satu sisi pencitraan semacam ini memiliki efek yang baik, yaitu dapat menjadi pemicu agar kita terus berjuang mengejar apa yang ideal dalam hidup. Tetapi di sisi lain, cara pandang itu juga seringkali menggiring kita pada penyangkalan akan aneka kelemahan dan kekurangan yang kita miliki.
Cerita di atas hendak memberi pencerahan kepada kita bahwa kelemahan dan kekurangan diri ternyata tidak selalu memiliki arti yang negatif. Sebaliknya kekurangan dan kelemahan, jika kita sadari, kita terima, dan kita olah dengan baik, merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi hidup dan perkembangan diri kita. Bahkan bukan hanya diri kita, tetapi juga sesama kita.
Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus berkata : "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna. Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat. (2 Kor 9-10).
Rasul Paulus memberi penegasan bahwa dirinya lemah dan banyak dosa. Tetapi dia yakin bahwa kelemahan dan kekurangan itulah yang menjadikan dia semakin berani mengandalkan dan menerima peran serta Tuhan dalam hidupnya. Rasul Paulus dengan penegasannya itu bermaksud mengajak kita untuk juga pertama-tama berani menerima kelemahan dan kekurangan diri. Dan selanjutnya Paulus mengajak kita untuk terus maju dalam tugas perutusan kita mengabdi dan melayani sesama kita. Tuhan mengutus kita tidak dalam konteks aneka kecemerlangan yang kita miliki. Sebaliknya, Tuhan mengutus kita dalam aneka kelemahan dan kekurangan diri kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar