Jumat, 28 Agustus 2009

KITA DIPANGGIL UNTUK SETIA, BUKAN UNTUK SUKSES

“Aduh Romo… kami itu sudah bosan kalau diajak berdiskusi, blusukan, berpanas-panasan, untuk menolong orang miskin… dari dulu sampai sekarang orang miskin juga tetap seperti itu….” Menolong atau terlibat secara langsung dalam dunia orang miskin, jika dinilai dari sudut pandang target-target kesuksesan, memang seringkali menggiring kita dalam sikap pesimis. Atau malahan dalam tataran yang sangat dramatis, akan menciptakan di dalam diri kita sikap-sikap apatis. Mengapa? Karena seringkali antara apa yang kita harapkan dengan apa yang terjadi dalam realitas kadang sangat berbeda. Ketika membantu orang miskin, kita mengharapkan agar kehidupan orang miskin semakin baik, orang miskin semakin mandiri, orang miskin memiliki kebiasaan yang lebih baik, dan seterusnya. Kenyataannya, setelah sekian lama dan sekian banyak hal kita korbankan untuk orang miskin, ternyata orang miskin tetap miskin, tetap kotor, tetap tidak mandiri, dan setrusnya. Kondisi-kondisi semacam inilah yang seringkali membuat kita enggan untuk meneruskan perjuangan kita untuk membela kehidupan orang miskin. Kita merasa gagal memperjuangkan perubahan hidup orang miskin. Kita merasa sendirian dalam berjuang. Maka seringkali sikap yang kita ambil adalah mundur. Mundur dari kehidupan dan keterlibatan dalam dunia orang miskin.
“Orang-orang miskin selalu ada padamu….” (Mat 26:11). Demikianlah sabda Yesus kepada para muridnya. Dengan sabda ini seakan-akan Yesus hendak mengingatkan kita bahwa perjuangan membela kepentingan orang miskin harus kita lakukan sampai batas yang mungkin kita sendiri tidak tahu. Sabda ini juga dapat kita mengerti bahwa orang miskin adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sendiri. Maka hadir dan memberikan diri kepada orang miskin juga merupakan sesuatu yang menjadi konsekuensi yang tak terpisahkan dari hidup kita. Dengan demikian, keterlibatan dalam dunia orang miskin bukanlah pilihan yang dapat diukur sekedar dengan prinsip sukses atau gagal. Sebaliknya keterlibatan dalam dunia orang miskin harus kita mengerti sebagai tugas dan panggilan dari Yesus sendiri yang harus kita jalani sepanjang hidup kita.
Bunda Theresa, kepada para susternya berkata: “kita dipanggil bukan untuk sukses, melainkan untuk setia”. Nasehat bunda Theresa ini mengingatkan kita akan tugas dan panggilan kita untuk tetap menyertai orang miskin dalam perjalanan dan perjuangan hidupnya. Seperti halnya Yesus yang sepanjang hidupnya mendedikasikan diriNya untuk orang miskin. Bahkan mengidentikkan dirinya dengan orang-orang miskin dan terlantarr. "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Luk: 4:18-19). Kemudian, di dalam Matius 25 Yesus menegaskan: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku… Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku. (Mat 25: 40.45).
Dedikasi dan identifikasi diri Yesus dengan orang miskin ini merupakan teladan dan sekaligus bukti bahwa orang miskin merupakan pribadi yang tidak mungkin terlepas dari perjalanan hidup kita. Kendati kalau dihitung-hitung dari kacamata manusiawi kita, melayani dan memberikan diri kepada orang miskin tidak selalu menyenangkan, memerlukan banyak pengorbanan, menyita banyak waktu, dan seterusnya, tetapi toh untuk itulah kita dipanggil. Para Bapa Gereja dalam dokumen Gaudeum et Spes juga mengingatkan kita akan tugas panggilan ini: “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.”
Mari kita menelaah iman kita. Apakah selama ini kita cukup setia dalam memberikan diri kepada saudara-saudari kita yang miskin dan lemah? Apakah seruan Yesus, para Bapa Gereja, dan para pendahulu kita itu sudah kita praktekkan dalam kehidupan kita? Atau iman kita masih merupakan iman di seputar altar?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar