Jumat, 29 Agustus 2008

SOLIDARITAS


MASIH MUNGKINKAH TEREJAWANTAH DALAM MASYARAKAT KITA???

MASYARAKAT KREATIF

Jawa timur, tanpa perencanaan apa pun dari dinas Pariwisata, ternyata telah membuahkan tempat pariwisata yang baru, yaitu WISATA DANAU LUMPUR. Tulisan seperti yang tertera di dalam kedua foto ini akan Anda temukan, kalau Anda masuk kota Porong dari arah Sidoarjo. Persisnya tulisan atau spanduk ini dipasang di sisi timur, di salah satu sudut benteng yang dibangun untuk membendung lumpur.
Entah karena spanduk ini atau karena faktor yang lain, tidak lama setelah digenangi lumpur, kota Porong semakin sering dikunjungi banyak orang. Selama musim liburan sekolah tahun ini saja, kota Porong terlihat semakin macet. Banyak orang, termasuk anak-anak sekolah, menyempatkan diri selama liburan untuk berkunjung ke Porong untuk wisata atau sekedar untuk menyaksikan dari dekat lumpur Porong.
Dalam konteks inilah saya memberi judul masyarakat kita adalah masyarakat yang kreatif. KREATIF KARENA PENDERITAAN SESAMANYA PUN TERNYATA BISA MENJADI LAHAN YANG MENARIK UNTUK REKREASI. Gejala apa ini???


SOLIDARITAS MENURUT YOH 16

Berhadapan dengan semakin merebaknya aneka bentuk permasalahan sosial, semakin mengedepan juga sikap-sikap yang cenderung apatis dan putus asa. Di Jawa Timur, apatisme dan keputus-asaan itu dengan sangat jelas ditunjukkan dengan nilai 35% untuk golput dan banyaknya surat suara yang rusak dan tidak sah dalam kesempatan pemilihan Gubernur tahun 2008. Dalam situasi semacam ini apa yang harus kita lakukan?
Mari kita belajar dari apa yang dilakukan oleh Yesus. Dalam perjalanan misinya, Yesus ternyata juga pernah menjumpai kondisi yang serupa. Contoh yang paling jelas dapat kita temukan dalam Yoh 6:1-14 (kisah Yesus memberi makan lima ribu orang). Kalau kisah ini kita baca dalam frame pemikiran Sidang Agung Gereja Katolik tahun 2005, maka sekurang-kurangnya kita dapat melukiskan tiga point penting yang terjadi pa saat itu.

1. POROS MASYARAKAT. Pada saat itu Yesus berhadapan dengan “orang banyak yang datang berbondong-bondong”. Apa yang hendak dikatakan dengan situasi ini? Yang hendak dikatakan adalah bahwa apa yang disebut “masyarakat” itu tidak ada. Definisi “masyarakat” kiranya merujuk pada adanya relasi yang saling kenal satu dengan yang lain, memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai, hidup dalam tatanan sosial, dan seterusnya. Sementara yang dihadapi oleh Yesus adalah kerumunan massa, yang berjumlah banyak, tidak jelas identitasnya, dan – ini yang membuat situasi semakin kacau – mereka berada dalam keadaan lapar dan tidak berdaya.

2. POROS PASAR ATAU MODAL. Dalam situasi kelaparan dan ketidak-berdayaan itu, tentu harapan pertama yang dapat dijadikan acuan adalah pasar. Tetapi ternyata poros pasar tak berfungsi. Dengan sangat jelas hal itu dapat kita simpulkan dari apa yang ditanyakan oleh Yesus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Dalam situasi ini, sikap putus asa dan tidak berdaya sekali lagi terungkap dalam diri Filipus: “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekali pun masing-masing mendapat sepotong kecil saja"

3. POROS PEMERINTAH ATAU NEGARA. Peristiwa yang dituturkan oleh Yohanes ini terjadi di seberang danau Galilea. Itu berarti bahwa peristiwa ini terjadi jauh dari pusat pemerintahan, yaitu Yerusalem. Dengan demikian tidak mungkin mereka mengharapkan bantuan atau tindakan cepat dari pihak pemerintahan atau negara.

Kalau ketiga poros yang menjadi pilar bagi penanganan masalah sosial dan bagi terwujudnya tatanan hidup bersama yang ideal ternyata tidak dapat diandalkan lagi, pertanyaannya sekarang adalah: apa yang harus kita lakukan?

Jawabnya adalah “membangun iman dan solidaritas”. Ketidak-berdayaan dan keputus-asaan yang dihadapi oleh orang-orang yang mengikuti Yesus akhirnya menemukan point pencerahan karena hadirnya anak kecil yang rela memberikan “lima roti dan dua ikan” yang dibawanya. Saya yakin kita semua mengimani, bahwa Yesus dengan jati dirinya sebenarnya mampu mengatasi situasi itu. Tetapi Yesus sengaja menunggu ketulusan hati para pengikutnya untuk berani berbagi dengan sesamanya dan untuk membuktikan seberapa dalam iman yang mereka miliki.


YOHANES PEMBAPTIS

PERINGATAN WAFATNYA YOHANES PEMBAPTIS, 29 AGUSTUS 2008: Panorama perjalanan hidup Santo Yohanes Pembaptis memberikan gambaran yang sangat tegas mengenai tugas pewartaan dan tugas kenabian dalam tradisi Gereja Katolik. Sebagaimana diceritakan oleh Kitab Suci, Yohanes dikenal sebagai “PENDAHULU” kehadiran Tuhan Yesus sebagai Mesias. Yohanes juga dikenal sebagai “SUARA YANG BERSERU-SERU DIPADANG GURUN” untuk mewartakan tahun rahmat Tuhan telah datang.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari dua definisi pribadi Yohanes Pembaptis ini adalah, pertama: seperti halnya Yohanes, kita pun juga diutus untuk menjadi sarana bagi kehadiran Tuhan. Kedua: Seperti Yohanes yang "berseru-seru di padang gurun" kita juga dipanggil untuk terus berseru, menyuarakan kebenaran, keadilan, dan warta keselamatan Allah. Di manapun, kapan pun, dan dengan resiko apapun.

KESEDERHANAAN

Kesederhanaan memiliki dua arti. Yang pertama, mengatakan apa yang ada dalam pikiran secara jelas, tanpa bunga-bunga. Dan yang kedua, bertindak jujur tanpa berkelit di hadapan Allah. Termasuk di dalamnya kesederhanaan dalam kehadiran.

KERENDAHAN HATI

Kerendahan hati artinya: memandang diri sendiri dalam seluruh kejujuran bahwa kita adalah manusia-manusia yang tidak pantas. Kerendahan hati juga tercetus dari sikap yang selalu bergembira ketika orang lain melihat ketidakpantasan diri kita dan merendahkan kita.

KELEMBUTAN HATI

Tindakan konkrit yang mengungkapkan kelembutan hati, yaitu: mampu menahan diri dari nafsu kemarahan, menampilkan kehangatan dan kordialitas, memikirkan orang lain secara positif atau tidak memperhitungkan kesusahan bagi dirinya sendiri.

MATIRAGA

Matiraga biasanya juga disebut sikap lepas bebas. Maksudnya adalah sikap yang tidak terikat pada segala sesuatu yang membuat kita tidak leluasa untuk datang kepada Allah.

PENYELAMATAN JIWA-JIWA

Penyelamatan jiwa-jiwa atau dalam bahasa latin "zelus animarum" maksudnya adalah siap sedia untuk bekerja keras dan dengan sepenuh hati membangun cinta yang efektif kepada Allah dan sesama.

ALLAH TELAH MATI?

Semua manusia mengharapkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Namun idealisme semacam ini ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk diejawantahkan. Bukan karena manusia itu sendiri tidak menghendaki, namun karena sering kali kehendak manusia itu harus berhadapan dan berbenturan dengan fakta lain yang sama sekali tidak dikehendakinya, yaitu fakta kejahatanKejahatan hadir di tengah hamparan kehidupan kita sebagai sebuah fakta yang tak bisa disangkal dan dihindari. Dalam konteks pemahaman dan penghayatan iman kristiani kejahatan dilihat sebagai problem teologi karena problem ini sering kali menghantar manusia kepada pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal keberadaan Allah. Allah yang diyakini sebagai Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Bijaksana seakan-akan B dengan adanya kejahatan B tidak bisa ditemukan lagi. Akhirnya pada titik tertentu muncullah pelbagai pertanyaan fundamental yang bernuansa menyangsikan keberadaan Allah. Jalan pikiran yang biasanya muncul adalah seperti berikut: "kejahatan ada, maka Allah tidak ada".
Memang, runyamnya fenomena kejahatan sering kali merupakan pemicu lahirnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberadaan Allah. Berkembangnya realitas kejahatan dan penderitaan, sering kali selalu dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada sikap skeptis akan keberadaan Allah. Allah itu ada atau tidak? Kalau Allah itu ada mengapa Ia membiarkan bentuk-bentuk kejahatan itu berkembang di bumi ini? Di mana letak kemahakuasaan Allah? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang intinya berusaha mempertanyakan peranan Allah dalam aneka situasi kejahatan. Penyangsian keberadaan Allah kiranya tidak hanya terjadi dalam dunia kaum ateis. Bahkan harus dikedepankan bahwa dalam dunia kita dewasa ini pun aneka pertanyaan yang bernada skeptis itu juga mengemuka dalam diri kaum agamis; kaum yang mengklaim dirinya sebagai insan beriman. Sungguh-sungguh ironis!!!
Apa sebenarnya kejahatan itu? Louis Leahy, seorang pemikir yang berasal dari Quibec, mendefinisikan kejahatan sebagai sesuatu yang secara objektif kurang sempurna, yaitu sesuatu yang secara fisik menyakitkan dan secara moral adalah dosa. Pengertian kejahatan yang semacam itu secara sangat ringkas dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik. Kejahatan fisik adalah kejahatan yang berhubungan dengan dunia material, yaitu kejahatan yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri manusia atau ulah manusia yang tidak lahir dari kehendak bebasnya. Misalnya kelaparan, banjir, cacat fisik, dan lain sebagainya. Kejahatan fisik sering juga disebut dengan penderitaan.
Sedangkan kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan seserong dengan bebas di mana pelaku itu sendiri dengan sadar dan bebas memilih untuk melakukan suatu tindakan yang salah. Dengan demikian kejahatan moral selalu berhubungan dengan kebebasan dan kesadaran manusia sebagai pelaku yang bebas dan sadar. Contoh kejahatan ini adalah sikap tidak adil, tidak jujur, egois, dan lain sebagainya.
Di hadapan persoalan kejahatan, kaum beragama sering berpendapat bahwa kejahatan itu merupakan kebalikan yang diperlukan untuk kebaikan yang lebih besar. Kejahatan itu ada supaya kebaikan dapat secara lebih jelas dilihat oleh manusia. Jalan pikiran semacam ini dalam perkembangannya sulit untuk diterima, karena kebaikan itu sendiri sebenarnya tidak tidak bisa hanya dipahami sebagai sesuatu yang bergantung pada kejahatan. Bahwa orang yang menderita akan menjadi lebih kuat untuk penderitaan atau rasa sakit yang seperti itu kalau penderitaan atau rasa sakit yang sama muncul lagi, adalah tesis yang bisa diterima. Dapat diterima juga bahwa dalam perspektif spiritualitas kemalangan akan dapat memurnikan iman seseorang.
Meskipun jalan pikiran semacam ini bisa diterima, harus segera ditegaskan bahwa bagaimana pun jalan pikiran semacam itu tetaplah merupakan solusi yang sangat fungsional dan sangat berbahaya. Sangat berbahaya karena dengan demikian teisme atau kaum beragama menggunakan logika yang akan membenarkan usaha-usaha yang dilakukan dengan cara mengorbankan yang satu untuk kebaikan yang lain yang lebih tinggi.
Pada perspektif lain kaum beragama juga mengatakan bahwa kejahatan merupakan hukuman atau kutukan dari Tuhan. Tesis itu dapat juga dibenarkan, akan tetapi banyak sekali dalam peristiwa-peristiwa tertentu kita sangat sulit menerima pernyataan bahwa kejahatan itu merupakan hukuman dari Allah. Contohnya penderitaan yang menimpa orang yang aleh, bencana alam yang menimpa semua orang tanpa membedakan yang baik dan yang jahat. Dalam peristiwa-peristiwa alamiah campur tangan Allah tidak bisa dilihat secara mudah. Seperti halnya jika ada rem sepeda yang aus sehingga sepeda tersebut bisa saja menimpa semua orang, begitu juga tak peduli apakah orang itu jahat atau baik, kalau dia bekerja tanpa istirahat pasti akan jatuh sakit.
Dalam persoalan-persoalan penderitaan semacam ini campur tangan Allah harus dilihat dalam perspektif tanggapan manusia atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Di tempat lain kaum ateis berpendapat bahwa manusia harus menyangkal adanya Allah karena adanya kejahatan di dunia. Kejahatan merupakan tanda ke-tidak-dapat-nya di damaikan antara kemaha-kuasaan dan kemaha-baikan Allah dengan adanya kejahatan. Allah itu mahakuasa dan mahabaik, mengapa harus ada kejahatan yang bertolak belakang dengan keberadaan-Nya? Mengapa Allah membiarkan adanya kejahatan? Allah itu mahakuasa, mengapa tidak menghapus semua bentuk kejahatan? Manusia saja menolak kejahatan, mengapa Allah tidak? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menuntun manusia pada kesimpulan bahwa dari pada mempunyai Allah yang membiarkan kejahatan lebih baik tidak punya Allah sama sekali. Maka dengan adanya kejahatan, seandainya Allah ada sekali pun, Dia harus ditolak. Apa pun argumennya, kejahatan merupakan bukti bahwa Allah telah mati.
Feuerbach, seorang filsof Jerman, berpendapat bahwa Tuhan itu pada dasarnya adalah ciptaan manusia. Ketika manusia mengakui bahwa Tuhan itu ada maka Tuhan ada. Dan ketika manusia mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada maka Tuhan juga tidak ada. Dengan beberapa gagasan di atas, dan itu ditegaskan dengan gagasan yang terakhir ini, BAGAIMANA KITA HARUS MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN IMAN KITA?



AURA KETELADANAN IMAM

INSPIRASI UNTUK MINGGU BIASA XVIII, 15 JUNI 2008. Suatu saat ada seorang umat yang menunjukkan kepada saya dua macam buku. Buku yang pertama adalah Kitab Suci. Dan buku yang kedua berupa buku tulis tebal. Kitab Suci yang dimiliki umat itu ternyata penuh dengan tanda tangan para romo yang dia kenal atau sekurang-kurangnya pernah dia temui. Sedangkan buku tulisnya berisikan nama-nama romo beserta tempat di mana romo itu bertugas. Apa yang dilakukan oleh umat itu dengan nama-nama romo yang dimilikinya?Yang dilakukannya adalah mendoakan romo-romo itu. Satu hari satu romo. Dan itu ternyata sudah menjadi kebiasaannya. Selain umat, saya pernah melihat di sebuah kelompok doa di Surabaya, semacam ID Card, yang memuat nama romo-romo, terutama yang bertugas di keuskupan Surabaya. Apa yang dilakukan dengan ID Card itu? Mereka yang tergabung dalam kelompok itu setiap kali mengambil ID Card tersebut, membawanya pulang, dan mendoakan nama romo yang tercantum di dalam ID Card. Pernah saya bertanya kepada beberapa orang dari kelompok itu: "apa tujuan aktivitas itu?" Mereka berkata: "Kita tidak akan bisa masuk kerajaan surga tanpa imam!" Jawabannya "sangar" kan??? Betul nggaknya jawaban itu silahkan anda yang menilainya sendiri.
Satu cerita lagi. Di paroki, di mana saya bertugas sekarang, ada kelompok "panggilan". Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah mendorong remaja dan kaum muda untuk mengenal kehidupan para imam dan biarawan-biarawati. Tentu dengan kegiatan itu mereka berharap semakin banyak kaum muda yang terpanggil untuk menjadi biarawan-biarawati atau imam. Sejauh saya tahu, kelompok-kelompok semacam ini tidak hanya dimiliki oleh paroki saya, tetapi di banyak paroki kelompok-kelompok semacam ini sudah ada. Tidak hanya dalam lingkup paroki, tapi tarekat-tarekat atau kongregasi-kongregasi selalu memiliki kelompok "penjaring" panggilan.
Hari ini Yesus mengeluh, mengungkapkan keprihatinannya: "panenan banyak, tetapi pekerjanya sedikit". Dan dalam konteks keprihatinan itu Yesus meminta kepada para pengikutNya untuk "MEMINTA" kepada Tuhan agar mengirim pekerja. Dengan cerita-cerita di atas, sebenarnya saya hendak mengatakan bahwa aktivitas "MEMINTA" itu sudah tidak kurang-kurang. Tetapi - seperti yang dikeluhkan umat, para imam, bairawan-biarawati, bahkan oleh Yesus sendiri, mengapa sampai saat ini PENUAI itu juga masih sangat sedikit?
Jawaban klasik yang sering saya dengar berkaitan dengan fenomena ini: kurang sosialisasi, kurang komunikasi, pengaruh mentalitas jaman modern dengan aneka produk dan tawarannya, pengaruh program Keluarga Berencana,dan yang semacamnya.
Lebih dari sekedar aneka jawaban yang nadanya merujuk pada realitas di luar diri kita itu, saya ingin menambahkan satu point jawaban, yaitu soal "aura keteladanan" para imam dan biarawan-biarawati. Sudahkan saya menghadirkan diri sebagai sosok teladan hidup umat? Kala dalam PDV, imam itu disebut "insan Allah", benarkah identitas itu yang saya tawarkan dalam pastoral saya? Mau ngecek seperti apa diri kita di hadapan atas pertanyaan-pertanyaan itu? Ga usah repot-repot nunggu rekoleksi atau retret. Mungkin beberapa komentar umat dapat kita jadikan cermin untuk melihat seperti apa wujudnya diri kita, para imam dan biarawan-biarawati. Ini beberapa contoh komentar umat: "Lho....itu romo to? Kok gayanya kayak bos gitu???" "Lho...romo itu boleh ngrokok to?" "Saya sering lihat romo itu pergi dengan ibu A. Emang ga papa ta? Ga bahaya ta?" "Wih...mobilnya romo bagus ya!" "Ehhh...romo kok gondrong!" Dan masih banyak lagi...mungkin kita pernah baca buku "litani serba salah".
Aneka penilaian dan komentar umat kalau kita lihat mungkin tidak merepresentasikan sebuah kedalaman refleksi. Dan justru karena itu ada banyak imam dan biawaran-biarawati yang "cuek-cuek" saja, apatis dengan aneka komentar dan penilaian itu. Ya...itu tergantung pada pribadi yang menjalani sih! Apalagi kalau seorang imam atau biarawan-biarawati sudah merasa pinter, dewasa, matang, kokoh dalam prinsip, dan seterusnya, pasti tidak mau mendengar lagi celotehan dari umat.
Kalau saya, aneka celotehan itu selalu saya pandang sebagai "pupuk" dalam hidu saya. Mungkin tidak mendalam, mungkin tidak benar, mungkin sangat subjektif. Tetapi saya yakin akan berada dalam "disposisi" yang lebih baik, jika aneka komentar dan penilaian umat, atau bahkan dari sesama imam dan biawaran-biarawati, itu saya jadikan bahan untuk merefleksikan dan merubah diri.
Sesempurna apapun, saya masih rentan terhadap aneka kelemahan. Tetapi saya yakin, bahwa nilai saya sebagai manusia, pertama-tama tidak ditentukan oleh seberapa banyak kelemahan yang saya miliki. Sebaliknya, nilai saya sebagai manusia (imam) pertama-tama sangat ditentukan oleh seberapa berani saya bangkit dari aneka kelemahan diri saya; juga oleh seberapa kokoh semangat saya untuk berada pada "track" identitas panggilan hidup saya.
Ungkapan "Eclesia semper reformanda", saya kira bisa kita konkritkan dengan ungkapan "persona semper reformanda". Dengan demikian, keprihatinan Yesus dalam Injil hari ini, selain hendak menunjukkan kepada kita realitas panggilan dalam gereja, juga hendak mengajak kita yang sudah mendedikasikan diri kita sebagai pribadi yang menjawab panggilan Tuhan, untuk menyimak kembali "identitas" diri dan perutusan kita. Point ini dengan sangat tegas diungkapkan oleh Yesus dalam ayat 5-8. Rinciannya sebagai berikut:
• Ayat 5-6: berkaitan dengan FOKUS dalam pastoral atau karya perutusan.
• Ayat 7: berkaitan dengan ISI pewartaan.
• Ayat 8a: berkaitan dengan RINCIAN JOB DESCRIPTION...hahahha...istilahnya mungkin gak pas, maklum saya ambil istilah dari karya perburuhan.
• Ayat 8b: berkaitan dengan PRINSIP pelayanan. Kata "cuma-cuma" menurut saya tidak saja berhubungan dengan soal "imbalan". Sebaliknya, kata "cuma-cuma" lebih merujuk pada makna "TOTALITAS" dalam pelayanan. Ya gampanganya, apakah saya suka mengeluh, apakah saya gembira menerima perutusan saya, apakah saya tidak membeda-bedakan umat, apakah saya siap sedia setiap saat untuk melayani umat, dan setrusnya.



SIKAP APRESIATIF

MATIUS 9:9-13: Sikap apresiatif, sapaan yang penuh kasih, dan kehendak yang tulus merupakan piranti yang "powerfull" untuk mengangkat sesama yang lemah, yang sedang jatuh, yang berada dalam jurang penderitan dan kegagalan.

PETRUS DAN PAULUS

INSPIRASI HARI RAYA PETRUS DAN PAULUS, MINGGU 29 JUNI 2008: Kalau orang mengingat dosa, kelemahan, dan kejahatan Petrus dan Paulus terhadap Yesus, siapakah yang dapat tahan? Tetapi inilah yang istiwewa dari perayaan hari raya Petrus dan Paulus. Yesus tidak pernah mengingat-ingat dan memperhitungkan seberapa besar dosa, kelehaman, dan kejahatan orang. Tetapi Yesus selalu menghargai dan menaruh empati terhadap orang yang berani bangkit dari segala macam dosa, keterbatasan dan kejatahannya. Nilai manusia di hadapan Yesus dengan demikian tidak ditentukan berdasarkan dosa, kelemahan dan kejahatan yang pernah manusia lakukan. Sebaliknya, nilai manusia di hadapan Yesus sangat ditentukan oleh komitmen dan semangat yang berkobar-kobar untuk bangkit dan merevisi dirinya.


KRASAN DENGAN DIRI SENDIRI

Krasan dengan diri sendiri itu dapat kita analogikan dengan suasana hidup kita sehari-hari dalam keluarga. Orang yang krasan, yang merasa damai dengan keluarga pasti akan betah untuk tinggal di rumah. Orang yang krasan dan damai dengan kaluarga pasti akan bahagia dengan kebersamaan dalam keluarga. Orang yang krasan dan damai dengan keluarga pasti akan saling mencintai dan memperhatikan satu dengan lain, bersikap simpatik dengan anggota keluarga yang lain, rela berkorban untuk yang lain, dan lain sebagainya. Sebaliknya: Apa yang terjadi kalau kondisi keluarga kita tidak beres? Apa yang terjadi kalau setiap hari terjadi pertengkaran dalam keluarga? Apa yang terjadi jika kondisi rumah kita secara fisik memprihatinkan? Dan seterusnya??? Yang jelas dalam situasi semacam itu tidak akan ada kedamaian.
Lantas, kalau di dalam keluarga tidak ada kedamaian, yang terjadi adalah kita akan cenderung untuk melepaskan diri dari kehidupan keluarga. Orang akan cenderung mencari kepuasan, kesenangan di luar lingkungan keluarganya. Entah itu dengan menghabiskan waktu di rumah teman, dengan berlama-lama di mall, dan semacamnya. Intinya kalau kita tidak krasan dalam keluarga pasti akan muncul di dalam diri kita pemberontakan. Selagi kita memiliki tenaga dan kemauan untuk melawan kondisi itu kita akan berjuang, tetapi tatkala tenaga itu tidak ada lagi dan kemauan di dalam diri kita mulai luntur maka akan muncul di dalam diri kita kecenderungan untuk lari dari keluarga. Atau, seandainya kita mampu bertahan di dalam lingkungan keluarga, pasti lingkungan itu akan kita rasakan sebagai sebuah neraka.
Apakah dengan demikian kehadiran orang lain harus kita tolak? Sama sekali tidak. Justru sebaliknya, kehadiran orang lain harus kita lihat pertama-tama sebagai anugerah dan sumber inspirasi yang pantas disyukuri. Namun dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa soal krasan dengan diri sendiri, soal damai dengan diri sendiri, soal keberanian menerima diri sendiri, itu semua pertama-tama bukanlah wilayah orang-orang di luar diri kita, melainkan merupakan wilayah dan tugas kita sendiri. Diri kita sendirilah sebenarnya yang menjadi pelaku semuanya itu. Diri kita sendirilah sebenarnya yang harus menjadi psikolog, pembimbing doa, penafsir Kitab Suci, dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena hanya kitalah satu-satunya orang yang mengenal secara mendalam diri kita sendiri.
Konsekuensinya, diri kita sendiri adalah satu-satunya orang yang bisa menumbuh-kembangkan diri kita sendiri. Orang di luar diri kita hanyalah cermin. Sebagai cermin orang di luar diri kita hanya melihat dan menangkap apa yang kelihatan. Atau kalau pun orang di luar diri kita mengatakan bahwa dia mengetahui secara mendalam siapa diri kita, semuanya itu hanya lahir dari penafsiran subjektif orang itu. Bisa benar bisa tidak. Seandainya benar pun, apa yang dilihat dan ditangkap oleh orang lain tetaplah merupakan sesuatu yang belum lengkap. Itu karena sebagai manusia kita mempunyai mutiara yang begitu indah, yang tidak bisa dilihat dan ditangkap sekedar dengan sebuah cermin. Cermin tidak mengenal segala-galanya siapa diri kita. Sebaliknya, kita sendirilah yang mengetahui segala-galanya yang ada di dalam diri kita.



PELAJARAN DARI BUNDA THERESA

Terkadang orang berpikir secara tidak masuk akal dan bersikap egois. Tetapi, bagaimanapun juga, terimalah mereka apa adanya. Apabila engkau berbuat baik, orang lain mungkin akan berprasangka bahwa ada maksud-maksud buruk di balik perbuatan baik yang kau lakukan itu. Tetapi, tetaplah berbuat baik selalu. Apabila engkau sukses, engkau mungkin akan mempunyai musuh dan juga teman-teman yang iri hati atau cemburu. Tetapi teruskanlah kesuksesanmu itu.
Apabila engkau jujur dan terbuka, orang lain mungkin akan menipumu. Tetapi, tetaplah bersikap jujur dan terbuka setiap saat. Apa yang telah engkau bangun bertahun-tahun lamanya, dapat dihancurkan orang dalam satu malam saja. Tetapi, janganlah berhenti dan tetaplah membangun.
Apabila engkau menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati, orang lain mungkin akan iri hati kepadamu. Tetapi, tetaplah berbahagia. Kebaikan yang kau lakukan hari ini, mungkin besok dilupakan orang. Tetapi, teruslah berbuat baik. Berikan yang terbaik dari apa yang kau miliki dan itu mungkin tidak akan pernah cukup. Tetapi, tetap berikanlah yang terbaik.
Sadarilah bahwa semuanya itu ada di antara engkau dan Tuhan. Tidak akan pernah ada antara engkau dan orang lain. Jangan pedulikan apa yang orang lain pikir atas perbuatan baik yang kau lakukan. Tetapi percayalah bahwa mata Tuhan tertuju pada orang-orang jujur dan Dia sanggup melihat ketulusan hatimu.


Kamis, 28 Agustus 2008

KEBEBASAN

Kebebasan pada dasarnya adalah sebuah ilusi! Sebab sejak kita dilahirkan hingga mati, manusia itu tidak pernah memiliki kebebasan? Kita dilahirkan didunia bukan berdasarkan pilihan maupun keinginan kita, melainkan hanya sekedar pilihan dan keinginan Sang Pencipta, bahkan kalau kita jujur tidak ada setan atau manusia satupun juga di dunia ini yg pernah mengharapkan kelahiran Anda, Anda lahir ini karena kebetulan azah dgn tanpa makna dan tujuan yg jelas!
Renungkanlah: Apakah Anda bisa memilih agar bisa dilahirkan melalui rahimnya Bunda Maria ato Ratu Elisabeth? Apakah Anda bisa memilih agar dilahirkan di Amsterdam ato di New York? Apakah Anda bisa memilih tgl dan waktu kelahirkan Anda? Dan apakah Anda bisa memilih tgl dan hari kematian Anda? Apakah Anda punya hak pilih untuk bisa hidup sehat terus? Tidak, sebab semuanya ini sudah diatur dari sono!
Tiap anak ingin memilih untuk bisa hidup senang dan bisa memilih sekolahan yg bergengsi, tetapi apa daya kalho kita dilahirkan jadi anaknya si Acun tukang bakso yg kere? Saya ingin memilih punya istri yg bahenol seperti Jennifer Lopez ato Miss Universe tetapi sayangnya yg dipilih kagak mau ama gue! Jadi hak memilih gue itu terbatas hanya untuk lingkungan janda2 tue yg kagak laku azah!
John Locke (1632-1704) berpendapat, seorang anak yg baru lahir itu diumpamakan sebagai 'sehelai kertas putih yg belum ditulis apa-apa, keadaannya putih bersih'. Keadaan sekelilinglah terutamanya pendidikan dan pengalaman yg diterimanya yg menentukan apa yg akan terjadi kepadanya. Teori beliau ini dikenali sebagai 'tabula rasa'. Tetapi teori ini tidak benar 100%, sebab setiap bayi yg dilahirkan di dunia ini telah dibekali oleh Sang Pencipta dgn IQ, bakat, selera maupun sifat!
Selera, sifat, bakat maupun emosi kitalah yg sebenarnya mempengaruhi semua pilihan kita itu, kalau Anda sudah diberi sifat homo dari sononya, pasti Anda tidak akan memilih Jennifer Lopez, jadi sebenarnya freewill ato kebebasan hak memilih itu ora ono, sebab pilihan tiap manusia di dunia ini sudah di setir dan di kemudikan sejak kita lahir melalui sifat maupun selera yg diberikan dari atas!
Renungkanlah apabila Anda senang makanan yg manis2, apakah Anda akan memilih makanan yg asin? Tentu tidak! Pertanyaan siapa yg memberikan kepada Anda selera sehingga Anda senang makanan yg manis? Sang Pencipta! Jadi hak bebas untuk memilih itu ternyata sudah di MANIPULASI terlebih dahulu dari atas! Seperti juga jarum kompas, ia tidak akan bisa berubah untuk menunjuk ke selatan, karena magnetnya ada di utara, begitu juga dgn hak pilih Anda, ini semuanya sudah DIATUR dari atas melalui sifat maupun selera Anda! Maka dari itu hasil output pilihannyapun sudah bisa di pastikan sebelumnya!
Masih belum percaya juga! Apa artinya kata cantik? Kalau gue senang gadis yg gembrot ala Big Mama, pasti gue akan memilih gadis yg berat badannya diatas 100 kg, kenapa demikian? Karena selera yg dibekali dari atas sudah begitu, maka sudah pasti gue tidak akan memilih gadis yg kurus kerempeng, jadi kesimpulannya hak memilih gue itu, sebenarnya udah diprogram ato udah dimanipulasi terlebih dahulu sejak lahir oleh Sang Pencipta!
Orang tua Anda maupun tempat di mana Anda dilahirkan ini semuanya sudah ditentukan oleh yg diatas, jadi secara otomatis lingkungkan Anda pun telah ditentukan sebelumnya oleh Sang Pencipta, pasti Anda tidak akan memilih makanan "Babi Guling" kalho Anda dilahirkan dan dididik di Saudi Arabia, walaupun Anda sedang berlibur di Bali.
Jadi secara gamblangnya Sang Pencipta telah membekali kepada tiap manusia, sejak kita lahir, shopping list, berupa selera, bakat, emosi dsb-nya dan berdasarkan shopping list inilah nantinya juga kita akan menentukan pilihannya, disamping itu bukan hanya sekedar shopping list saja yg telah diberikan oleh Sang Pencipta, melainkan juga tempat ato ruang lingkup, di mana Anda bebas belanja untuk memilih, yg kebenaran lahir dan gede ditengah hutan Papua, jangan harap akan mempunyai pilihan ato belanja di Rodeo Drive - Holywood ato di 5th Av. - New York. Maka dari itu freewill itu hanya sekedar ilusi dan impian saja untuk me-nina bobokan manusia yg geblek2 agar bisa menambah nilai Pe-De!
Kebebasan memang persoalan yang akan tetap menjadi persoalan sepanjang hidup manusia. Saya katakan demikian karena sepanjang sejarah perkembangan hidup manusia, soal-soal yang berkaitan dengan kebebasan manusia selalu mencuat, baik dalam konteks pergulatan disiplin ilmu maupun dalam lingkungan kehidupan praktis.
Pertanyaan yang selalu menjadi pusat perdebatan sebenarnya hanya satu, yaitu “benarkah manusia itu bebas?” Nah, mereka yang menganut paham kebebasan akan bersikokoh mengatakan bahwa manusia itu bebas. Namun mereka yang berdiri dalam posisi aliran yang menolak kebebasan juga akan mengklaim bahwa sebenarnya kebebasan manusia itu hanya ilusi. Dengan kata lain kebebasan manusia itu tidak ada. Bagaimana dengan kita? Apakah kita yakin bahwa kita adalah manusia yang bebas?


Dari:
1. Agus Setyono, Kebebasan Manusia Di Hadapan Determinismen-Determinisme, STFT Widya Sasasan, 2000
2. Mang Ucup; Saturday, Jun/15/2002 -- ParokiNet Online


KETIKA CINTA MENJADI PILIHAN

Adalah tiga orang yang bernama WEALTH (kekayaan), SUCCESS (kesuksesan), LOVE (cinta kasih). Ketiganya bermaksud bertamu ke sebuah keluarga. Tetapi ketika ibu dari sebuah keluarga itu mempersilahkan masuk, mereka berkata: “kami tidak dapat masuk bersama-sama ke dalam rumah. Maka anda harus memilih salah satu dari kami..” Kemudian ibu itu masuk ke dalam rumah dan minta pertimbangan kepada suaminya. Suami itu berkata: “sudah jelas bagi kita untuk mempersilahkan masuk WEALTH. Dengannya - maksudnya kekayaan - kita akan dapat memiliki segalanya di dunia ini.” Tetapi ibu itu memberi pertimbangan yang berbeda. Katanya: “lebih baik kita memilih SUCCESS supaya kita dapat menikmati kehidupan di dunia ini.” Pertimbangan yang berbeda pula dikemukakan oleh anak mereka. Anak itu mengatakan: “lebih baik kita memilih LOVE, sehingga kita bisa saling mengasihi dan menciptakan kedamaian dalam hidup kita.”
Akhirnya mereka sepakat untuk mempersilahkan LOVE masuk ke dalam rumah. Maka masuklah LOVE. Akan tetapi kemudian kedua orang lainnya - WEALTH dan SUCCESS - mengikutinya ke dalam rumah. Bertanyalah ibu itu: “kami hanya mempersilahkan masuk LOVE, mengapa kalian berdua juga ikut masuk? Bukankah kalian sendiri mengatakan bahwa kalian tidak bisa masuk bersama-sama ke dalam rumah?” Kedua orang itu menjawab: “jika kalian mengundang salah satu dari kami, WEALTH atau SUCCESS, maka dua orang yang lain akan tetap tinggal di luar. Akan tetapi karena Anda mengundang LOVE maka kami berdua harus ikut masuk. Karena kemana pun LOVE pergi kami (WEALTH dan SUCCESS) akan mengikutinya.”
Di Bali ada seorang pelaku bisnis. Namanya Joger. Pelaku bisnis di mana pun selalu berpikir bahwa yang terpenting adalah keuntungan. Joger sama sekali tidak pernah berpikir demikian. Yang terpenting bagi Joger dalam menjalankan bisnisnya bukan keuntungan, tetapi senyum dan pelayanan yang baik. Dengan prinsip ini Joger ingin menciptakan suasana yang membuat para pengunjung merasa dimanjakan dan dengan demikian krasan tinggal di tokonya. Jogger tidak pernah berpikir soal keuntungan, tetapi keputusan Joger untuk menerapkan prinsip senyum dan pelayanan yang baik, ternyata merupakan factor yang membuat keuntungan mengalir dengan sendirinya.
Begitulah kalau cinta menjadi sebuah pilihan dan prinsip utama hidup dan kerja kita. Apakah anda sudah membuktikan kekuatan cinta dalam hidup anda? (Inspirasi cerita: Aribowo Prijosaksono dan Irianti Erningpraja, Enrich Your Life Everyday).



MEMUPUK SIKAP SYUKUR

Bersyukur bukanlah sikap yang instan, sekali jadi. Bersyukur merupakan sikap yang mengandaikan pergulatan terus menerus sepanjang hidup. Jangan dikira kalau orang sudah mahir berkotbah atau berkata-kata tentang sikap syukur, maka ia adalah orang yang telah hidup dalam bingkai sikap syukur. Jangan pula dikira kalau orang sudah lancar menuliskan seluk beluk sikap syukur, maka ia adalah orang yang tidak lagi bergulat dalam memupuk sikap syukur. Bersyukur sama sekali tidak identik dengan sekedar kata dan tulisan. Bersyukur adalah sikap hidup yang memerlukan latihan dan pendalaman secara terus menerus sepanjang hidup manusia.
Pola atau skema yang biasanya digunakan untuk melihat kedalaman sikap syukur adalah: doa – aksi – refleksi. Tiga hal ini merupakan cara dan sarana yang paling sederhana untuk membangun sikap syukur. Mengapa harus dengan doa, aksi, dan refleksi? Karena sikap syukur adalah sikap yang lahir dari kehidupan nyata. Pengetahuan dan wawasan tentang sikap syukur bisa kita peroleh dari buku atau dari orang lain. Akan tetapi pribadi yang bersyukur hanya kita peroleh kalau kita bergulat sendiri; mengalami sendiri. Tidak ada cara lain atau pilihan lain di luar itu. Ya, kita akan berubah menjadi seorang pribadi yang bersyukur kalau kita memiliki keberanian untuk berhadapan secara langsung dengan kehidupan. Apa maksudnya? Hidup manusia berada dalam lingkaran relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Tuhan. Maka kalau dikatakan bahwa kita harus berani berhadapan dengan kehidupan, itu berarti kita harus berani untuk meniscayakan kedalaman relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Tuhan.



MENGENAL DIRI MELALUI DOA

Menemukan identitas diri. Sebuah gagasan introspektif yang dalam dunia dewasa ini semakin menemukan aktualitasnya. Betapa tidak, dewasa ini semakin merebak fenomena-fenomena sebagai representasi teralienasinya pribadi manusia.Dunia manusia semakin memperlihatkan kemajuan yang gemilang. Namun ironisnya bersamaan dengan itu terlahir pula manusia-manusia yang semakin terasing dari diri dan dunianya, bahkan dari Penciptanya. Pertanyaan: Siapa aku? Siapa aku di tengah dunia ini? Siapa aku di hadapan Tuhan? Terasa sebagai pertanyaan yang semakin sulit dirunut jawabannya. Sulitnya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus melukiskan bahwa manusia semakin jauh dari dirinya. Bagaimana situasi itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana situasi itu harus diselesaikan? Apa sarananya?
Secara ringkas tulisan ini bermaksud merefleksikan, sekaligus menawarkan sebuah jawaban reflektif atas soal-soal itu. Perumusan jawaban akan dimulai dengan paparan singkat perihal delik-delik fenonema yang menjadi pencetus lahirnya kepudaran identitas diri manusia. Menyusul kemudian, sebuah tawaran jalan doa sebagai sarana untuk kembali ke inti diri. Dan pada bagian terakhir akan diuraikan refleksi singkat.

1. Faktor-Faktor Pencetus Pudarnya Idenitas Diri.
Harus dikatakan bahwa dalam peziarahan hidupnya, identitas diri manusia dibentuk oleh aneka faktor. Selain diri sendiri, keluarga, sesama, lingkungan sosial, dan Tuhan adalah rentetan pribadi dan faktor yang sangat berperan dalam membentuk seorang pribadi. Kalau terbentuknya identitas manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, maka hal yang sama juga berlaku untuk pemudaran identitasnya. Jelas, bahwa soal yang terakhir ini juga tidak bisa kita lepaskan dari aneka konteks yang melingkupi hidup manusia. Berbicara secara global dan mendetail mengenai soal-soal itu dalam refleksi sesingkat ini jelas tidak mungkin. Oleh karena itu kita hanya akan mengambil beberapa hal yang relevan dengan pembahasan tema ini.

Kesibukan. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa kesibukan telah menjadi karakter pola kehidupan masyarakat modern. Pekerjaan, pertemuan dan janji-janji yang menuntut perealisasian, aneka rencana yang mengandaikan penyelesaian, merupakan rentetan aktivitas yang senantiasa memenuhi dan mewarnai kehidupan sehari-hari manusia modern. Pola-pola kehidupan semacam itu sekan-akan telah menjadi ciri khas masyarakat modern. Dan karenanya semakin merebak pula kecenderungan bukan untuk melepaskan diri dari aneka kesibukan, sebaliknya justru untuk mencarinya. Manusia sering berupaya mencari dan menghendaki kesibukan dengan tesis bahwa kesibukan merupakan cermin pengejawantahan tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan itu hendak dikatakan bahwa kesibukan merupakan status simbol. Jaminan hidup. Dan - ini yang terpenting - kesibukan merupakan wadah untuk menampilkan identitas diri. Manusia semakin yakin akan identitasnya kalau dia mempunyai kesibukan. Sebaliknya ketidak-sibukan merupakan sesuatu yang mengancam keutuhan identitas.
Kecemasan. Fenomena lain yang masih berkaitan erat dengan kesibukan adalah kecemasan. Kemungkinan perubahan jabatan, konflik-konflik dalam keluarga, penyakit, wabah, kejahatan-kejahatan perang, fenomena-fenomena ketidakadilan sosial, pelanggaran hak-hak asasi manusia, bentuk-bentuk kekerasan, penipuan, korupsi, dan seterusnya, merupakan pemicu lahirnya kecemasan, ketakutan, kecurigaan, kebingungan, kesedihan.
Kehampaan. Di balik hidup yang sarat dengan nada-nada cemas itu ada satu hal lain yang terjadi, yaitu kehampaan. Dengan itu hendak dikatakan bahwa manusia sedang berada dalam wilayah ketidak-puasan, ketidak-damaian, ketidak-krasanan. Fenomena ini sekaligus merepresentasikan ketakbermaknaan dan krisis yang mendalam dalam hidup manusia. Dan yang menjadi konsekuensi selanjutnya adalah semakin mencuat bersit-bersit kebosanan atas hidup, dendam, depresi, stress, dan semacamnya.
Kaburnya identitas diri. Rajutan pengalaman faktual manusia ini pada gilirannya merupakan faktor pendorong lahirnya kekaburan identitas diri. Dalam situasi semacam itu manusia semakin sulit menemukan makna atau nilai atas hidupnya. Manusia semakin teralienasi dari pusat terdalam dirinya. Kesibukan dan kehampaan yang terejawantah dalam perilaku-perilaku bosan, dendam, depresi itu sekaligus merupakan kondisi yang mencerminkan ketidak-damaian manusia dengan dirinya sendiri. Dan itu berarti manusia berada dalam situasi terputus dengan pusat Aada@nya sendiri.
Doa. Sudah barang tentu, tidak seorangpun menghendaki situasi diri semacam ini terjadi dan menguasai hidupnya. Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana manusia harus melepaskan diri dari kondisi ini? Bagaimana manusia harus menemukan kembali identitas dirinya? Ada banyak jalan yang bisa menjawab persoalan itu. Dalam refleksi singkat ini kita akan melihat satu jalan, yaitu doa. Tesis dasar yang dikedepankan adalah: doa merupakan jalan untuk mengenal identitas diri.

2. Doa Sebagai Jalan Pengenalan Diri
2.1. Apa Itu Doa?

Doa mempunyai kaitan yang erat dengan keheningan. Keheningan adalah syarat utama sebuah doa. Keheningan merupakan sarana manusiawi dan rohani yang menyiapkan manusia pada pertemuan mendalam dengan Allah yang hadir di kedalaman batin setiap manusia. Apa itu hening? Hening berarti menempatkan diri dan menghayati diri di pusat ada; di dasar pribadi di mana aku adalah aku. Sisi lain dari keheningan adalah keributan. Ribut adalah kondisi terputusnya kesadaran dengan pusat "ada"nya sendiri; kondisi ketika manusia tidak lagi bertemu dengan dirinya sendiri; ketika manusia mengidentikkan dirinya dengan benda-benda, barang-barang, juga saat manusia menyamakan sesama dengan benda yang dikuasai, dimanipulasi sesuka hati; saat menolak komunikasi pribadi dengan sesama. Keributan bisa muncul dari sesuatu di luar diri manusia. Tetapi yang terutama keribuatan tercetus dari kondisi di dalam diri kita, yaitu di dalam tubuh dan indra yang liar tanpa kontrol, dalam dunia afeksi dan pikiran kita.
Kalau keheningan dimengerti sebagai sarana dan tempat pertemuan yang membawa manusia pada hidup doa, maka doa adalah pertemuan itu sendiri, yaitu pertemuan dalam cinta dengan Allah. Doa merupakan relasi perjanjian antara Allah dan manusia. Doa adalah relasi dari hati ke hati. Doa adalah relasi cinta persahabatan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks pemahaman ini, doa merupakan aktivitas yang memerlukan secara mutlak rasa haus dan rindu akan Allah. Doa mempunyai relasi yang erat dengan hidup. Manusia berdoa sebagaimana dia hidup. Sebaliknya doa juga menentukan hidup manusia. Oleh karena itu jika kita adalah pribadi yang mendalam, maka kita juga merupakan seorang yang mendalam dalam segalanya, termasuk dalam doa.
Doa berarti hadir bersama dengan Allah karena kita mengetahui bahwa Allah mencintai kita. Doa berarti membuka dan menyerahkan diri kepada Allah yang mencintai kita, tanpa mempersoalkan mengapa dan untuk apa. Itu berarti doa mengandaikan sikap tulus, tanpa maksud tertentu. Doa memerlukan cinta, yang pada akhirnya akan melahirkan pandangan kagum dalam keheningan yang memungkinkan dua pribadi saling berbicara dari hati ke hati.

2.2. Doa dan Mengenal Diri

Doa tidak bisa dipisahkan dari realitas diri manusia. Bagaimana manusia berdoa sangat ditentukan oleh kondisi faktual manusia. Seperti diuraikan di atas, jika manusia adalah seorang pribadi yang mendalam, maka dia juga adalah seorang yang mendalam dalam hal doa. Begitu juga sebaliknya, jika manusia adalah seorang yang mendalam dalam doa, maka dia juga adalah seorang pribadi yang mendalam. Dengan perspektif yang kedua ini hendak dikatakan bahwa doa adalah jalan yang mempunyai peranan kuat untuk upaya pengenalan diri manusia. St. Agustinus mengatakan: ATetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau menghadapkan aku dengan diriku, aku yang perpaling dari diriku, karena aku tidak mau melihat diriku. Engkau memaksa aku melihat diriku, agar aku melihat betapa aku hina dan pincang, betapa bernoda, bercela dan bercacat.@ Gagasan reflektif ini hendak mengatakan bahwa doa tidak pernah berarti menjauhi diri sendiri. Allah tidak pernah membiarkan Diri-Nya menjadi tempat pelarian. Sebaliknya Allah menghendaki supaya manusia yang mempunyai intensi datang kepada-Nya sekaligus merupakan insan yang berani untuk membongkar rahasia batinnya. Dengan demikian doa merupakan aktivitas yang Amemaksa@ manusia untuk mengenal dirinya. Dikatakan demikian karena selama manusia tidak mengenal aneka cetusan pikiran dan kecenderungan hatinya, maka tidak mungkin dia dapat berdoa.
Doa mengandaikan orang mengenal diri. Ungkapan ini belum selesai, karena doa ternyata juga merupakan jalan yang membantu manusia untuk mengenal dirinya. Dalam doa manusia menghadirkan dirinya di hadapan Allah. Sekaligus dalam aktivitas itu manusia akan mengalami Allah yang menyoroti situasi aktual hatinya. Dalam doa manusia akan mengalami Allah sebagai Terang Ilahi yang menembus perbuatan, pikiran dan topeng-topeng yang mengkerdilkan hatinya. Dalam doa manusia menjadi sadar akan apa yang lemah dan rapuh dalam dirinya. Dalam doa manusia dapat mengenal dirinya lebih objektif dan menyeluruh. Dalam doa manusia akan memperhatikan dirinya dengan kaca mata terang Allah. C.G. Jung menggandengkan doa dan pengenalan diri dengan mengartikan doa sebagai relasi antara dua pribadi, yaitu si aku dan Engkau (Tuhan) yang kekal. Dan relasi ini merupakan situasi yang memungkinkan manusia untuk keluar dari dunia keakuannya. Pada umumnya manusia hidup pada level kesadaran, tetapi berkat doa manusia dapat melihat khazanah mental bawah sadarnya. Jung juga menyebut doa sebagai Acolloquium cum suo angelo bonum@. Doa disebut sebagai demikian karena menurut Jung doa mempunyai dimensi dialogal dengan khazanah mental bawah sadar manusia. Dan dengan itu hendak dikatakan bahwa doa merupakan media untuk keluar dari dunia Aaku kecil@ manusia yang terkurung dalam kesadarannya, dan masuk dalam inti kepribadiannya.

Dalam paradigma iman kristiani, pengenalan diri memang tidak sekedar berarti keluar dari ketidaksadaran, melainkan juga berarti menyadari realitas kedosaan di hadapan Allah. Dalam pemahaman ini doa merupakan sarana yang mempertajam mata batin manusia untuk melihat kenyataan dirinya dan memupuk disposisi sikap yang semakin terbuka di hadapan Allah.

3. Refleksi
3.1. Manfaat Untuk Pertumbuhan Hidup Rohani
Cetusan sikap dan pergulatan bahwa aneka krisis makna dalam hidup manusia terutama dilatarbelakangi oleh mendangkalnya relasi dengan Tuhan, dewasa ini semakin memperlihatkan validitasnya. Terutama pendalaman materi-materi Teologi Spiritual Sistematik saya lihat sebagai teropong yang mempertajam kebenaran fenomena tersebut. Di sisi lain saya merasakan bahwa pendalaman materi-materi ini - yang saya maksud di sini adalah tentang doa - merupakan sarana yang membantu dalam upaya memperkokoh bangunan iman dan hidup rohani saya. Carut marut perkembangan dunia dewasa ini semakin mendesak dan menuntut hal itu. Selain - tentu saja - karena hidup doa merupakan sesuatu yang mutlak dalam hidup (calon) imam. Dikatakan mutlak karena seorang (calon) imam pertama-tama adalah seorang pemimpin rohani, yaitu insan yang secara khusus mewarisi tugas Kristus untuk mewartakan sabda-Nya. Karena itu seorang (calon) imam dituntut juga untuk semakin serupa dengan Kristus. Dan sarana yang terdepan dalam soal itu adalah doa.

3.2. Rekomendasi Pastoral
Memberikan pemahaman yang benar kepada umat tentang doa bagi saya merupakan prioritas utama dalam reksa pastoral. Dewasa ini umat semakin memperlihatkan kerinduan dan kehausan akan hidup doa yang mendalam. Namun tidak jarang pula kita mendengar aneka keluhan yang intinya hendak mengatakan bahwa mereka sulit berdoa. Selain pertama-tama harus berupaya menggali aneka faktor yang membelenggu hidup doa umat, petugas pastoral juga harus berupaya memberikan pengertian tentang doa yang benar. Hal ini penting karena tanpa pemahaman yang benar, maka sebuah doa juga akan sulit untuk dihayati sebagai bagian integral dalam hidup umat.
Langkah selajutnya, setelah penggalian masalah dan memberikan pemahaman yang benar, adalah menunjukkan kepada umat aneka jalan yang bisa ditempuh untuk memperdalam hidup doa. Semuanya ini mengandaikan sebuah proses yang tidak pendek dan dinamika yang tidak mudah, maka kesetiaan dan ketekunan seorang petugas pastoral merupakan tuntutan yang utama.




HIDUP SEBAGAI MOZAIK

Manusia adalah baik
Tak dapat disangkal bahwa hidup manusia selalu diwarnai oleh aneka macam pengalaman. Pengalaman kegagalan, keberhasilan, menyenangkan, menyedihkan, suka cita, duka cita, dan lain sebagainya. Singkatnya, hidup manusia selalu diwarnai oleh dua nada dasar, yaitu nada “Yin” dan nada “Yang”; sisi buruk/jahat dan sisi baik.

Memang manusia pada dasarnya adalah baik. Manusia diciptakan oleh Allah pertama-tama sebagai itu yang baik, yang luhur. Dan itu berarti bahwa kebaikan adalah itu yang mencerminkan natura manusia; jati diri manusia. Namun demikian kita harus sadar bahwa di luar jati diri itu ternyata masih ada realitas yang lain, yaitu dosa. Dosa kalau dilihat dalam kaca mata tata penciptaan memang jelas bukan merupakan realitas dari kesejati-dirian manusia. Mengapa? Karena pada awalnya manusia hanya mempunyai satu karakter, yaitu kebaikan. Kalau demikian bagaimana realitas dosa itu harus dijelaskan? Dosa adalah ketertutupan hati manusia akan suara dan kehendak Allah. Dengan ini saya maksudkan bahwa dalam hidupnya manusia tidak mau lagi melihat Tuhan sebagai realitas yang melampaui dirinya, sebagai yang berkuasa, yang maha segalanya. Dosa berarti bahwa manusia terpaku pada keyakinan akan dirinya sendiri sebagai penentu nasib. Dan itu adalah kesombongan. Dengan demikian dosa pertama-tama adalah realitas hidup yang lahir dari atau karena kesombongan manusia. Yaitu kesombongan yang menjebak manusia dalam pen-tuhan-an diri.
Dosa pada dasarnya bukan jati diri manusia itu sendiri. Namun demikian tak dapat disangkal bahwa dosa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri manusia. Sato-santa pun mengakui hal ini. Hanya Yesus yang tidak termasuk dalam pernyataan ini. Ini kesadaran pertama yang harus selalu kita kedepankan. Kesadaran kedua adalah meskipun manusia tak terpisahkan dari realitas dosa, namun manusia pada inti kedalaman dirinya selalu mempunyai kecenderungan untuk mencari kebaikan. Dalam hal ini saya berani mengatakan, bahkan tak satu pun manusia di dunia ini yang mempunyai tujuan jahat dalam hidupnya. Tidak ada manusia yang “in se" adalah jahat. Penjahat yang paling jahat pun sebenarnya selalu mengupayakan yang baik, minimal baik menurut ukuran dirinya.

Menyusun mozaik
Kalau kita berani menginternalisasikan dan memperdalam keyakinan bahwa manusia adalah baik maka sebenarnya sudah tidak ada tempat lagi untuk kejahatan, keburukan atau semacamnya. Sebaliknya setiap peristiwa dan pengalaman – baik yang bernada “yin” atau bernada “yang” - selalu mempunyai makna dalam hidup kita.
Bagi saya sendiri hidup adalah aktivitas menyusun sebuah mozaik. Dalam konteks ini aneka pengalaman yang saya alami sebenarnya merupakan sisi-sisi dari pelbagai warna yang berbeda. Pegalaman pahit atau jelek atau semacamnya saya ibaratkan dengan warna hitam. Pengalaman sukses, gembira, bahagia dan semacamnya saya lambangkan dengan warna putih. Pengalaman-pengalaman yang lain sama halnya dengan warna kuning, biru, merah, dan lain sebagainya. Setiap warna merupakan bagian yang sangat menentukan dalam membentuk sebuah mozaik. Setiap warna mempunyai nilai untuk sebuah mozaik. Setiap warna dengan kekhasannya/keunikannya merupakan bagian yang akan memperindah dan memperkaya wajah sebuah mozaik. Hal yang sama juga berlaku dalam setiap delik perjalanan hidup kita. Setiap pengalaman dan peristiwa yang kita jumpai dan alami merupakan bagian-bagian yang ikut ambil bagian dalam menentukan keindahan dan mutu hidup kita. Setiap pengalaman dengan segala keunikannya merupakan pecahan-pecahan makna yang sangat berharga dalam menyusun kesempurnaan hidup kita.
Karena keterbatasan dan sempitnya cakrawala pandang kita terhadap hidup, sering kali memang muncul kecenderungan untuk menjauhi/menghindari setiap pengalaman yang menyakitkan. Bagi saya kecenderungan semacam itu adalah wajar. Saya katakan wajar karena sudah menjadi kehendak setiap manusia bahwa dirinya mengidealkan suatu kehidupan yang bahagia. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang menhendaki hidupnya dihimpit oleh pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. Tidak ada satu pun manusia yang menghendaki hidupnya menderita. Bagaimana dengan contoh para martir atau bahkan pengalaman Yesus sendiri? Apa artinya penderitaan para martir dan penderitaan Yesus? Jelas bahwa para martir, begitu juga Yesus, tidak melihat penderitaan dan siksaan badaniah pertama-tama sebagai tujuan, melainkan terutama penderitaan dan siksaan itu adalah sarana. Sarana apa? Yaitu sarana untuk mencapai kebahagiaan. Dengan kebahagiaan saya maksudkan sebagai sarana untuk memperoleh kemuliaan bersama Allah. Para martir dan Yesus sendiri sepenuhnya sadar bahwa hanya dengan jalan semacam itu maka kebahagiaan dapat dicapai. Jadi sangat jelas bahwa penderitaan bukanlah itu yang dikehendaki sebagai “in se”, melainkan sebagai jembatan untuk meraih tujuan hidup yang sempurna.
Penderitaan, kegagalan, pengalaman-pengalaman yang menyakitkan atau yang semacamnya itu memang merupakan bagian hidup yang tak akan terpisah dari keberadaan kita. Karena tak terpisahkan dari hidup maka sebenarnya sama sekali kita tidak dapat menghindarinya. Atau lebih tepat saya katakan kita tidak mungkin bisa melepaskan diri dari aneka pengalaman menyakitkan itu. Itu berarti setiap manusia pasti – dalam perjalanan hidupnya – akan bersentuhan dengan pengalaman pahit, pengalaman-pengalaman yang di luar kehendak kita. Dan dalam hal ini mau tidak mau kita harus menghadapinya. Lari atau menghindari aneka pengalaman – terutama pengalaman yang pahit, menyakitkan – sama artinya dengan lari dari diri kita sendiri. Mengapa? Karena pengalaman-pengalaman itu adalah bagian dari diri kita. Pengalaman-pengalaman itu adalah buah dari aktivitas hidup kita. Pengalaman-pengalaman itu adalah cermin dari wajah pribadi kita. Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk menghindari atau lari dari aneka pengalaman itu. Tidak ada alasan untuk melepaskan diri dari aneka pengalaman itu.
Nah, justru aneka persoalan hidup bersumber di sini. Yaitu dari soal bagaimana kita menyikapi aneka pengalaman yang menyakitkan, pengalaman kegagalan, pengalaman jatuh, pengalaman menyedihkan dan lain sebagainya. Kebanyakan orang – termasuk saya sendiri – sering terjebak dalam sebuah mentalitas yang mendangkal dalam melihat hidup. Hal ini terutama tercetus dalam reaksi-reaksi emosional kita terhadap aneka pengalaman jatuh. Bagaimana itu? Seringkali kita memberontak. Sering kali kita tidak bisa menerima kehadiran pengalaman-pengalaman itu. Sering kali kita mengutuk orang lain, sahabat-sahabat kita, orang tua kita, pimpinan kita dan lain sebagainya, sebagai sumber munculnya pengalaman-pengalaman pahit itu. Sering kali kita mengutuk Tuhan sebagai yang tidak adil, yang tidak mahakuasa, yang tidak mencintai kita. Sering kali kita menyalahkan diri kita sendiri sebagai orang yang tidak dewasa, yang tidak bisa memanajemen diri, sebagai orang yang …. dan seterusnya. Terhadap pengalaman-pengalaman menyakitkan, umpatan-umpatan semacam itulah yang sering keluar dari mulut, hati dan pikiran kita.
Akibat dari reaksi-reaksi semacam itu adalah kita justru akan semakin melihat diri kita, hidup kita, orang lain, dan bahkan Tuhan sendiri sebagai itu yang tidak ada artinya sama sekali. Kalau sampai hal ini terjadi maka kebenaran pepatah Jawa: “sudah jatuh tertimpa tangga” sungguh-sungguh berbicara dalam hidup kita.
Jelas bahwa sikap-sikap yang pesimis, yang negatif terhadap hidup tidak akan menambah apa-apa dalam proses tumbuh kembang hidup kita. Sebaliknya sikap-sikap tidak bisa menerima, memberontak, mengumpat, dan semacamnya itu justru akan semakin menjerumuskan kita dalam jurang terjal yang jauh lebih menyakitkan.
Karena itu dari pada energi kita tersedot habis oleh aneka ungkapan hati dan pikiran yang bernada pesimis dan negatif, alangkah baiknya kalau kita berani memutar arah pandang kita menuju haluan yang lain. Yaitu disposisi yang lebih bernada positif. Disposisi yang senantiasa mengedepankan keterbukaan hati dan pikiran terhadap aneka pengalaman hidup. Disposisi yang menjunjung tinggi aneka pergulatan hidup. Disposisi yang senantiasa sadar akan keunikan diri kita sendiri dan orang lain. Disposisi yang peka dan terbuka terhadap suara-suara Allah.
Alangkah bahagianya kita yang bisa tekun dalam komitmen semacam itu. Niscaya disposisi-disposisi yang terakhir ini akan membuahkan kebahagiaan dan kebebasan dalam hidup kita. Dalam kaca mata semacam itu semua pengalaman adalah bermakna. Itu berarti dalam hidup kita tidak ada tempat lagi bagi pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, kegagalan dan seterusnya. Dan kalau hal ini terjadi betapa indah mozaik yang kita rangkai. Sungguh, mozaik itu akan terlihat sangat indah dan menyejukkan; memancarkan kedamaian dan keunikan bagi setiap mata yang memandangnya – termasuk mata kita sendiri.
Sekali lagi. Semua peristiwa dan pengalaman yang kita lihat dan alami selalu memancarkan sebuah makna. Bahkan peristiwa dan pengalaman sekecil apa pun. Bahkan juga pengalaman dan peristiwa yang paling menyakitkan. Semuanya mempunyai nilai. Semuanya merupakan modal untuk menumbuh-kembangkan pribadi kita sebagai manusia. Di dalam pengalaman dan peristiwa yang menyakitkan, pengalaman jatuh, pengalaman dosa, dan semacamnya, selalu terkandung makna dan nilai-nilai kebahagiaan, keleluasaan, kebebasan.

Tuhan….
Betapa selama ini ada banyak hal dalam hidupku
Yang telah aku sia-siakan
Aku lewatkan begitu saja
Tidak aku hiraukan
Aku remehkan
Aku anggap tidak bernilai
Aku lihat sebagai yang tak bermakna
Yang hanya membebani diriku,
Kebebasanku, perkembanganku, jati diriku,
Harga diriku, panggilanku

Tuhan….
Betapa mendangkal pikiran dan hatiku selama ini
Betapa sebuah kesia-siaan yang kulakukan selama ini
Yah … sebuah kesia-siaan
Aku sering takut menatap kegagalan,
Aku sering tidak siap menerima pengalaman jatuh,
Aku sering berusaha lari dari persoalan hidup
Sunggguh …
Ternyata aku telah menyia-nyiakan banyak hal
Ternyata aku sering melihat banyak hal sebagai yang sia-sia

Tuhan …
Sekarang aku sadar …
Bahwa di hadapan-Mu semuanya adalah bermakna
Bagi diriku, sesamaku dan Engkau sendiri
Bahkan hal yang paling kecil sekali pun
Semuanya bernilai
Engkau sendiri berkata:
“jika kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi,
Engkau bisa memindahkan gunung ini”
Biji sesawi … bukankan itu adalah biji yang tekecil
Yah, yang terkecil dari yang terkecil
Namun, yang terkecil bagi-Mu
Adalah syarat untuk melakukan yang terbesar

Tuhan …
Aku tidak mau lagi kehilangan
Bahkan titik sekecil apa pun dalam hidupku
Tidak ingin aku lewatkan

Tuhan …
Aku yakin bahwa semua pengalaman dan peristiwa
Adalah permata bagi hidupku
Hidup panggilanku

Tuhan …
Engkau telah membuka mata hatiku
Yang selama ini buta sama sekali
Syukur ya Tuhan atas semuanya itu
Sungguh inilah sebenarnya yang aku cari selama ini
Pencarian makna dan mutu hidup yang mendalam
Dan kini Engkau telah membuka jalan
Bagi pencarianku itu.

Tuhan …
Sekarang aku mohon terang Roh Kudus-Mu
Untuk menuntun hidupku
Untuk menuangkan apa yang telah Kauberikan ini
Dalam hidup keseharianku
Demi perkembangan diriku, sesamaku
Dan demi keluhuran nama-Mu. Amin.


Disposisi sebagai tanah: syarat untuk bisa melihat hidup sebagai mozaik
1. Menerima apa saja
Bagi sebuah tanah segala sesuatu bisa diterima. Seandainya yang diberikan kepadanya adalah sebuah pupuk, tentu tanah akan merasa sangat bersyukur. Mengapa? Tentu saja karena pupuk akan membuat dirinya semakin tumbuh subur. Namun seandainya yang ada adalah kotoran, yah kotoran apa pun, maka itupun juga akan diterima dengan tangan yang terbuka. Tanpa menolak. Tanpa memberontak. Itu berarti disposisi yang senantiasa dikedepankan oleh sebuah tanah adalah disposisi yang terbuka terhadap apa saja yang ia terima.
Pertama-tama sebuah tanah akan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Seandainya itu adalah sebuah pupuk, maka ia akan menerimanya sebagai pupuk. Dan seandainya itu adalah sebuah kotoran, maka ia juga akan menerimanya sebagai kotoran. Yang penting adalah bahwa semuanya diterima. Tanpa membeda-bedakan apakah itu pupuk atau kotoran.
Pada tahap selanjutnya – dan ini adalah yang terpenting bagi sebuah disposisi - yang dilakukan oleh tanah adalah mengolah apa yang ia terima itu. Seandainya ia menerima pupuk maka ia akan langsung menggunakannya sebagai itu yang akan mempersubur dirinya. Nah bagaimana jika yang ia terima adalah sebuah kotoran? Jawabannya sama. Ia pun akan mengolahnya menjadi sebuah pupuk yang akan mempersubur dirinya. Kalau demikian adanya, maka bagi sebuah tanah sebuah kotoran maupun pupuk mempunyai makna yang sama, yaitu sebagai itu yang akan mempersubur dirinya. Oleh karena itulah dalam sebuah pemahaman makna, tanah tidak pernah membeda-bedakan apakah itu kotoran atau pupuk. Tanah tidak pernah berpikir seperti demikian: “karena itu adalah pupuk maka saya terima. Dan karena itu kotoran maka itu akan saya tolak”. Sebaliknya jalan pikiran sebuah tanah selalu demikian: “saya akan sangat bersyukur seandainya yang saya terima adalah sebuah pupuk karena darinyalah aku memperoleh bahan untuk menyuburkan diri. Namun seandainya yang aku terima adalah kotoran, disposisi yang sama pun akan aku terapkan, karena pada akhirnya – setelah melalui pengolahan yang (mungkin) panjang – kotoran itu pun akan menjadi sebuah pupuk”.
Beberapa hal di atas – tentang disposisi tanah – pada akhirnya memberi inspirasi pada saya soal proses tumbuh kembang kepribadian. Seperti halnya tanah, yang bertumbuh kembang menjadi lahan yang subur dengan cara membuka diri dan mengolah segala yang ia terima, demikian juga dengan pribadi manusia. Saya mempunyai keyakinan bahwa jika kita berani mengedepankan sikap menerima dan terbuka terhadap realitas – diri kita, sesama kita dan Tuhan sendiri – maka niscaya kesejatian diri kita juga akan bertumbuh kembang dengan baik.

2. Sadar akan keterbatasan diri
Bagaimana kalau seandainya - baik kotoran atau pupuk - setelah diterima ternyata tidak bisa diolah, dan dengan demikian berarti tidak akan membuat dirinya subur? Kita harus sadar bahwa apapun yang ada di dunia ini mempunyai keterbatasan. Tanah pun tak luput dari kenyataan itu. Dia memang mempunyai sifat yang terbuka untuk menerima segala hal. Namun ternyata juga tidak semua hal bisa ia olah menjadi sesuatu yang membuat dirinya subur. Di hadapan jenis-jenis plastik, kaca, batu, dan semacamnya tanah tidak mampu berbuat apa-apa. Lalu kita harus bagaimana? Apakah sikap terbuka atau menerima itu masih relevan; masih harus terus dikedepankan?
Bagi saya disposisi yang terbuka dan mau menerima realitas tetap harus dikedepankan? Mengapa? Karena justru dengan keterbukaan semacam itu kita akan semakin sadar bahwa kita ini terbatas; bahwa ternyata ada banyak hal yang berada di luar kemampuan saya. Dan kesadaran akan keterbatasan ini pada akhirnya juga akan membuka kesadaran baru dalam diri kita, yaitu bahwa untuk mencapai kesempurnaan diri, kita mau tidak mau memerlukan uluran tangan dari yang lain, yaitu sesama kita dan terutama Tuhan sendiri.

3. Menggantungkan diri pada yang lain
Ternyata tidak semua hal bisa kita lakukan sendiri. Itu karena kita adalah makluk yang terbatas. Kesadaran bahwa kita adalah makluk yang terbatas pada akhirnya akan membuka mata hati kita bahwa ternyata kita tergantung pada yang lain di luar diri kita, yaitu sesama kita dan terutama Tuhan sendiri. Plastik, kaca, dan segala macam yang tidak bisa diolah oleh tanah akan selamanya menjadi kaca, plastik jika tidak ada uluran tangan dari yang lain. Misalnya tanah memerlukan api untuk membuat pelbagai plastik itu terbakar dan dengan demikian menjadi sesuatu yang bisa dicerna oleh tanah itu sendiri. Tanah memerlukan air atau hujan untuk membusukkan pelbagai sampah yang tak terurai sehingga menjadi sesuatu yang terolah oleh tanah. Tanah memerlukan manusia untuk memindahkan pelbagai jenis kaca dari tanah sehingga tanah tidak memiliki halangan lagi untuk menyuburkan diri.
Dan sesuatu yang tak terolah pada gilirannya akan mengancam kesuburan tanah itu sendiri “jika tidak dibantu” oleh yang lain. Saya katakan “jika tidak dibantu” karena jelas tanah itu dari dalam dirinya sendiri sudah tidak mungkin mengangkat pelbagai hal yang tak terolah itu. Dengan demikian semakin niscaya bahwa keterbatasan merupakan indikasi bahwa kita selalu memerlukan yang lain, sesama kita dan Tuhan sendiri.

4. Siap diolah
Hanya karena disposisi bahwa kita tergantung pada sesama dan Tuhan inilah maka kita juga akan berani menempatkan diri sebagai yang siap diolah oleh yang lain. Tanah betapa pun mempunyai disposisi terbuka dan menerima terhadap apa saja, tetap masih memerlukan disposisi ini, yaitu membuka diri terhadap peran orang lain sebagai yang mengolah dia. Hal yang sama juga berlaku bagi perkembangan hidup manusia. Manusia akan tetap terjebak dan mentalitas yang mendangkal, kalau tidak berani mengedepankan wacana bahwa orang lain sangat berperan dalam membentuk dirinya.

5. Kemauan mengolah diri
Benar bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Benar bahwa manusia memerlukan orang lain dan Tuhan untuk berjalan menuju otentisitas dirinya. Namun satu hal harus tetap menjadi keyakinan. Yaitu meskipun dia terbatas dan selalu memerlukan orang lain, manusia tetap adalah dirinya sendiri. Manusia adalah subjek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain di tengah-tengah ketergantungannya pada yang lain, manusia bukanlah yang lain itu.
Oleh karena itu disposisi bahwa kita tergantung oleh orang lain dan Tuhan sama sekali tidak boleh menegasi realitas bahwa kita adalah subjek bagi perjalanan hidup kita. Peran orang lain dan Tuhan dalam hidup kita selalu bernada mengajak, menunjukkan jalan yang benar, menunjukkan pelbagai kesesatan, dan lain sebagainya. Namun yang berperan dalam pengolahan adalah diri kita sendiri. Sangat mungkin orang lain dan Tuhan dengan sekuat tenaga membantu kita untuk keluar dari pelbagai kelemahan. Namun kalau kita – dari dalam diri kita sendiri – tidak mempunyai kehendak yang kuat untuk keluar dari kelemahan itu, maka semua bantuan dan uluran tangan itu juga akan sia-sia. Dan kita akan tetap menjadi manusia yang gersang, yang tidak siap ditanami, yang tidak berkembang. Hanya dengan disposisi proaktif kita dapat bertumbuh-kembang secara sempurna. Hanya dengan kekokohan kehendak dan komitmen untuk mengolah diri kita dapat menemukan jati diri kita sendiri.


SEGALA SESUATU LAHIR KARENA PERBEDAAN

Sebenarnya bukan hanya musik. Kalau mau duduk merenung dengan hati yang tenang, mata kita akan terbuka bahwa segala sesuatu di dunia ini sebenarnya ada karena sebuah perbedaan. Bayangkan!!! apa yang terjadi jika di dunia ini tidak ada laki-laki dan perempuan. Jelas, tidak akan terlahir manusia baru. Itu berarti bahwa manusia dalam ketunggalannya tidak mungkin memunculkan generasi baru. Hal yang sama juga berlaku untuk elemen-elemen lain dalam alam semesta. Pohon tidak akan tumbuh sebagai pohon, jika ia tidak berpadu dengan pupuk, tanah, dan lain sebagainya. Mobil tidak akan bisa disebut mobil jika tidak ada penyatuan pelbagai onderdil yang lain.
Kali ini saya hanya akan merefleksikan apa yang disebut Amusik@. Bukan pertama-tama karena dunia musik memiliki keunggulan atau keistimewaan tertentu, melainkan terutama karena dunia musik memiliki kedekatan dengan saya.

Apa itu musik?.
Musik adalah paduan nada. Dengan itu hendak dikatakan bahwa nada, sejauh dia berdiri sendiri atau sejauh ada di dalam dirinya sendiri tidak bisa dikatakan sebagai musik, melainkan tetap sebagai dia yang adalah nada. ADo@ akan tetap sebagai Ado@ sejauh dia berdiri sendiri. Begitu juga dengan re, mi, sol, dan seterusnya. Karena itu musik dikatakan sebagai Apaduan@ karena dia dihasilkan oleh dentuman atau rangkaian nada yang berbeda. Inilah musik. Dia ada karena perbedaan. Dia tercetus karena do, re, mi dan seterusnya itu berpadu. Dalam kepaduan itu terlihat kebersamaan. Dalam kebersamaan itu lahirlah keharmonisan, keselarasan. Dalam keselarasan itu masing-masing nada seakan lebur menjadi satu kesatuan. Dalam kesatuan itu tidak ada lagi do sebagaimana dia adalah do, tidak ada lagi re sebagaimana dia adalah re, dan seterusnya. Dan dalam peleburan diri itu terbersit secara jelas keindahan. Keindahan yang bukan hanya berarti bagi dirinya sendiri, melainkan terutama bagi yang lain di luar dirinya.

Beberapa syarat munculnya keselarasan dalam sebuah alat musik.

1. Nada tidak Afalse@. Tidak Afalse@ artinya utuh. Sempurna. Penuh di dalam dirinya sendiri. Kalau kesempurnaan atau kepenuhan sebuah nada adalah syarat pertama sebuah musik yang padu, maka ketidak-penuhan, ketidak-sempurnaan dapat diartikan sebagai itu yang meniscayakan sebuah kekacauan. Kacau berarti tidak selaras. Tidak selaras berarti tidak-padu. Tidak padu berarti tidak adanya keindahan.
Bilamana diketahui nada itu false atau tidak. Ketika dia ada bersama yang lain. Sebuah nada ketika dia berdiri sendiri sulit - atau bahkan tidak mungkin - menilai apakah dia itu false atau tidak. Dengan demikian dalam persepektif disiplin musik, kehadiran nada yang lain sungguh-sungguh memegang peranan yang penting. Kepentingannya terutama terletak pada pemahaman bahwa tanpa nada yang lain maka tidak ada musik. Juga - yang tak kalah pentingnya - tanpa kehadiran nada yang lain, maka sebuah nada tetap berada sebagaimana dia adalah nada yang tidak bisa mengoreksi eksistensinya. Nada dalam kesendirian eksistensinya tidak bisa menilai apakah dia utuh atau tidak.
2. Chord. Chord adalah rangkaian nada-nada tertentu untuk mendapatkan paduan nada tertentu. Dalam skema pemahaman musik, chord dapat dianalogikan sebagai sebuah aturan. Pedoman. Prinsip dasar. Dari sudut pandang nada yang terangkai menjadi sebuah chord, kita akan langsung melihat ide keselarasan. Nada yang terangkai bukanlah sembarang nada. Misalnya, tidak ada chord yang serta merta terpadu dari nada do, re, mi. Dengan demikian, selain chord itu sendiri merepresentasikan sebuah keselarasan, nada-nada yang membentuknya juga tak bisa dilepaskan dari ide keselarasan.
Mengapa harus ada chord? Sangat jelas. Musik identik dengan paduan. Paduan mengandaikan keselarasan. Dan chord adalah itu yang hendak menyejawantahkan ide keselarasan. Jadi tanpa chor jelas tak akan ada keselarasan. Sebaliknya yang ada adalah ketidak-paduan. Kesemrawutan. Dan semacamnya.
3. Irama. Irama pertama-tama hendak merujuk pada ide gaya. Model. Dinamika. Soal sens of music. Itu berarti bahwa irama merupakan pola mangalunnya sebuah musik.
4. Dan seterusnya.... sebenarnya ada rentetan panjang ide yang bisa kita temukan dalam sebuah musik. Musik mengandung inspirasi yang terlalu kaya. Barangkali kalau saya mau menggaliya secara mendalam, tidak akan cukup saya tulis dalam 100 halaman.



PERSPEKTIF

Adalah dua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus. Satu di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri. Kedua-duanya adalah penjahat. Kedua-duanya berdosa. Namun demikian ada satu hal penting yang membedakan keduanya. Perbedaannya tidak hanya terletak dalam soal posisi, bahwa yang satu di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Lebih dari sekedar soal posisi, keduanya dibedakan dalam soal “perspektif”. Maksudnya adalah soal bagaimana caranya kedua penjahat itu memasuki dunia Yesus. Penjahat yang satu memasuki dunia Yesus dengan cara menghojat Dia. Sedangkan penjahat yang kedua memasuki dunia Yesus dengan cara memohon agar Yesus mengingatnya. Apa yang menarik dari kedua macam cara ini???? Yang menarik adalah bahwa soal apakah kita bisa masuk ke dalam dunia Yesus atau tidak, pertama-tama sangat ditentukan oleh perspektif yang kita gunakan. Dengan kata lain, sejauh mana kedalaman relasi kita dengan Yesus adalah (sama artinya dengan) sejauh mana kita memiliki perspektif yang benar tentang Yesus. Perspektif kita tentang Yesus dengan demikian harus dikatakan sebagai kata kunci apakah kita sungguh-sungguh sudah memasuki dunia Yesus atau belum.
Bagaimana selama ini kita memandang Yesus?????



PERTUMBUHAN POHON

Sebuah pohon – apapun jenisnya – selalu bersentuhan dengan dua macam perkembangan. Yang pertama adalah perkembangan ke atas. Dan yang kedua perkembangan ke bawah. Yang pertama berkaitan dengan aktivitas batang, daun, dan buah. Dan yang kedua berkaitan dengan aktivitas akar. Dengan proses pertumbuhan semacam ini, pohon tidak pernah melihat waktu sebagai bagian yang mengancam hidupnya. Sebaliknya pohon selalu melihat waktu sebagai sahabat dan cermin pertumbuhan dirinya. Semakin lama waktunya, sebuah pohon akan semakin memiliki akar yang dalam dan kuat. Begitu juga semakin lama waktunya, sebuah pohon akan semakin memiliki batang yang kokoh, daun yang lebat, dan – mungkin – buah yang banyak. Dalam arti inilah sebuah pohon akan selalu berdamai dengan waktu. Sebuah pohon akan selalu melihat waktu sebagai cermin pertumbuhan dirinya.
Proses pertumbuhan pohon ini secara analogis pada dasarnya dapat disejajarkan dengan pertumbuhan manusia. Hidup manusia pada umumnya dibedakan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi personal, dimensi sosial dan dimensi spiritual. Tiga dimensi ini sekaligus menunjukkan arah dan tujuan perkembangan hidup manusia. Dimensi personal dan dimensi sosial merujuk pada perkembangan manusia secara horisontal. Sedangkan dimensi spiritual merujuk pada perkembangan manusia secara vertikal.
Manusia – dalam proses pemekaran horison horisontal dan vertikalnya – selalu mengandaikan waktu. Waktu, selain dilihat sebagai ruang perkembangan manusia, juga seringkali dilihat sebagai cermin perkembangan hidup manusia.
Bikamana kita dikatakan tidak tumbuh? Kita dikatakan tidak tumbuh tatkala secara terus menerus terkungkung dalam kesempitan cinta diri; tatkala “mandeg” dengan urusan-urusan diri sendiri; tatkala tidak punya hati terhadap sesama; tatkala buta atau menutup mata terhadap peran dan campur tangan Tuhan dalam keseluruhan hidup kita.



AKU INGIN TAHU

Aku tak tertarik pada apa mata pencarianmu,
Aku ingin tahu apa yang kau dambakan,
Dan apakah kau berani mengimpikan bertemu dengan pujaan hatimu

Aku tak tertarik pada planet apa yang menempati bulanmu,
Aku ingin tahu apakah kau berani menyentuh pusat dukamu,
Tanpa layu oleh pengkhianatan,
Tanpa pudar oleh penyakit,
Aku ingin tahu apakah kau bisa duduk bersama rasa nyeri,
Apakah kau bisa menari dengan alam liar,
Dan membiarkan keriangan mengisimu hingga ujung jemari kaki.

Aku tak tertarik apakah cerita yang kaukisahkan benar,
Aku ingin tahu apakah kau berani jujur,
Tidak mengkhianati jiwamu sendiri,
Tetap setia,
Dapat dipercaya,
Aku ingin tahu apakah kau berani hidup dengan kegagalan,
Tanpa terjebak dalam kepedihan mendangkal,
Tanpa menghojat Tuhan,
Tanpa mencaci sesama,
Tanpa merintih meminta belas kasihan,
Tetapi niscaya mendulang rasa syukur,
Tersenyum melihat fajar keindahan.

Aku tak tertarik pada tempat tinggalmu,
Atau berapa banyak harta yang kau miliki,
Aku ingin tahu apakah kau bisa bangkit
Setelah semalam berduka dan merana,
Setelah Lelah dan babak belur.




Aku tak tertarik pada siapa dirimu,
Dan dari maka kau berasal,
Aku ingin tahu apakah kau sanggup berdiri
di tengah kobaran api kehidupan,
tanpa mundur teratur.

Aku tidak tertarik pada gelar akademismu,
Aku ingin tahu pondasi apa yang menyokong hatimu,
Aku ingin tahu apakah kau berani sendirian bersama dirimu,
Aku ingin tahu apakah kau setia pada teman di saat-saat hampa.

Aku tak tertarik pada berapa usiamu,
Aku ingin tahu apakah kau mau mengambil resiko,
Terlihat bodoh demi cinta,
Terlihat hina demi cita-cita,
Terlihat Menderita demi hidup sepenuhnya.

Puisi ini saya sadur secara bebas dari
“Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ”


MEMAKNAI SAAT-SAAT GELAP

Jika kita menengadah ke langit di waktu malam, kita akan melihat bahwa SEMAKIN GELAP langit, SEMAKIN TERANG kelihatan bintang-bintangnya. Mengapa kita tidak dapat melihat bintang di waktu siang hari? Bukankah bintang ada di sana? Bintang tidak kelihatan karena cahaya Matahari terlalu kuat sehingga "melenyapkan" bintang dari pandangan.
"Kegelapan diperlukan untuk melahirkan bintang!"
(dari buku Berani Gagal)

Saat-saat gelap. Sebuah ungkapan yang sangat akrab untuk membahasakan secara lain istilah kegagalan, penderitaan, kesakitan, rasa nyeri yang mendalam, kegundahan hati, kekecewaan, kejatuhan, sakit hati, perasaan terpinggirkan oleh orang lain, perasaan dilecehkan oleh orang lain, perasaan tidak dihargai oleh sesama, dan semacamnya. Sudah barang tentu, dari kedalaman inti dirinya sendiri, tak seorang pun mengharapkan saat-saat itu hadir dan menguasai hidup dan perjalannya. Sekiranya ada jalan alternatif atau sekiranya dimungkinkan untuk menikmati keindahan bintang di siang hari, maka setiap orang pasti akan memilih jalan alternatif ini. Setiap orang menginginkan sebuah hidup yang bahagia, aman, tenteram dan damai, tanpa – kalau bisa atau mungkin – harus melewati lembah-lembah kegagalan, penderitaan, kekecewaan dan seterusnya.
Yesus – sebagai manusia seperti kita – juga tak terlepaskan dari dambaan itu. Kita tahu – tentu saja kalau pernah membaca Injil – bahwa ketika hendak menderita di salib, Yesus berkata kepada BapaNya: “sekiranya cawan ini berlalu dari padaKu ....”. Cawan dalam bahasa Kitab Suci merupakan simbol penderitaan, simbol saat gelap dalam hidup manusia. Maka kalau Yesus berkata “sekiranya cawan ini berlalu dari padaKu”, itu berarti Yesus menghendaki agar penderitaan atau saat-saat gelap itu berlalu dari diriNya. Yesus menghendaki agar diriNya terbebas dari penderitaan. Jeritan hati Yesus ini kiranya dapat dilihat sebagai representasi kecenderungan manusia pada umumnya yang “enggan” atau bahkan dengan tegas menolak setiap pengalaman gagal dan jatuh. Tetapi mungkinkah saat-saat gelap itu bisa dihindari oleh manusia? Mungkinkah manusia menikmati bintang tanpa harus ada kegelapan? Mungkinkah manusia mencapai kebahagiaan tanpa harus melewati kegagalan, penderitaan, dan perjuangan?
Mari kita runut jawabannya dengan belajar dari beberapa pemikir seperti Frederich Nietzche, Yesus, Salomo, dan Ayub. Tentang penderitaan, Nietzche – seorang Filosof Jerman - berkata demikian: “Andaikan bisa, kamu pasti ingin – dan tiada yang lebih gila lagi jika ini “mungkin” – menghancurkan penderitaan! Tampaknya, kita benar-benar hanya akan memperparah keadaan daripada sebelumnya.” Nietzche berpendapat bahwa menghancurkan saat-saat gelap itu tidak mungkin. Bahkan bisa dikatakan bahwa setiap upaya yang berkaitan dengan penghancuran penderitaan atau saat-saat gelap itu pada dasarnya merupakan tragedi yang justru akan memperparah keadaan. Gagasan Nietzche ini kiranya mirip dengan apa yang dipikirkan oleh Yesus. Dalam perumpamaan tentang ilalang dan gandum, para murid Yesus mengajukan pertanyaan berikut: “jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut ilalang itu? Yesus menjawab: “Jangan!
Ilalang dan gandum. Dua istilah yang bermaksud menggambarkan kejahatan dan kebaikan, penderitaan dan kebahagiaan, rasa nyeri dan rasa nikmat. Seperti digagas oleh Nietzche, Yesus pun tidak menghendaki agar ilalang itu dicabut begitu saja. Mengapa? Yesus berpikir demikian: “Sebab mungkin gandum itu akan ikut tercabut pada waktu kamu mencabut ilalang itu.” Dengan nada yang serupa Nietzche juga memberi alasan mengapa penghancuran penderitaan dan kegagalan itu justru merupakan tragedi. Nietzche mengatakan: “kebahagiaan dan penderitaan itu terkait sangat erat. Dengan kata lain “kebahagiaan dan penderitaan” itu sebenarnya merupakan dua sisi dari hal yang sama, dua sisi dari mata uang yang sama. Oleh karena itu, memperoleh yang satu – atau kebahagiaan atau penderitaan – berarti merasakan yang lain. Begitu juga sebaliknya, kehilangan yang satu – atau kebahagiaan atau penderitaan – berarti kehilangan yang lain. Dengan gagasan ini Nietzche hendak mengatakan bahwa memotong segala bentuk saat gelap begitu saja sebenarnya memiliki arti yang sama dengan mencabut tunas-tunas kebahagiaan.
Saat-saat gelap sampai pada batas tertentu memang dapat memunculkan keputusasaan dan ke-tak-bermaknaan hidup. Namun harus tetap dikatakan bahwa tanpa saat-saat gelap, maka saat-saat terang juga sulit untuk dimaknai. Sampai pada titik ini kita bisa melihat secara jelas relasi tak terpisahkan antara saat gelap dan saat terang. Keduanya tidak bisa saling meniadakan. Keduanya mempunyai arti jika berdiri berdampingan. Analogi yang barangkali sangat umum untuk menggambarkan kesatuan kedua saat ini adalah musik. Musik adalah paduan nada. Dengan itu hendak dikatakan bahwa nada, sejauh dia berdiri sendiri atau sejauh ada di dalam dirinya sendiri tidak bisa dikatakan sebagai musik, melainkan tetap sebagai dia yang adalah nada. “Do” akan tetap sebagai “do” sejauh dia berdiri sendiri. Begitu juga dengan re, mi, sol, dan seterusnya. Musik dikatakan sebagai “paduan” karena dia dihasilkan oleh dentuman atau rangkaian nada yang berbeda. Inilah musik. Dia ada karena perbedaan. Dia tercetus karena do, re, mi dan nada-nada yang lain itu berpadu. Dalam keterpaduan itu terlihat kebersamaan. Dalam kebersamaan itu lahirlah keharmonisan, keselarasan. Dalam keselarasan itu masing-masing nada lebur menjadi satu kesatuan. Dalam kesatuan itu tidak ada lagi do sebagaimana dia adalah do, tidak ada lagi re sebagaimana dia adalah re, dan seterusnya. Dan dalam peleburan diri itu terbersit secara jelas keindahan. Seperti musik inilah kiranya kesatuan antara saat gelap dan saat terang itu digambarkan. Kehidupan manusia tertata bagaikan harmoni di dalam dunia. Keberadaan manusia dipondasikan, baik oleh bunyi-bunyi sumbang maupun nada-nada yang berbeda: indah dan parau, tajam dan datar, lembut dan keras. Jika seorang musisi hanya mau menerima satu nada saja, apakah yang bisa ia nyanyikan?
Jelas hanya dengan satu nada tidak mungkin tercipta sebuah musik atau lagu. Oleh karena itu seorang musisi harus tahu bagaimana menggunakan semua nada yang ada dan mengolahnya bersama. Dengan demikian, harus ada saat gelap dan saat terang, harus ada kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan penderitaan, supaya hidup manusia semakin lengkap. Dalam hal ini Ayub menegaskan demikian: “kalau kita mau menerima yang baik dari Allah, mengapa kita tidak mau menerima yang buruk?” Segala pengalaman hidup kita – baik itu yang membahagiakan maupun yang menyakitkan – tak terlepaskan dari campur tangan Allah. Maka tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan untuk menerima pengalaman yang satu (kebahagiaan) dan menolak pengalaman yang lain (penderitaan). Kebahagiaan dan penderitaan, saat-saat gelap dan saat-saat terang, semuanya berasal dari Allah. Saat terang, saat-saat bahagia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Begitu juga saat-saat gelap, saat-saat menderita dan gagal merupakan sarana yang digunakan Allah untuk mendidik manusia menjadi insan yang dewasa. Kitab Amsal mengatakan: “Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayanginya”. Karena itu “berbahagialah manusia yang dihajar Allah, dan jangan menolak didikan Yang Mahakuasa”. Allah mencintai dan mendidik manusia bukan hanya melalui belaian dan teguran yang lembut, melainkan Allah juga mencintai dan mendidik manusia dengan “rotan”. Kitab Amsal mengatakan bahwa barangsiapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya akan menghajar dia pada waktunya”. Menggunakan tongkat – kekerasan, rasa sakit, nyeri dan menderita – bukanlah tanda benci, melainkan tanda kasih.
Lantas piranti apa yang harus kita miliki untuk mengolah saat-saat – terutama yang dimaksudkan adalah saat-saat gelap - dalam hidup kita? Dewasa ini masyarakat telah disadarkan oleh penemuan psikologi kontemporer, yaitu kecerdasan spiritual. Sebelumnya manusia begitu mendewakan kemampuan intelektual sebagai pondasi dan piranti pemaknaan hidup manusia. Menyusul kemudian masyarakat digemparkan oleh penemuan baru, yaitu kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan emosional hendak ditegaskan bahwa kemampuan intelektual ternyata belum merupakan bukti yang representatif bagi perkembangan manusia. Setelah kecerdasan emosional, psikologi kontemporer menemukan formulasi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan inilah yang hingga dewasa ini diyakini sebagai formula yang “pas” untuk merajut makna hidup manusia. Kecerdasan spiritual mendeklarasikan bahwa keutuhan hidup akan terjadi jika manusia mempunyai kemampuan untuk memformat dan mengintegrasikan segala pengalamannya dalam kerangka makna dan nilai yang lebih luas. Danah Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai hidup, bukan dalam horison teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku konkrit atau dalam hamparan tantangan nyata hidup sehari-hari. Misalnya di tengah-tengah krisis kesehatan, pekerjaan, kualitas lingkungan hidup, relasi sosial, ekonomi, politik, moral, intelektual, dan seterusnya. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengannya orang akan terbimbing untuk menyadari siapa dirinya, tujuan dan makna hidupnya, apa yang substansial dan eksistensial dalam hidupnya. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengannya orang diarahkan untuk memahami dunia dan maknanya serta di mana perannya dalam dunia itu. Dan akhirnya kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengan itu manusia akan diarahkan pada kehadiran Tuhan sebagai prinsip utama keutuhan dan kebahagiaan hidupnya. Unsur-unsur yang tercakup di dalam kecerdasan spiritual adalah cinta, doa dan keutamaan.

Cinta
Unsur paling mendasar dan yang menjadi tujuan tertinggi dari kecerdasan spiritual adalah cinta, yaitu cinta terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. Dari energi cinta itulah manusia akan melihat bahwa hidupnya bernilai, bermakna dan berharga. Dan karenanya patut dibanggakan dan dikagumi; patut digali dan dikembangkan. Dengan demikian energi cinta merupakan pendorong bagi individu untuk membangun rasa percaya diri dan memperdalam pengetahuan diri dengan segala kekayaan dan kemampuan yang ada di dalamnya. Pada titik inilah terlihat kekhasan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan integratif, yaitu kemampuan yang tidak mengekskludir kekayaan dan kemampuan manusia yang lain, misalnya kemampuan intelektual dan emosional. Sebaliknya kecerdasan spiritual selalu mendefinisikan dirinya sebagai kemampuan yang merangkul dan membangun kemampuan-kemampuan itu dalam konteks makna yang lebih luas.
Pertama-tama hal itu tertuang dalam kesadaran dan keterbukaan manusia akan realitas dirinya. Dan kemudian terejawantah dalam sikap-sikap baru dalam memandang orang lain. Dengan cinta orang akan sadar bahwa sesamanya adalah berharga. Dan dari disposisi ini kecerdasan spiritual yang terepresentasi dalam energi cinta akan mendesak manusia untuk berani terlibat dalam hidup orang lain. Intensinya adalah meningkatkan perkembangan dan kebahagiaan sejati orang lain dan bukan semata-mata demi kepentingan pribadi. Dengan cinta orang akan berani dan tulus mengesampingkan masalah-masalah pribadi, waktu, uang, tenaga untuk peduli kepada orang lain. Dengan cinta orang akan memiliki kesanggupan untuk menangani bermacam-macam stress dan dengan ceria terus membangun relasi dan gaya hidup yang bergairah. Dengan cinta orang juga akan menyingkirkan paradigma-paradigma sektarian, pembedaan ras, agama dan kepercayaan untuk membangun sebuah tatanan firdaus di muka bumi ini. Dengan cinta manusia akan menemukan bahwa hidupnya berharga dan bernilai. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk menjalin relasi personal. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk membangun persekutuan hidup. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk saling menerima dan membagikan kekayaan kebahagiaan.
Cinta juga merupakan jalan ke arah hati orang lain. Cinta adalah keutamaan yang dengannya manusia dimungkinkan untuk bertumbuh kembang dalam cita rasa hidup yang saling percaya, saling menghargai, dan saling menumbuhkan. Dan dalam iklim saling percaya dan saling menumbuhkan itulah seorang pribadi akan merasakan bahwa eksistensinya sebagai pribadi diterima oleh orang lain dan rasa harga diri manusia menjadi berkembang dengan sehat.
Cinta dengan demikian merupakan landasan yang paling mendasar, yang menyiapkan manusia untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang integral. Cinta sekaligus merupakan pondasi yang menyiapkan manusia untuk menatap masa depan hidupnya dengan wajah yang cerah tanpa bayang-bayang kecemasan. Mungkin - bahkan harus tetap diakui - segala persoalan hidup akan tetap menyertai eksistensi dan perwujudan diri manusia. Namun demikian dengan energi cinta sangatlah terbuka kemungkinan bahwa semua persoalan itu dapat diselaraskan dan dipadukan dalam skema hidup yang lebih integral.
Pada tataran yang lain cinta juga akan memformat manusia menjadi insan yang menghayati keindahan alam semesta. Dan karenanya ia akan mengembangkan seluruh kemampuannya untuk memperdalam pengetahuan tentang alam, membangun, mengolah dan melestarikan alam. Energi cinta yang tertuang dalam relasi manusiawi dan kosmis ini akan mempunyai daya yang semakin kuat untuk menumbuhkan makna dan nilai, jika manusia memiliki keberanian untuk mentransformasikan cinta itu ke dalam cinta Allah. Cinta Allah jauh lebih mengatasi cinta manusiawi karena hakekat Allah adalah Cinta. Manusia mempunyai kemampuan untuk mencintai juga karena Allah telah menanamkan di dalam hati manusia suatu impuls ke arah cinta. Oleh karena itu manusia - bahkan sejak saat pertama hidupnya - didiami oleh kelaparan akan cinta. Di sini Allah mengundang manusia untuk memasuki firdaus yang paling inti. Allah mengundang manusia untuk melepaskan kelaparannya akan cinta dengan masuk ke dalam persekutuan penuh cinta dengan Allah sendiri. Kepenuhan semacam inilah yang menjadi tujuan dari kecerdasan spiritual karena hanya di dalam persekutuan dengan Allah, manusia akan menemukan puncak dari humanismenya.

Doa
Cita rasa cinta yang mendalam - terhadap diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan - pada akhirnya akan menyadarkan manusia akan pentingnya menjalin relasi personal dengan Sang Cinta (Tuhan) itu sendiri. Orang akan sadar bahwa sebagaimana kepenuhan humanisme ditemukan dalam Tuhan, maka doa merupakan keutamaan yang meniscayakan manusia untuk tetap bertahan dalam kepenuhan itu. Doa merupakan ekspresi konkrit manusia untuk berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan. Doa berarti hadir bersama. Bukan pertama-tama dengan persoalan “mengapa” dan “untuk apa”, melainkan hanya untuk “ada bersama” karena saling mencintai, saling membuka dan menyerahkan diri.
Melalui kontemplasi semacam ini manusia dimungkinkan untuk semakin mengenal dan menjalin relasi personal dengan Tuhan, yaitu Tuhan yang hadir di pusat diri manusia itu sendiri dan yang mewahyukan diri di dalam segala sesuatu. Hingga akhirnya manusia mampu melihat segala sesuatu - dirinya, sesamanya, dan alam ciptaan - sebagai sakramen kehadiran Tuhan dan sebagai sesuatu yang menyingkapkan cinta Allah. Pada titik ini otentisitas penghayatan doa sungguh-sungguh merepresentasikan apa yang disuarakan oleh kecerdasan spiritual sebagai makna dan nilai, yaitu bertemu dengan Tuhan dan mencintaiNya dalam segala sesuatu dan mencintai segala sesuatu dalam Tuhan.


Keutamaan Hidup
Cinta dan doa sebagai piranti pencerdasan dimensi spiritual pada akhirnya merupakan pembentuk hidup yang sejati dalam kualitasnya sebagai keutamaan. Dalam skema pemahaman ini, keutamaan diartikan sebagai disposisi permanen dan dinamis dari kebebasan untuk menuju yang baik. Keutamaan bukanlah kumpulan perbuatan. Keutamaan adalah sikap dasariah - yang atas dasar kebebasan - mengorientasikan manusia untuk sesuatu yang baik. Keutamaan adalah kebebasan moral atau kebebasan demi yang baik yang menjadi gaya hidup. Ciri yang paling mendasar dari keutamaan adalah stabil, memiliki kontinuitas, dan kesegeraan untuk mengaktualkan maksud-maksud operatif dari nilai-nilai kebaikan bagi sesama.
Keutamaan bukanlah sesuatu yang secara ontologis sempurna sejak awal. Oleh karena itu untuk membentuk keutamaan menjadi disposisi yang permanen dan dinamis diperlukan pembiasaan. Berikut ini akan dipaparkan secara singkat dan rinci beberapa sikap yang perlu dikembangkan sebagai dasar pembangunan keutamaan. Dan dengan demikian juga merupakan sarana untuk mendulang kecerdasan spiritual. Pertama: kejujuran baik itu jujur kepada diri sendiri maupun jujur kepada sesama. Kedua: sikap otentik, yaitu sikap untuk berani menjadi diri sendiri atau sikap yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dan dengan paradigma yang sebenarnya. Ketiga: tanggung jawab, yaitu kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Keempat: kemandirian moral, yaitu kemandirian batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kelima: keberanian moral, yaitu tekad untuk tetap mempertahankan sikap moral yang telah diyakininya kendati itu tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungannya. Keenam: kerendahan hati, yaitu kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya.