Kamis, 28 Agustus 2008

HIDUP SEBAGAI MOZAIK

Manusia adalah baik
Tak dapat disangkal bahwa hidup manusia selalu diwarnai oleh aneka macam pengalaman. Pengalaman kegagalan, keberhasilan, menyenangkan, menyedihkan, suka cita, duka cita, dan lain sebagainya. Singkatnya, hidup manusia selalu diwarnai oleh dua nada dasar, yaitu nada “Yin” dan nada “Yang”; sisi buruk/jahat dan sisi baik.

Memang manusia pada dasarnya adalah baik. Manusia diciptakan oleh Allah pertama-tama sebagai itu yang baik, yang luhur. Dan itu berarti bahwa kebaikan adalah itu yang mencerminkan natura manusia; jati diri manusia. Namun demikian kita harus sadar bahwa di luar jati diri itu ternyata masih ada realitas yang lain, yaitu dosa. Dosa kalau dilihat dalam kaca mata tata penciptaan memang jelas bukan merupakan realitas dari kesejati-dirian manusia. Mengapa? Karena pada awalnya manusia hanya mempunyai satu karakter, yaitu kebaikan. Kalau demikian bagaimana realitas dosa itu harus dijelaskan? Dosa adalah ketertutupan hati manusia akan suara dan kehendak Allah. Dengan ini saya maksudkan bahwa dalam hidupnya manusia tidak mau lagi melihat Tuhan sebagai realitas yang melampaui dirinya, sebagai yang berkuasa, yang maha segalanya. Dosa berarti bahwa manusia terpaku pada keyakinan akan dirinya sendiri sebagai penentu nasib. Dan itu adalah kesombongan. Dengan demikian dosa pertama-tama adalah realitas hidup yang lahir dari atau karena kesombongan manusia. Yaitu kesombongan yang menjebak manusia dalam pen-tuhan-an diri.
Dosa pada dasarnya bukan jati diri manusia itu sendiri. Namun demikian tak dapat disangkal bahwa dosa telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jati diri manusia. Sato-santa pun mengakui hal ini. Hanya Yesus yang tidak termasuk dalam pernyataan ini. Ini kesadaran pertama yang harus selalu kita kedepankan. Kesadaran kedua adalah meskipun manusia tak terpisahkan dari realitas dosa, namun manusia pada inti kedalaman dirinya selalu mempunyai kecenderungan untuk mencari kebaikan. Dalam hal ini saya berani mengatakan, bahkan tak satu pun manusia di dunia ini yang mempunyai tujuan jahat dalam hidupnya. Tidak ada manusia yang “in se" adalah jahat. Penjahat yang paling jahat pun sebenarnya selalu mengupayakan yang baik, minimal baik menurut ukuran dirinya.

Menyusun mozaik
Kalau kita berani menginternalisasikan dan memperdalam keyakinan bahwa manusia adalah baik maka sebenarnya sudah tidak ada tempat lagi untuk kejahatan, keburukan atau semacamnya. Sebaliknya setiap peristiwa dan pengalaman – baik yang bernada “yin” atau bernada “yang” - selalu mempunyai makna dalam hidup kita.
Bagi saya sendiri hidup adalah aktivitas menyusun sebuah mozaik. Dalam konteks ini aneka pengalaman yang saya alami sebenarnya merupakan sisi-sisi dari pelbagai warna yang berbeda. Pegalaman pahit atau jelek atau semacamnya saya ibaratkan dengan warna hitam. Pengalaman sukses, gembira, bahagia dan semacamnya saya lambangkan dengan warna putih. Pengalaman-pengalaman yang lain sama halnya dengan warna kuning, biru, merah, dan lain sebagainya. Setiap warna merupakan bagian yang sangat menentukan dalam membentuk sebuah mozaik. Setiap warna mempunyai nilai untuk sebuah mozaik. Setiap warna dengan kekhasannya/keunikannya merupakan bagian yang akan memperindah dan memperkaya wajah sebuah mozaik. Hal yang sama juga berlaku dalam setiap delik perjalanan hidup kita. Setiap pengalaman dan peristiwa yang kita jumpai dan alami merupakan bagian-bagian yang ikut ambil bagian dalam menentukan keindahan dan mutu hidup kita. Setiap pengalaman dengan segala keunikannya merupakan pecahan-pecahan makna yang sangat berharga dalam menyusun kesempurnaan hidup kita.
Karena keterbatasan dan sempitnya cakrawala pandang kita terhadap hidup, sering kali memang muncul kecenderungan untuk menjauhi/menghindari setiap pengalaman yang menyakitkan. Bagi saya kecenderungan semacam itu adalah wajar. Saya katakan wajar karena sudah menjadi kehendak setiap manusia bahwa dirinya mengidealkan suatu kehidupan yang bahagia. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang menhendaki hidupnya dihimpit oleh pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. Tidak ada satu pun manusia yang menghendaki hidupnya menderita. Bagaimana dengan contoh para martir atau bahkan pengalaman Yesus sendiri? Apa artinya penderitaan para martir dan penderitaan Yesus? Jelas bahwa para martir, begitu juga Yesus, tidak melihat penderitaan dan siksaan badaniah pertama-tama sebagai tujuan, melainkan terutama penderitaan dan siksaan itu adalah sarana. Sarana apa? Yaitu sarana untuk mencapai kebahagiaan. Dengan kebahagiaan saya maksudkan sebagai sarana untuk memperoleh kemuliaan bersama Allah. Para martir dan Yesus sendiri sepenuhnya sadar bahwa hanya dengan jalan semacam itu maka kebahagiaan dapat dicapai. Jadi sangat jelas bahwa penderitaan bukanlah itu yang dikehendaki sebagai “in se”, melainkan sebagai jembatan untuk meraih tujuan hidup yang sempurna.
Penderitaan, kegagalan, pengalaman-pengalaman yang menyakitkan atau yang semacamnya itu memang merupakan bagian hidup yang tak akan terpisah dari keberadaan kita. Karena tak terpisahkan dari hidup maka sebenarnya sama sekali kita tidak dapat menghindarinya. Atau lebih tepat saya katakan kita tidak mungkin bisa melepaskan diri dari aneka pengalaman menyakitkan itu. Itu berarti setiap manusia pasti – dalam perjalanan hidupnya – akan bersentuhan dengan pengalaman pahit, pengalaman-pengalaman yang di luar kehendak kita. Dan dalam hal ini mau tidak mau kita harus menghadapinya. Lari atau menghindari aneka pengalaman – terutama pengalaman yang pahit, menyakitkan – sama artinya dengan lari dari diri kita sendiri. Mengapa? Karena pengalaman-pengalaman itu adalah bagian dari diri kita. Pengalaman-pengalaman itu adalah buah dari aktivitas hidup kita. Pengalaman-pengalaman itu adalah cermin dari wajah pribadi kita. Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk menghindari atau lari dari aneka pengalaman itu. Tidak ada alasan untuk melepaskan diri dari aneka pengalaman itu.
Nah, justru aneka persoalan hidup bersumber di sini. Yaitu dari soal bagaimana kita menyikapi aneka pengalaman yang menyakitkan, pengalaman kegagalan, pengalaman jatuh, pengalaman menyedihkan dan lain sebagainya. Kebanyakan orang – termasuk saya sendiri – sering terjebak dalam sebuah mentalitas yang mendangkal dalam melihat hidup. Hal ini terutama tercetus dalam reaksi-reaksi emosional kita terhadap aneka pengalaman jatuh. Bagaimana itu? Seringkali kita memberontak. Sering kali kita tidak bisa menerima kehadiran pengalaman-pengalaman itu. Sering kali kita mengutuk orang lain, sahabat-sahabat kita, orang tua kita, pimpinan kita dan lain sebagainya, sebagai sumber munculnya pengalaman-pengalaman pahit itu. Sering kali kita mengutuk Tuhan sebagai yang tidak adil, yang tidak mahakuasa, yang tidak mencintai kita. Sering kali kita menyalahkan diri kita sendiri sebagai orang yang tidak dewasa, yang tidak bisa memanajemen diri, sebagai orang yang …. dan seterusnya. Terhadap pengalaman-pengalaman menyakitkan, umpatan-umpatan semacam itulah yang sering keluar dari mulut, hati dan pikiran kita.
Akibat dari reaksi-reaksi semacam itu adalah kita justru akan semakin melihat diri kita, hidup kita, orang lain, dan bahkan Tuhan sendiri sebagai itu yang tidak ada artinya sama sekali. Kalau sampai hal ini terjadi maka kebenaran pepatah Jawa: “sudah jatuh tertimpa tangga” sungguh-sungguh berbicara dalam hidup kita.
Jelas bahwa sikap-sikap yang pesimis, yang negatif terhadap hidup tidak akan menambah apa-apa dalam proses tumbuh kembang hidup kita. Sebaliknya sikap-sikap tidak bisa menerima, memberontak, mengumpat, dan semacamnya itu justru akan semakin menjerumuskan kita dalam jurang terjal yang jauh lebih menyakitkan.
Karena itu dari pada energi kita tersedot habis oleh aneka ungkapan hati dan pikiran yang bernada pesimis dan negatif, alangkah baiknya kalau kita berani memutar arah pandang kita menuju haluan yang lain. Yaitu disposisi yang lebih bernada positif. Disposisi yang senantiasa mengedepankan keterbukaan hati dan pikiran terhadap aneka pengalaman hidup. Disposisi yang menjunjung tinggi aneka pergulatan hidup. Disposisi yang senantiasa sadar akan keunikan diri kita sendiri dan orang lain. Disposisi yang peka dan terbuka terhadap suara-suara Allah.
Alangkah bahagianya kita yang bisa tekun dalam komitmen semacam itu. Niscaya disposisi-disposisi yang terakhir ini akan membuahkan kebahagiaan dan kebebasan dalam hidup kita. Dalam kaca mata semacam itu semua pengalaman adalah bermakna. Itu berarti dalam hidup kita tidak ada tempat lagi bagi pengalaman-pengalaman yang menyakitkan, kegagalan dan seterusnya. Dan kalau hal ini terjadi betapa indah mozaik yang kita rangkai. Sungguh, mozaik itu akan terlihat sangat indah dan menyejukkan; memancarkan kedamaian dan keunikan bagi setiap mata yang memandangnya – termasuk mata kita sendiri.
Sekali lagi. Semua peristiwa dan pengalaman yang kita lihat dan alami selalu memancarkan sebuah makna. Bahkan peristiwa dan pengalaman sekecil apa pun. Bahkan juga pengalaman dan peristiwa yang paling menyakitkan. Semuanya mempunyai nilai. Semuanya merupakan modal untuk menumbuh-kembangkan pribadi kita sebagai manusia. Di dalam pengalaman dan peristiwa yang menyakitkan, pengalaman jatuh, pengalaman dosa, dan semacamnya, selalu terkandung makna dan nilai-nilai kebahagiaan, keleluasaan, kebebasan.

Tuhan….
Betapa selama ini ada banyak hal dalam hidupku
Yang telah aku sia-siakan
Aku lewatkan begitu saja
Tidak aku hiraukan
Aku remehkan
Aku anggap tidak bernilai
Aku lihat sebagai yang tak bermakna
Yang hanya membebani diriku,
Kebebasanku, perkembanganku, jati diriku,
Harga diriku, panggilanku

Tuhan….
Betapa mendangkal pikiran dan hatiku selama ini
Betapa sebuah kesia-siaan yang kulakukan selama ini
Yah … sebuah kesia-siaan
Aku sering takut menatap kegagalan,
Aku sering tidak siap menerima pengalaman jatuh,
Aku sering berusaha lari dari persoalan hidup
Sunggguh …
Ternyata aku telah menyia-nyiakan banyak hal
Ternyata aku sering melihat banyak hal sebagai yang sia-sia

Tuhan …
Sekarang aku sadar …
Bahwa di hadapan-Mu semuanya adalah bermakna
Bagi diriku, sesamaku dan Engkau sendiri
Bahkan hal yang paling kecil sekali pun
Semuanya bernilai
Engkau sendiri berkata:
“jika kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi,
Engkau bisa memindahkan gunung ini”
Biji sesawi … bukankan itu adalah biji yang tekecil
Yah, yang terkecil dari yang terkecil
Namun, yang terkecil bagi-Mu
Adalah syarat untuk melakukan yang terbesar

Tuhan …
Aku tidak mau lagi kehilangan
Bahkan titik sekecil apa pun dalam hidupku
Tidak ingin aku lewatkan

Tuhan …
Aku yakin bahwa semua pengalaman dan peristiwa
Adalah permata bagi hidupku
Hidup panggilanku

Tuhan …
Engkau telah membuka mata hatiku
Yang selama ini buta sama sekali
Syukur ya Tuhan atas semuanya itu
Sungguh inilah sebenarnya yang aku cari selama ini
Pencarian makna dan mutu hidup yang mendalam
Dan kini Engkau telah membuka jalan
Bagi pencarianku itu.

Tuhan …
Sekarang aku mohon terang Roh Kudus-Mu
Untuk menuntun hidupku
Untuk menuangkan apa yang telah Kauberikan ini
Dalam hidup keseharianku
Demi perkembangan diriku, sesamaku
Dan demi keluhuran nama-Mu. Amin.


Disposisi sebagai tanah: syarat untuk bisa melihat hidup sebagai mozaik
1. Menerima apa saja
Bagi sebuah tanah segala sesuatu bisa diterima. Seandainya yang diberikan kepadanya adalah sebuah pupuk, tentu tanah akan merasa sangat bersyukur. Mengapa? Tentu saja karena pupuk akan membuat dirinya semakin tumbuh subur. Namun seandainya yang ada adalah kotoran, yah kotoran apa pun, maka itupun juga akan diterima dengan tangan yang terbuka. Tanpa menolak. Tanpa memberontak. Itu berarti disposisi yang senantiasa dikedepankan oleh sebuah tanah adalah disposisi yang terbuka terhadap apa saja yang ia terima.
Pertama-tama sebuah tanah akan menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Seandainya itu adalah sebuah pupuk, maka ia akan menerimanya sebagai pupuk. Dan seandainya itu adalah sebuah kotoran, maka ia juga akan menerimanya sebagai kotoran. Yang penting adalah bahwa semuanya diterima. Tanpa membeda-bedakan apakah itu pupuk atau kotoran.
Pada tahap selanjutnya – dan ini adalah yang terpenting bagi sebuah disposisi - yang dilakukan oleh tanah adalah mengolah apa yang ia terima itu. Seandainya ia menerima pupuk maka ia akan langsung menggunakannya sebagai itu yang akan mempersubur dirinya. Nah bagaimana jika yang ia terima adalah sebuah kotoran? Jawabannya sama. Ia pun akan mengolahnya menjadi sebuah pupuk yang akan mempersubur dirinya. Kalau demikian adanya, maka bagi sebuah tanah sebuah kotoran maupun pupuk mempunyai makna yang sama, yaitu sebagai itu yang akan mempersubur dirinya. Oleh karena itulah dalam sebuah pemahaman makna, tanah tidak pernah membeda-bedakan apakah itu kotoran atau pupuk. Tanah tidak pernah berpikir seperti demikian: “karena itu adalah pupuk maka saya terima. Dan karena itu kotoran maka itu akan saya tolak”. Sebaliknya jalan pikiran sebuah tanah selalu demikian: “saya akan sangat bersyukur seandainya yang saya terima adalah sebuah pupuk karena darinyalah aku memperoleh bahan untuk menyuburkan diri. Namun seandainya yang aku terima adalah kotoran, disposisi yang sama pun akan aku terapkan, karena pada akhirnya – setelah melalui pengolahan yang (mungkin) panjang – kotoran itu pun akan menjadi sebuah pupuk”.
Beberapa hal di atas – tentang disposisi tanah – pada akhirnya memberi inspirasi pada saya soal proses tumbuh kembang kepribadian. Seperti halnya tanah, yang bertumbuh kembang menjadi lahan yang subur dengan cara membuka diri dan mengolah segala yang ia terima, demikian juga dengan pribadi manusia. Saya mempunyai keyakinan bahwa jika kita berani mengedepankan sikap menerima dan terbuka terhadap realitas – diri kita, sesama kita dan Tuhan sendiri – maka niscaya kesejatian diri kita juga akan bertumbuh kembang dengan baik.

2. Sadar akan keterbatasan diri
Bagaimana kalau seandainya - baik kotoran atau pupuk - setelah diterima ternyata tidak bisa diolah, dan dengan demikian berarti tidak akan membuat dirinya subur? Kita harus sadar bahwa apapun yang ada di dunia ini mempunyai keterbatasan. Tanah pun tak luput dari kenyataan itu. Dia memang mempunyai sifat yang terbuka untuk menerima segala hal. Namun ternyata juga tidak semua hal bisa ia olah menjadi sesuatu yang membuat dirinya subur. Di hadapan jenis-jenis plastik, kaca, batu, dan semacamnya tanah tidak mampu berbuat apa-apa. Lalu kita harus bagaimana? Apakah sikap terbuka atau menerima itu masih relevan; masih harus terus dikedepankan?
Bagi saya disposisi yang terbuka dan mau menerima realitas tetap harus dikedepankan? Mengapa? Karena justru dengan keterbukaan semacam itu kita akan semakin sadar bahwa kita ini terbatas; bahwa ternyata ada banyak hal yang berada di luar kemampuan saya. Dan kesadaran akan keterbatasan ini pada akhirnya juga akan membuka kesadaran baru dalam diri kita, yaitu bahwa untuk mencapai kesempurnaan diri, kita mau tidak mau memerlukan uluran tangan dari yang lain, yaitu sesama kita dan terutama Tuhan sendiri.

3. Menggantungkan diri pada yang lain
Ternyata tidak semua hal bisa kita lakukan sendiri. Itu karena kita adalah makluk yang terbatas. Kesadaran bahwa kita adalah makluk yang terbatas pada akhirnya akan membuka mata hati kita bahwa ternyata kita tergantung pada yang lain di luar diri kita, yaitu sesama kita dan terutama Tuhan sendiri. Plastik, kaca, dan segala macam yang tidak bisa diolah oleh tanah akan selamanya menjadi kaca, plastik jika tidak ada uluran tangan dari yang lain. Misalnya tanah memerlukan api untuk membuat pelbagai plastik itu terbakar dan dengan demikian menjadi sesuatu yang bisa dicerna oleh tanah itu sendiri. Tanah memerlukan air atau hujan untuk membusukkan pelbagai sampah yang tak terurai sehingga menjadi sesuatu yang terolah oleh tanah. Tanah memerlukan manusia untuk memindahkan pelbagai jenis kaca dari tanah sehingga tanah tidak memiliki halangan lagi untuk menyuburkan diri.
Dan sesuatu yang tak terolah pada gilirannya akan mengancam kesuburan tanah itu sendiri “jika tidak dibantu” oleh yang lain. Saya katakan “jika tidak dibantu” karena jelas tanah itu dari dalam dirinya sendiri sudah tidak mungkin mengangkat pelbagai hal yang tak terolah itu. Dengan demikian semakin niscaya bahwa keterbatasan merupakan indikasi bahwa kita selalu memerlukan yang lain, sesama kita dan Tuhan sendiri.

4. Siap diolah
Hanya karena disposisi bahwa kita tergantung pada sesama dan Tuhan inilah maka kita juga akan berani menempatkan diri sebagai yang siap diolah oleh yang lain. Tanah betapa pun mempunyai disposisi terbuka dan menerima terhadap apa saja, tetap masih memerlukan disposisi ini, yaitu membuka diri terhadap peran orang lain sebagai yang mengolah dia. Hal yang sama juga berlaku bagi perkembangan hidup manusia. Manusia akan tetap terjebak dan mentalitas yang mendangkal, kalau tidak berani mengedepankan wacana bahwa orang lain sangat berperan dalam membentuk dirinya.

5. Kemauan mengolah diri
Benar bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Benar bahwa manusia memerlukan orang lain dan Tuhan untuk berjalan menuju otentisitas dirinya. Namun satu hal harus tetap menjadi keyakinan. Yaitu meskipun dia terbatas dan selalu memerlukan orang lain, manusia tetap adalah dirinya sendiri. Manusia adalah subjek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain di tengah-tengah ketergantungannya pada yang lain, manusia bukanlah yang lain itu.
Oleh karena itu disposisi bahwa kita tergantung oleh orang lain dan Tuhan sama sekali tidak boleh menegasi realitas bahwa kita adalah subjek bagi perjalanan hidup kita. Peran orang lain dan Tuhan dalam hidup kita selalu bernada mengajak, menunjukkan jalan yang benar, menunjukkan pelbagai kesesatan, dan lain sebagainya. Namun yang berperan dalam pengolahan adalah diri kita sendiri. Sangat mungkin orang lain dan Tuhan dengan sekuat tenaga membantu kita untuk keluar dari pelbagai kelemahan. Namun kalau kita – dari dalam diri kita sendiri – tidak mempunyai kehendak yang kuat untuk keluar dari kelemahan itu, maka semua bantuan dan uluran tangan itu juga akan sia-sia. Dan kita akan tetap menjadi manusia yang gersang, yang tidak siap ditanami, yang tidak berkembang. Hanya dengan disposisi proaktif kita dapat bertumbuh-kembang secara sempurna. Hanya dengan kekokohan kehendak dan komitmen untuk mengolah diri kita dapat menemukan jati diri kita sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar