Kamis, 28 Agustus 2008

MEMUPUK SIKAP SYUKUR

Bersyukur bukanlah sikap yang instan, sekali jadi. Bersyukur merupakan sikap yang mengandaikan pergulatan terus menerus sepanjang hidup. Jangan dikira kalau orang sudah mahir berkotbah atau berkata-kata tentang sikap syukur, maka ia adalah orang yang telah hidup dalam bingkai sikap syukur. Jangan pula dikira kalau orang sudah lancar menuliskan seluk beluk sikap syukur, maka ia adalah orang yang tidak lagi bergulat dalam memupuk sikap syukur. Bersyukur sama sekali tidak identik dengan sekedar kata dan tulisan. Bersyukur adalah sikap hidup yang memerlukan latihan dan pendalaman secara terus menerus sepanjang hidup manusia.
Pola atau skema yang biasanya digunakan untuk melihat kedalaman sikap syukur adalah: doa – aksi – refleksi. Tiga hal ini merupakan cara dan sarana yang paling sederhana untuk membangun sikap syukur. Mengapa harus dengan doa, aksi, dan refleksi? Karena sikap syukur adalah sikap yang lahir dari kehidupan nyata. Pengetahuan dan wawasan tentang sikap syukur bisa kita peroleh dari buku atau dari orang lain. Akan tetapi pribadi yang bersyukur hanya kita peroleh kalau kita bergulat sendiri; mengalami sendiri. Tidak ada cara lain atau pilihan lain di luar itu. Ya, kita akan berubah menjadi seorang pribadi yang bersyukur kalau kita memiliki keberanian untuk berhadapan secara langsung dengan kehidupan. Apa maksudnya? Hidup manusia berada dalam lingkaran relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Tuhan. Maka kalau dikatakan bahwa kita harus berani berhadapan dengan kehidupan, itu berarti kita harus berani untuk meniscayakan kedalaman relasi dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Tuhan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar