Kamis, 28 Agustus 2008

MEMAKNAI SAAT-SAAT GELAP

Jika kita menengadah ke langit di waktu malam, kita akan melihat bahwa SEMAKIN GELAP langit, SEMAKIN TERANG kelihatan bintang-bintangnya. Mengapa kita tidak dapat melihat bintang di waktu siang hari? Bukankah bintang ada di sana? Bintang tidak kelihatan karena cahaya Matahari terlalu kuat sehingga "melenyapkan" bintang dari pandangan.
"Kegelapan diperlukan untuk melahirkan bintang!"
(dari buku Berani Gagal)

Saat-saat gelap. Sebuah ungkapan yang sangat akrab untuk membahasakan secara lain istilah kegagalan, penderitaan, kesakitan, rasa nyeri yang mendalam, kegundahan hati, kekecewaan, kejatuhan, sakit hati, perasaan terpinggirkan oleh orang lain, perasaan dilecehkan oleh orang lain, perasaan tidak dihargai oleh sesama, dan semacamnya. Sudah barang tentu, dari kedalaman inti dirinya sendiri, tak seorang pun mengharapkan saat-saat itu hadir dan menguasai hidup dan perjalannya. Sekiranya ada jalan alternatif atau sekiranya dimungkinkan untuk menikmati keindahan bintang di siang hari, maka setiap orang pasti akan memilih jalan alternatif ini. Setiap orang menginginkan sebuah hidup yang bahagia, aman, tenteram dan damai, tanpa – kalau bisa atau mungkin – harus melewati lembah-lembah kegagalan, penderitaan, kekecewaan dan seterusnya.
Yesus – sebagai manusia seperti kita – juga tak terlepaskan dari dambaan itu. Kita tahu – tentu saja kalau pernah membaca Injil – bahwa ketika hendak menderita di salib, Yesus berkata kepada BapaNya: “sekiranya cawan ini berlalu dari padaKu ....”. Cawan dalam bahasa Kitab Suci merupakan simbol penderitaan, simbol saat gelap dalam hidup manusia. Maka kalau Yesus berkata “sekiranya cawan ini berlalu dari padaKu”, itu berarti Yesus menghendaki agar penderitaan atau saat-saat gelap itu berlalu dari diriNya. Yesus menghendaki agar diriNya terbebas dari penderitaan. Jeritan hati Yesus ini kiranya dapat dilihat sebagai representasi kecenderungan manusia pada umumnya yang “enggan” atau bahkan dengan tegas menolak setiap pengalaman gagal dan jatuh. Tetapi mungkinkah saat-saat gelap itu bisa dihindari oleh manusia? Mungkinkah manusia menikmati bintang tanpa harus ada kegelapan? Mungkinkah manusia mencapai kebahagiaan tanpa harus melewati kegagalan, penderitaan, dan perjuangan?
Mari kita runut jawabannya dengan belajar dari beberapa pemikir seperti Frederich Nietzche, Yesus, Salomo, dan Ayub. Tentang penderitaan, Nietzche – seorang Filosof Jerman - berkata demikian: “Andaikan bisa, kamu pasti ingin – dan tiada yang lebih gila lagi jika ini “mungkin” – menghancurkan penderitaan! Tampaknya, kita benar-benar hanya akan memperparah keadaan daripada sebelumnya.” Nietzche berpendapat bahwa menghancurkan saat-saat gelap itu tidak mungkin. Bahkan bisa dikatakan bahwa setiap upaya yang berkaitan dengan penghancuran penderitaan atau saat-saat gelap itu pada dasarnya merupakan tragedi yang justru akan memperparah keadaan. Gagasan Nietzche ini kiranya mirip dengan apa yang dipikirkan oleh Yesus. Dalam perumpamaan tentang ilalang dan gandum, para murid Yesus mengajukan pertanyaan berikut: “jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut ilalang itu? Yesus menjawab: “Jangan!
Ilalang dan gandum. Dua istilah yang bermaksud menggambarkan kejahatan dan kebaikan, penderitaan dan kebahagiaan, rasa nyeri dan rasa nikmat. Seperti digagas oleh Nietzche, Yesus pun tidak menghendaki agar ilalang itu dicabut begitu saja. Mengapa? Yesus berpikir demikian: “Sebab mungkin gandum itu akan ikut tercabut pada waktu kamu mencabut ilalang itu.” Dengan nada yang serupa Nietzche juga memberi alasan mengapa penghancuran penderitaan dan kegagalan itu justru merupakan tragedi. Nietzche mengatakan: “kebahagiaan dan penderitaan itu terkait sangat erat. Dengan kata lain “kebahagiaan dan penderitaan” itu sebenarnya merupakan dua sisi dari hal yang sama, dua sisi dari mata uang yang sama. Oleh karena itu, memperoleh yang satu – atau kebahagiaan atau penderitaan – berarti merasakan yang lain. Begitu juga sebaliknya, kehilangan yang satu – atau kebahagiaan atau penderitaan – berarti kehilangan yang lain. Dengan gagasan ini Nietzche hendak mengatakan bahwa memotong segala bentuk saat gelap begitu saja sebenarnya memiliki arti yang sama dengan mencabut tunas-tunas kebahagiaan.
Saat-saat gelap sampai pada batas tertentu memang dapat memunculkan keputusasaan dan ke-tak-bermaknaan hidup. Namun harus tetap dikatakan bahwa tanpa saat-saat gelap, maka saat-saat terang juga sulit untuk dimaknai. Sampai pada titik ini kita bisa melihat secara jelas relasi tak terpisahkan antara saat gelap dan saat terang. Keduanya tidak bisa saling meniadakan. Keduanya mempunyai arti jika berdiri berdampingan. Analogi yang barangkali sangat umum untuk menggambarkan kesatuan kedua saat ini adalah musik. Musik adalah paduan nada. Dengan itu hendak dikatakan bahwa nada, sejauh dia berdiri sendiri atau sejauh ada di dalam dirinya sendiri tidak bisa dikatakan sebagai musik, melainkan tetap sebagai dia yang adalah nada. “Do” akan tetap sebagai “do” sejauh dia berdiri sendiri. Begitu juga dengan re, mi, sol, dan seterusnya. Musik dikatakan sebagai “paduan” karena dia dihasilkan oleh dentuman atau rangkaian nada yang berbeda. Inilah musik. Dia ada karena perbedaan. Dia tercetus karena do, re, mi dan nada-nada yang lain itu berpadu. Dalam keterpaduan itu terlihat kebersamaan. Dalam kebersamaan itu lahirlah keharmonisan, keselarasan. Dalam keselarasan itu masing-masing nada lebur menjadi satu kesatuan. Dalam kesatuan itu tidak ada lagi do sebagaimana dia adalah do, tidak ada lagi re sebagaimana dia adalah re, dan seterusnya. Dan dalam peleburan diri itu terbersit secara jelas keindahan. Seperti musik inilah kiranya kesatuan antara saat gelap dan saat terang itu digambarkan. Kehidupan manusia tertata bagaikan harmoni di dalam dunia. Keberadaan manusia dipondasikan, baik oleh bunyi-bunyi sumbang maupun nada-nada yang berbeda: indah dan parau, tajam dan datar, lembut dan keras. Jika seorang musisi hanya mau menerima satu nada saja, apakah yang bisa ia nyanyikan?
Jelas hanya dengan satu nada tidak mungkin tercipta sebuah musik atau lagu. Oleh karena itu seorang musisi harus tahu bagaimana menggunakan semua nada yang ada dan mengolahnya bersama. Dengan demikian, harus ada saat gelap dan saat terang, harus ada kebaikan dan kejahatan, kebahagiaan dan penderitaan, supaya hidup manusia semakin lengkap. Dalam hal ini Ayub menegaskan demikian: “kalau kita mau menerima yang baik dari Allah, mengapa kita tidak mau menerima yang buruk?” Segala pengalaman hidup kita – baik itu yang membahagiakan maupun yang menyakitkan – tak terlepaskan dari campur tangan Allah. Maka tidak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan untuk menerima pengalaman yang satu (kebahagiaan) dan menolak pengalaman yang lain (penderitaan). Kebahagiaan dan penderitaan, saat-saat gelap dan saat-saat terang, semuanya berasal dari Allah. Saat terang, saat-saat bahagia adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Begitu juga saat-saat gelap, saat-saat menderita dan gagal merupakan sarana yang digunakan Allah untuk mendidik manusia menjadi insan yang dewasa. Kitab Amsal mengatakan: “Tuhan menghajar orang yang dikasihiNya, seperti seorang ayah kepada anak yang disayanginya”. Karena itu “berbahagialah manusia yang dihajar Allah, dan jangan menolak didikan Yang Mahakuasa”. Allah mencintai dan mendidik manusia bukan hanya melalui belaian dan teguran yang lembut, melainkan Allah juga mencintai dan mendidik manusia dengan “rotan”. Kitab Amsal mengatakan bahwa barangsiapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya akan menghajar dia pada waktunya”. Menggunakan tongkat – kekerasan, rasa sakit, nyeri dan menderita – bukanlah tanda benci, melainkan tanda kasih.
Lantas piranti apa yang harus kita miliki untuk mengolah saat-saat – terutama yang dimaksudkan adalah saat-saat gelap - dalam hidup kita? Dewasa ini masyarakat telah disadarkan oleh penemuan psikologi kontemporer, yaitu kecerdasan spiritual. Sebelumnya manusia begitu mendewakan kemampuan intelektual sebagai pondasi dan piranti pemaknaan hidup manusia. Menyusul kemudian masyarakat digemparkan oleh penemuan baru, yaitu kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan emosional hendak ditegaskan bahwa kemampuan intelektual ternyata belum merupakan bukti yang representatif bagi perkembangan manusia. Setelah kecerdasan emosional, psikologi kontemporer menemukan formulasi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan spiritual. Kecerdasan inilah yang hingga dewasa ini diyakini sebagai formula yang “pas” untuk merajut makna hidup manusia. Kecerdasan spiritual mendeklarasikan bahwa keutuhan hidup akan terjadi jika manusia mempunyai kemampuan untuk memformat dan mengintegrasikan segala pengalamannya dalam kerangka makna dan nilai yang lebih luas. Danah Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai hidup, bukan dalam horison teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku konkrit atau dalam hamparan tantangan nyata hidup sehari-hari. Misalnya di tengah-tengah krisis kesehatan, pekerjaan, kualitas lingkungan hidup, relasi sosial, ekonomi, politik, moral, intelektual, dan seterusnya. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengannya orang akan terbimbing untuk menyadari siapa dirinya, tujuan dan makna hidupnya, apa yang substansial dan eksistensial dalam hidupnya. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengannya orang diarahkan untuk memahami dunia dan maknanya serta di mana perannya dalam dunia itu. Dan akhirnya kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang dengan itu manusia akan diarahkan pada kehadiran Tuhan sebagai prinsip utama keutuhan dan kebahagiaan hidupnya. Unsur-unsur yang tercakup di dalam kecerdasan spiritual adalah cinta, doa dan keutamaan.

Cinta
Unsur paling mendasar dan yang menjadi tujuan tertinggi dari kecerdasan spiritual adalah cinta, yaitu cinta terhadap diri sendiri, sesama, alam semesta dan Tuhan. Dari energi cinta itulah manusia akan melihat bahwa hidupnya bernilai, bermakna dan berharga. Dan karenanya patut dibanggakan dan dikagumi; patut digali dan dikembangkan. Dengan demikian energi cinta merupakan pendorong bagi individu untuk membangun rasa percaya diri dan memperdalam pengetahuan diri dengan segala kekayaan dan kemampuan yang ada di dalamnya. Pada titik inilah terlihat kekhasan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan integratif, yaitu kemampuan yang tidak mengekskludir kekayaan dan kemampuan manusia yang lain, misalnya kemampuan intelektual dan emosional. Sebaliknya kecerdasan spiritual selalu mendefinisikan dirinya sebagai kemampuan yang merangkul dan membangun kemampuan-kemampuan itu dalam konteks makna yang lebih luas.
Pertama-tama hal itu tertuang dalam kesadaran dan keterbukaan manusia akan realitas dirinya. Dan kemudian terejawantah dalam sikap-sikap baru dalam memandang orang lain. Dengan cinta orang akan sadar bahwa sesamanya adalah berharga. Dan dari disposisi ini kecerdasan spiritual yang terepresentasi dalam energi cinta akan mendesak manusia untuk berani terlibat dalam hidup orang lain. Intensinya adalah meningkatkan perkembangan dan kebahagiaan sejati orang lain dan bukan semata-mata demi kepentingan pribadi. Dengan cinta orang akan berani dan tulus mengesampingkan masalah-masalah pribadi, waktu, uang, tenaga untuk peduli kepada orang lain. Dengan cinta orang akan memiliki kesanggupan untuk menangani bermacam-macam stress dan dengan ceria terus membangun relasi dan gaya hidup yang bergairah. Dengan cinta orang juga akan menyingkirkan paradigma-paradigma sektarian, pembedaan ras, agama dan kepercayaan untuk membangun sebuah tatanan firdaus di muka bumi ini. Dengan cinta manusia akan menemukan bahwa hidupnya berharga dan bernilai. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk menjalin relasi personal. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk membangun persekutuan hidup. Di dalam cinta manusia dimungkinkan untuk saling menerima dan membagikan kekayaan kebahagiaan.
Cinta juga merupakan jalan ke arah hati orang lain. Cinta adalah keutamaan yang dengannya manusia dimungkinkan untuk bertumbuh kembang dalam cita rasa hidup yang saling percaya, saling menghargai, dan saling menumbuhkan. Dan dalam iklim saling percaya dan saling menumbuhkan itulah seorang pribadi akan merasakan bahwa eksistensinya sebagai pribadi diterima oleh orang lain dan rasa harga diri manusia menjadi berkembang dengan sehat.
Cinta dengan demikian merupakan landasan yang paling mendasar, yang menyiapkan manusia untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang integral. Cinta sekaligus merupakan pondasi yang menyiapkan manusia untuk menatap masa depan hidupnya dengan wajah yang cerah tanpa bayang-bayang kecemasan. Mungkin - bahkan harus tetap diakui - segala persoalan hidup akan tetap menyertai eksistensi dan perwujudan diri manusia. Namun demikian dengan energi cinta sangatlah terbuka kemungkinan bahwa semua persoalan itu dapat diselaraskan dan dipadukan dalam skema hidup yang lebih integral.
Pada tataran yang lain cinta juga akan memformat manusia menjadi insan yang menghayati keindahan alam semesta. Dan karenanya ia akan mengembangkan seluruh kemampuannya untuk memperdalam pengetahuan tentang alam, membangun, mengolah dan melestarikan alam. Energi cinta yang tertuang dalam relasi manusiawi dan kosmis ini akan mempunyai daya yang semakin kuat untuk menumbuhkan makna dan nilai, jika manusia memiliki keberanian untuk mentransformasikan cinta itu ke dalam cinta Allah. Cinta Allah jauh lebih mengatasi cinta manusiawi karena hakekat Allah adalah Cinta. Manusia mempunyai kemampuan untuk mencintai juga karena Allah telah menanamkan di dalam hati manusia suatu impuls ke arah cinta. Oleh karena itu manusia - bahkan sejak saat pertama hidupnya - didiami oleh kelaparan akan cinta. Di sini Allah mengundang manusia untuk memasuki firdaus yang paling inti. Allah mengundang manusia untuk melepaskan kelaparannya akan cinta dengan masuk ke dalam persekutuan penuh cinta dengan Allah sendiri. Kepenuhan semacam inilah yang menjadi tujuan dari kecerdasan spiritual karena hanya di dalam persekutuan dengan Allah, manusia akan menemukan puncak dari humanismenya.

Doa
Cita rasa cinta yang mendalam - terhadap diri sendiri, sesama, alam dan Tuhan - pada akhirnya akan menyadarkan manusia akan pentingnya menjalin relasi personal dengan Sang Cinta (Tuhan) itu sendiri. Orang akan sadar bahwa sebagaimana kepenuhan humanisme ditemukan dalam Tuhan, maka doa merupakan keutamaan yang meniscayakan manusia untuk tetap bertahan dalam kepenuhan itu. Doa merupakan ekspresi konkrit manusia untuk berkomunikasi dan berdialog dengan Tuhan. Doa berarti hadir bersama. Bukan pertama-tama dengan persoalan “mengapa” dan “untuk apa”, melainkan hanya untuk “ada bersama” karena saling mencintai, saling membuka dan menyerahkan diri.
Melalui kontemplasi semacam ini manusia dimungkinkan untuk semakin mengenal dan menjalin relasi personal dengan Tuhan, yaitu Tuhan yang hadir di pusat diri manusia itu sendiri dan yang mewahyukan diri di dalam segala sesuatu. Hingga akhirnya manusia mampu melihat segala sesuatu - dirinya, sesamanya, dan alam ciptaan - sebagai sakramen kehadiran Tuhan dan sebagai sesuatu yang menyingkapkan cinta Allah. Pada titik ini otentisitas penghayatan doa sungguh-sungguh merepresentasikan apa yang disuarakan oleh kecerdasan spiritual sebagai makna dan nilai, yaitu bertemu dengan Tuhan dan mencintaiNya dalam segala sesuatu dan mencintai segala sesuatu dalam Tuhan.


Keutamaan Hidup
Cinta dan doa sebagai piranti pencerdasan dimensi spiritual pada akhirnya merupakan pembentuk hidup yang sejati dalam kualitasnya sebagai keutamaan. Dalam skema pemahaman ini, keutamaan diartikan sebagai disposisi permanen dan dinamis dari kebebasan untuk menuju yang baik. Keutamaan bukanlah kumpulan perbuatan. Keutamaan adalah sikap dasariah - yang atas dasar kebebasan - mengorientasikan manusia untuk sesuatu yang baik. Keutamaan adalah kebebasan moral atau kebebasan demi yang baik yang menjadi gaya hidup. Ciri yang paling mendasar dari keutamaan adalah stabil, memiliki kontinuitas, dan kesegeraan untuk mengaktualkan maksud-maksud operatif dari nilai-nilai kebaikan bagi sesama.
Keutamaan bukanlah sesuatu yang secara ontologis sempurna sejak awal. Oleh karena itu untuk membentuk keutamaan menjadi disposisi yang permanen dan dinamis diperlukan pembiasaan. Berikut ini akan dipaparkan secara singkat dan rinci beberapa sikap yang perlu dikembangkan sebagai dasar pembangunan keutamaan. Dan dengan demikian juga merupakan sarana untuk mendulang kecerdasan spiritual. Pertama: kejujuran baik itu jujur kepada diri sendiri maupun jujur kepada sesama. Kedua: sikap otentik, yaitu sikap untuk berani menjadi diri sendiri atau sikap yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya dan dengan paradigma yang sebenarnya. Ketiga: tanggung jawab, yaitu kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Keempat: kemandirian moral, yaitu kemandirian batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kelima: keberanian moral, yaitu tekad untuk tetap mempertahankan sikap moral yang telah diyakininya kendati itu tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungannya. Keenam: kerendahan hati, yaitu kekuatan batin untuk melihat diri sesuai dengan kenyataannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar