Jumat, 29 Agustus 2008

KRASAN DENGAN DIRI SENDIRI

Krasan dengan diri sendiri itu dapat kita analogikan dengan suasana hidup kita sehari-hari dalam keluarga. Orang yang krasan, yang merasa damai dengan keluarga pasti akan betah untuk tinggal di rumah. Orang yang krasan dan damai dengan kaluarga pasti akan bahagia dengan kebersamaan dalam keluarga. Orang yang krasan dan damai dengan keluarga pasti akan saling mencintai dan memperhatikan satu dengan lain, bersikap simpatik dengan anggota keluarga yang lain, rela berkorban untuk yang lain, dan lain sebagainya. Sebaliknya: Apa yang terjadi kalau kondisi keluarga kita tidak beres? Apa yang terjadi kalau setiap hari terjadi pertengkaran dalam keluarga? Apa yang terjadi jika kondisi rumah kita secara fisik memprihatinkan? Dan seterusnya??? Yang jelas dalam situasi semacam itu tidak akan ada kedamaian.
Lantas, kalau di dalam keluarga tidak ada kedamaian, yang terjadi adalah kita akan cenderung untuk melepaskan diri dari kehidupan keluarga. Orang akan cenderung mencari kepuasan, kesenangan di luar lingkungan keluarganya. Entah itu dengan menghabiskan waktu di rumah teman, dengan berlama-lama di mall, dan semacamnya. Intinya kalau kita tidak krasan dalam keluarga pasti akan muncul di dalam diri kita pemberontakan. Selagi kita memiliki tenaga dan kemauan untuk melawan kondisi itu kita akan berjuang, tetapi tatkala tenaga itu tidak ada lagi dan kemauan di dalam diri kita mulai luntur maka akan muncul di dalam diri kita kecenderungan untuk lari dari keluarga. Atau, seandainya kita mampu bertahan di dalam lingkungan keluarga, pasti lingkungan itu akan kita rasakan sebagai sebuah neraka.
Apakah dengan demikian kehadiran orang lain harus kita tolak? Sama sekali tidak. Justru sebaliknya, kehadiran orang lain harus kita lihat pertama-tama sebagai anugerah dan sumber inspirasi yang pantas disyukuri. Namun dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa soal krasan dengan diri sendiri, soal damai dengan diri sendiri, soal keberanian menerima diri sendiri, itu semua pertama-tama bukanlah wilayah orang-orang di luar diri kita, melainkan merupakan wilayah dan tugas kita sendiri. Diri kita sendirilah sebenarnya yang menjadi pelaku semuanya itu. Diri kita sendirilah sebenarnya yang harus menjadi psikolog, pembimbing doa, penafsir Kitab Suci, dan seterusnya. Mengapa demikian? Karena hanya kitalah satu-satunya orang yang mengenal secara mendalam diri kita sendiri.
Konsekuensinya, diri kita sendiri adalah satu-satunya orang yang bisa menumbuh-kembangkan diri kita sendiri. Orang di luar diri kita hanyalah cermin. Sebagai cermin orang di luar diri kita hanya melihat dan menangkap apa yang kelihatan. Atau kalau pun orang di luar diri kita mengatakan bahwa dia mengetahui secara mendalam siapa diri kita, semuanya itu hanya lahir dari penafsiran subjektif orang itu. Bisa benar bisa tidak. Seandainya benar pun, apa yang dilihat dan ditangkap oleh orang lain tetaplah merupakan sesuatu yang belum lengkap. Itu karena sebagai manusia kita mempunyai mutiara yang begitu indah, yang tidak bisa dilihat dan ditangkap sekedar dengan sebuah cermin. Cermin tidak mengenal segala-galanya siapa diri kita. Sebaliknya, kita sendirilah yang mengetahui segala-galanya yang ada di dalam diri kita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar