Jumat, 29 Agustus 2008

AURA KETELADANAN IMAM

INSPIRASI UNTUK MINGGU BIASA XVIII, 15 JUNI 2008. Suatu saat ada seorang umat yang menunjukkan kepada saya dua macam buku. Buku yang pertama adalah Kitab Suci. Dan buku yang kedua berupa buku tulis tebal. Kitab Suci yang dimiliki umat itu ternyata penuh dengan tanda tangan para romo yang dia kenal atau sekurang-kurangnya pernah dia temui. Sedangkan buku tulisnya berisikan nama-nama romo beserta tempat di mana romo itu bertugas. Apa yang dilakukan oleh umat itu dengan nama-nama romo yang dimilikinya?Yang dilakukannya adalah mendoakan romo-romo itu. Satu hari satu romo. Dan itu ternyata sudah menjadi kebiasaannya. Selain umat, saya pernah melihat di sebuah kelompok doa di Surabaya, semacam ID Card, yang memuat nama romo-romo, terutama yang bertugas di keuskupan Surabaya. Apa yang dilakukan dengan ID Card itu? Mereka yang tergabung dalam kelompok itu setiap kali mengambil ID Card tersebut, membawanya pulang, dan mendoakan nama romo yang tercantum di dalam ID Card. Pernah saya bertanya kepada beberapa orang dari kelompok itu: "apa tujuan aktivitas itu?" Mereka berkata: "Kita tidak akan bisa masuk kerajaan surga tanpa imam!" Jawabannya "sangar" kan??? Betul nggaknya jawaban itu silahkan anda yang menilainya sendiri.
Satu cerita lagi. Di paroki, di mana saya bertugas sekarang, ada kelompok "panggilan". Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah mendorong remaja dan kaum muda untuk mengenal kehidupan para imam dan biarawan-biarawati. Tentu dengan kegiatan itu mereka berharap semakin banyak kaum muda yang terpanggil untuk menjadi biarawan-biarawati atau imam. Sejauh saya tahu, kelompok-kelompok semacam ini tidak hanya dimiliki oleh paroki saya, tetapi di banyak paroki kelompok-kelompok semacam ini sudah ada. Tidak hanya dalam lingkup paroki, tapi tarekat-tarekat atau kongregasi-kongregasi selalu memiliki kelompok "penjaring" panggilan.
Hari ini Yesus mengeluh, mengungkapkan keprihatinannya: "panenan banyak, tetapi pekerjanya sedikit". Dan dalam konteks keprihatinan itu Yesus meminta kepada para pengikutNya untuk "MEMINTA" kepada Tuhan agar mengirim pekerja. Dengan cerita-cerita di atas, sebenarnya saya hendak mengatakan bahwa aktivitas "MEMINTA" itu sudah tidak kurang-kurang. Tetapi - seperti yang dikeluhkan umat, para imam, bairawan-biarawati, bahkan oleh Yesus sendiri, mengapa sampai saat ini PENUAI itu juga masih sangat sedikit?
Jawaban klasik yang sering saya dengar berkaitan dengan fenomena ini: kurang sosialisasi, kurang komunikasi, pengaruh mentalitas jaman modern dengan aneka produk dan tawarannya, pengaruh program Keluarga Berencana,dan yang semacamnya.
Lebih dari sekedar aneka jawaban yang nadanya merujuk pada realitas di luar diri kita itu, saya ingin menambahkan satu point jawaban, yaitu soal "aura keteladanan" para imam dan biarawan-biarawati. Sudahkan saya menghadirkan diri sebagai sosok teladan hidup umat? Kala dalam PDV, imam itu disebut "insan Allah", benarkah identitas itu yang saya tawarkan dalam pastoral saya? Mau ngecek seperti apa diri kita di hadapan atas pertanyaan-pertanyaan itu? Ga usah repot-repot nunggu rekoleksi atau retret. Mungkin beberapa komentar umat dapat kita jadikan cermin untuk melihat seperti apa wujudnya diri kita, para imam dan biarawan-biarawati. Ini beberapa contoh komentar umat: "Lho....itu romo to? Kok gayanya kayak bos gitu???" "Lho...romo itu boleh ngrokok to?" "Saya sering lihat romo itu pergi dengan ibu A. Emang ga papa ta? Ga bahaya ta?" "Wih...mobilnya romo bagus ya!" "Ehhh...romo kok gondrong!" Dan masih banyak lagi...mungkin kita pernah baca buku "litani serba salah".
Aneka penilaian dan komentar umat kalau kita lihat mungkin tidak merepresentasikan sebuah kedalaman refleksi. Dan justru karena itu ada banyak imam dan biawaran-biarawati yang "cuek-cuek" saja, apatis dengan aneka komentar dan penilaian itu. Ya...itu tergantung pada pribadi yang menjalani sih! Apalagi kalau seorang imam atau biarawan-biarawati sudah merasa pinter, dewasa, matang, kokoh dalam prinsip, dan seterusnya, pasti tidak mau mendengar lagi celotehan dari umat.
Kalau saya, aneka celotehan itu selalu saya pandang sebagai "pupuk" dalam hidu saya. Mungkin tidak mendalam, mungkin tidak benar, mungkin sangat subjektif. Tetapi saya yakin akan berada dalam "disposisi" yang lebih baik, jika aneka komentar dan penilaian umat, atau bahkan dari sesama imam dan biawaran-biarawati, itu saya jadikan bahan untuk merefleksikan dan merubah diri.
Sesempurna apapun, saya masih rentan terhadap aneka kelemahan. Tetapi saya yakin, bahwa nilai saya sebagai manusia, pertama-tama tidak ditentukan oleh seberapa banyak kelemahan yang saya miliki. Sebaliknya, nilai saya sebagai manusia (imam) pertama-tama sangat ditentukan oleh seberapa berani saya bangkit dari aneka kelemahan diri saya; juga oleh seberapa kokoh semangat saya untuk berada pada "track" identitas panggilan hidup saya.
Ungkapan "Eclesia semper reformanda", saya kira bisa kita konkritkan dengan ungkapan "persona semper reformanda". Dengan demikian, keprihatinan Yesus dalam Injil hari ini, selain hendak menunjukkan kepada kita realitas panggilan dalam gereja, juga hendak mengajak kita yang sudah mendedikasikan diri kita sebagai pribadi yang menjawab panggilan Tuhan, untuk menyimak kembali "identitas" diri dan perutusan kita. Point ini dengan sangat tegas diungkapkan oleh Yesus dalam ayat 5-8. Rinciannya sebagai berikut:
• Ayat 5-6: berkaitan dengan FOKUS dalam pastoral atau karya perutusan.
• Ayat 7: berkaitan dengan ISI pewartaan.
• Ayat 8a: berkaitan dengan RINCIAN JOB DESCRIPTION...hahahha...istilahnya mungkin gak pas, maklum saya ambil istilah dari karya perburuhan.
• Ayat 8b: berkaitan dengan PRINSIP pelayanan. Kata "cuma-cuma" menurut saya tidak saja berhubungan dengan soal "imbalan". Sebaliknya, kata "cuma-cuma" lebih merujuk pada makna "TOTALITAS" dalam pelayanan. Ya gampanganya, apakah saya suka mengeluh, apakah saya gembira menerima perutusan saya, apakah saya tidak membeda-bedakan umat, apakah saya siap sedia setiap saat untuk melayani umat, dan setrusnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar