Jumat, 29 Agustus 2008

ALLAH TELAH MATI?

Semua manusia mengharapkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Namun idealisme semacam ini ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk diejawantahkan. Bukan karena manusia itu sendiri tidak menghendaki, namun karena sering kali kehendak manusia itu harus berhadapan dan berbenturan dengan fakta lain yang sama sekali tidak dikehendakinya, yaitu fakta kejahatanKejahatan hadir di tengah hamparan kehidupan kita sebagai sebuah fakta yang tak bisa disangkal dan dihindari. Dalam konteks pemahaman dan penghayatan iman kristiani kejahatan dilihat sebagai problem teologi karena problem ini sering kali menghantar manusia kepada pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal keberadaan Allah. Allah yang diyakini sebagai Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Bijaksana seakan-akan B dengan adanya kejahatan B tidak bisa ditemukan lagi. Akhirnya pada titik tertentu muncullah pelbagai pertanyaan fundamental yang bernuansa menyangsikan keberadaan Allah. Jalan pikiran yang biasanya muncul adalah seperti berikut: "kejahatan ada, maka Allah tidak ada".
Memang, runyamnya fenomena kejahatan sering kali merupakan pemicu lahirnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberadaan Allah. Berkembangnya realitas kejahatan dan penderitaan, sering kali selalu dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada sikap skeptis akan keberadaan Allah. Allah itu ada atau tidak? Kalau Allah itu ada mengapa Ia membiarkan bentuk-bentuk kejahatan itu berkembang di bumi ini? Di mana letak kemahakuasaan Allah? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang intinya berusaha mempertanyakan peranan Allah dalam aneka situasi kejahatan. Penyangsian keberadaan Allah kiranya tidak hanya terjadi dalam dunia kaum ateis. Bahkan harus dikedepankan bahwa dalam dunia kita dewasa ini pun aneka pertanyaan yang bernada skeptis itu juga mengemuka dalam diri kaum agamis; kaum yang mengklaim dirinya sebagai insan beriman. Sungguh-sungguh ironis!!!
Apa sebenarnya kejahatan itu? Louis Leahy, seorang pemikir yang berasal dari Quibec, mendefinisikan kejahatan sebagai sesuatu yang secara objektif kurang sempurna, yaitu sesuatu yang secara fisik menyakitkan dan secara moral adalah dosa. Pengertian kejahatan yang semacam itu secara sangat ringkas dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik. Kejahatan fisik adalah kejahatan yang berhubungan dengan dunia material, yaitu kejahatan yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri manusia atau ulah manusia yang tidak lahir dari kehendak bebasnya. Misalnya kelaparan, banjir, cacat fisik, dan lain sebagainya. Kejahatan fisik sering juga disebut dengan penderitaan.
Sedangkan kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan seserong dengan bebas di mana pelaku itu sendiri dengan sadar dan bebas memilih untuk melakukan suatu tindakan yang salah. Dengan demikian kejahatan moral selalu berhubungan dengan kebebasan dan kesadaran manusia sebagai pelaku yang bebas dan sadar. Contoh kejahatan ini adalah sikap tidak adil, tidak jujur, egois, dan lain sebagainya.
Di hadapan persoalan kejahatan, kaum beragama sering berpendapat bahwa kejahatan itu merupakan kebalikan yang diperlukan untuk kebaikan yang lebih besar. Kejahatan itu ada supaya kebaikan dapat secara lebih jelas dilihat oleh manusia. Jalan pikiran semacam ini dalam perkembangannya sulit untuk diterima, karena kebaikan itu sendiri sebenarnya tidak tidak bisa hanya dipahami sebagai sesuatu yang bergantung pada kejahatan. Bahwa orang yang menderita akan menjadi lebih kuat untuk penderitaan atau rasa sakit yang seperti itu kalau penderitaan atau rasa sakit yang sama muncul lagi, adalah tesis yang bisa diterima. Dapat diterima juga bahwa dalam perspektif spiritualitas kemalangan akan dapat memurnikan iman seseorang.
Meskipun jalan pikiran semacam ini bisa diterima, harus segera ditegaskan bahwa bagaimana pun jalan pikiran semacam itu tetaplah merupakan solusi yang sangat fungsional dan sangat berbahaya. Sangat berbahaya karena dengan demikian teisme atau kaum beragama menggunakan logika yang akan membenarkan usaha-usaha yang dilakukan dengan cara mengorbankan yang satu untuk kebaikan yang lain yang lebih tinggi.
Pada perspektif lain kaum beragama juga mengatakan bahwa kejahatan merupakan hukuman atau kutukan dari Tuhan. Tesis itu dapat juga dibenarkan, akan tetapi banyak sekali dalam peristiwa-peristiwa tertentu kita sangat sulit menerima pernyataan bahwa kejahatan itu merupakan hukuman dari Allah. Contohnya penderitaan yang menimpa orang yang aleh, bencana alam yang menimpa semua orang tanpa membedakan yang baik dan yang jahat. Dalam peristiwa-peristiwa alamiah campur tangan Allah tidak bisa dilihat secara mudah. Seperti halnya jika ada rem sepeda yang aus sehingga sepeda tersebut bisa saja menimpa semua orang, begitu juga tak peduli apakah orang itu jahat atau baik, kalau dia bekerja tanpa istirahat pasti akan jatuh sakit.
Dalam persoalan-persoalan penderitaan semacam ini campur tangan Allah harus dilihat dalam perspektif tanggapan manusia atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami. Di tempat lain kaum ateis berpendapat bahwa manusia harus menyangkal adanya Allah karena adanya kejahatan di dunia. Kejahatan merupakan tanda ke-tidak-dapat-nya di damaikan antara kemaha-kuasaan dan kemaha-baikan Allah dengan adanya kejahatan. Allah itu mahakuasa dan mahabaik, mengapa harus ada kejahatan yang bertolak belakang dengan keberadaan-Nya? Mengapa Allah membiarkan adanya kejahatan? Allah itu mahakuasa, mengapa tidak menghapus semua bentuk kejahatan? Manusia saja menolak kejahatan, mengapa Allah tidak? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menuntun manusia pada kesimpulan bahwa dari pada mempunyai Allah yang membiarkan kejahatan lebih baik tidak punya Allah sama sekali. Maka dengan adanya kejahatan, seandainya Allah ada sekali pun, Dia harus ditolak. Apa pun argumennya, kejahatan merupakan bukti bahwa Allah telah mati.
Feuerbach, seorang filsof Jerman, berpendapat bahwa Tuhan itu pada dasarnya adalah ciptaan manusia. Ketika manusia mengakui bahwa Tuhan itu ada maka Tuhan ada. Dan ketika manusia mengakui bahwa Tuhan itu tidak ada maka Tuhan juga tidak ada. Dengan beberapa gagasan di atas, dan itu ditegaskan dengan gagasan yang terakhir ini, BAGAIMANA KITA HARUS MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN IMAN KITA?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar