Kamis, 28 Agustus 2008

MENGENAL DIRI MELALUI DOA

Menemukan identitas diri. Sebuah gagasan introspektif yang dalam dunia dewasa ini semakin menemukan aktualitasnya. Betapa tidak, dewasa ini semakin merebak fenomena-fenomena sebagai representasi teralienasinya pribadi manusia.Dunia manusia semakin memperlihatkan kemajuan yang gemilang. Namun ironisnya bersamaan dengan itu terlahir pula manusia-manusia yang semakin terasing dari diri dan dunianya, bahkan dari Penciptanya. Pertanyaan: Siapa aku? Siapa aku di tengah dunia ini? Siapa aku di hadapan Tuhan? Terasa sebagai pertanyaan yang semakin sulit dirunut jawabannya. Sulitnya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini sekaligus melukiskan bahwa manusia semakin jauh dari dirinya. Bagaimana situasi itu bisa terjadi? Apa penyebabnya? Bagaimana situasi itu harus diselesaikan? Apa sarananya?
Secara ringkas tulisan ini bermaksud merefleksikan, sekaligus menawarkan sebuah jawaban reflektif atas soal-soal itu. Perumusan jawaban akan dimulai dengan paparan singkat perihal delik-delik fenonema yang menjadi pencetus lahirnya kepudaran identitas diri manusia. Menyusul kemudian, sebuah tawaran jalan doa sebagai sarana untuk kembali ke inti diri. Dan pada bagian terakhir akan diuraikan refleksi singkat.

1. Faktor-Faktor Pencetus Pudarnya Idenitas Diri.
Harus dikatakan bahwa dalam peziarahan hidupnya, identitas diri manusia dibentuk oleh aneka faktor. Selain diri sendiri, keluarga, sesama, lingkungan sosial, dan Tuhan adalah rentetan pribadi dan faktor yang sangat berperan dalam membentuk seorang pribadi. Kalau terbentuknya identitas manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, maka hal yang sama juga berlaku untuk pemudaran identitasnya. Jelas, bahwa soal yang terakhir ini juga tidak bisa kita lepaskan dari aneka konteks yang melingkupi hidup manusia. Berbicara secara global dan mendetail mengenai soal-soal itu dalam refleksi sesingkat ini jelas tidak mungkin. Oleh karena itu kita hanya akan mengambil beberapa hal yang relevan dengan pembahasan tema ini.

Kesibukan. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa kesibukan telah menjadi karakter pola kehidupan masyarakat modern. Pekerjaan, pertemuan dan janji-janji yang menuntut perealisasian, aneka rencana yang mengandaikan penyelesaian, merupakan rentetan aktivitas yang senantiasa memenuhi dan mewarnai kehidupan sehari-hari manusia modern. Pola-pola kehidupan semacam itu sekan-akan telah menjadi ciri khas masyarakat modern. Dan karenanya semakin merebak pula kecenderungan bukan untuk melepaskan diri dari aneka kesibukan, sebaliknya justru untuk mencarinya. Manusia sering berupaya mencari dan menghendaki kesibukan dengan tesis bahwa kesibukan merupakan cermin pengejawantahan tanggung jawabnya sebagai manusia. Dengan itu hendak dikatakan bahwa kesibukan merupakan status simbol. Jaminan hidup. Dan - ini yang terpenting - kesibukan merupakan wadah untuk menampilkan identitas diri. Manusia semakin yakin akan identitasnya kalau dia mempunyai kesibukan. Sebaliknya ketidak-sibukan merupakan sesuatu yang mengancam keutuhan identitas.
Kecemasan. Fenomena lain yang masih berkaitan erat dengan kesibukan adalah kecemasan. Kemungkinan perubahan jabatan, konflik-konflik dalam keluarga, penyakit, wabah, kejahatan-kejahatan perang, fenomena-fenomena ketidakadilan sosial, pelanggaran hak-hak asasi manusia, bentuk-bentuk kekerasan, penipuan, korupsi, dan seterusnya, merupakan pemicu lahirnya kecemasan, ketakutan, kecurigaan, kebingungan, kesedihan.
Kehampaan. Di balik hidup yang sarat dengan nada-nada cemas itu ada satu hal lain yang terjadi, yaitu kehampaan. Dengan itu hendak dikatakan bahwa manusia sedang berada dalam wilayah ketidak-puasan, ketidak-damaian, ketidak-krasanan. Fenomena ini sekaligus merepresentasikan ketakbermaknaan dan krisis yang mendalam dalam hidup manusia. Dan yang menjadi konsekuensi selanjutnya adalah semakin mencuat bersit-bersit kebosanan atas hidup, dendam, depresi, stress, dan semacamnya.
Kaburnya identitas diri. Rajutan pengalaman faktual manusia ini pada gilirannya merupakan faktor pendorong lahirnya kekaburan identitas diri. Dalam situasi semacam itu manusia semakin sulit menemukan makna atau nilai atas hidupnya. Manusia semakin teralienasi dari pusat terdalam dirinya. Kesibukan dan kehampaan yang terejawantah dalam perilaku-perilaku bosan, dendam, depresi itu sekaligus merupakan kondisi yang mencerminkan ketidak-damaian manusia dengan dirinya sendiri. Dan itu berarti manusia berada dalam situasi terputus dengan pusat Aada@nya sendiri.
Doa. Sudah barang tentu, tidak seorangpun menghendaki situasi diri semacam ini terjadi dan menguasai hidupnya. Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana manusia harus melepaskan diri dari kondisi ini? Bagaimana manusia harus menemukan kembali identitas dirinya? Ada banyak jalan yang bisa menjawab persoalan itu. Dalam refleksi singkat ini kita akan melihat satu jalan, yaitu doa. Tesis dasar yang dikedepankan adalah: doa merupakan jalan untuk mengenal identitas diri.

2. Doa Sebagai Jalan Pengenalan Diri
2.1. Apa Itu Doa?

Doa mempunyai kaitan yang erat dengan keheningan. Keheningan adalah syarat utama sebuah doa. Keheningan merupakan sarana manusiawi dan rohani yang menyiapkan manusia pada pertemuan mendalam dengan Allah yang hadir di kedalaman batin setiap manusia. Apa itu hening? Hening berarti menempatkan diri dan menghayati diri di pusat ada; di dasar pribadi di mana aku adalah aku. Sisi lain dari keheningan adalah keributan. Ribut adalah kondisi terputusnya kesadaran dengan pusat "ada"nya sendiri; kondisi ketika manusia tidak lagi bertemu dengan dirinya sendiri; ketika manusia mengidentikkan dirinya dengan benda-benda, barang-barang, juga saat manusia menyamakan sesama dengan benda yang dikuasai, dimanipulasi sesuka hati; saat menolak komunikasi pribadi dengan sesama. Keributan bisa muncul dari sesuatu di luar diri manusia. Tetapi yang terutama keribuatan tercetus dari kondisi di dalam diri kita, yaitu di dalam tubuh dan indra yang liar tanpa kontrol, dalam dunia afeksi dan pikiran kita.
Kalau keheningan dimengerti sebagai sarana dan tempat pertemuan yang membawa manusia pada hidup doa, maka doa adalah pertemuan itu sendiri, yaitu pertemuan dalam cinta dengan Allah. Doa merupakan relasi perjanjian antara Allah dan manusia. Doa adalah relasi dari hati ke hati. Doa adalah relasi cinta persahabatan antara manusia dengan Allah. Dalam konteks pemahaman ini, doa merupakan aktivitas yang memerlukan secara mutlak rasa haus dan rindu akan Allah. Doa mempunyai relasi yang erat dengan hidup. Manusia berdoa sebagaimana dia hidup. Sebaliknya doa juga menentukan hidup manusia. Oleh karena itu jika kita adalah pribadi yang mendalam, maka kita juga merupakan seorang yang mendalam dalam segalanya, termasuk dalam doa.
Doa berarti hadir bersama dengan Allah karena kita mengetahui bahwa Allah mencintai kita. Doa berarti membuka dan menyerahkan diri kepada Allah yang mencintai kita, tanpa mempersoalkan mengapa dan untuk apa. Itu berarti doa mengandaikan sikap tulus, tanpa maksud tertentu. Doa memerlukan cinta, yang pada akhirnya akan melahirkan pandangan kagum dalam keheningan yang memungkinkan dua pribadi saling berbicara dari hati ke hati.

2.2. Doa dan Mengenal Diri

Doa tidak bisa dipisahkan dari realitas diri manusia. Bagaimana manusia berdoa sangat ditentukan oleh kondisi faktual manusia. Seperti diuraikan di atas, jika manusia adalah seorang pribadi yang mendalam, maka dia juga adalah seorang yang mendalam dalam hal doa. Begitu juga sebaliknya, jika manusia adalah seorang yang mendalam dalam doa, maka dia juga adalah seorang pribadi yang mendalam. Dengan perspektif yang kedua ini hendak dikatakan bahwa doa adalah jalan yang mempunyai peranan kuat untuk upaya pengenalan diri manusia. St. Agustinus mengatakan: ATetapi Engkau, ya Tuhan, Engkau menghadapkan aku dengan diriku, aku yang perpaling dari diriku, karena aku tidak mau melihat diriku. Engkau memaksa aku melihat diriku, agar aku melihat betapa aku hina dan pincang, betapa bernoda, bercela dan bercacat.@ Gagasan reflektif ini hendak mengatakan bahwa doa tidak pernah berarti menjauhi diri sendiri. Allah tidak pernah membiarkan Diri-Nya menjadi tempat pelarian. Sebaliknya Allah menghendaki supaya manusia yang mempunyai intensi datang kepada-Nya sekaligus merupakan insan yang berani untuk membongkar rahasia batinnya. Dengan demikian doa merupakan aktivitas yang Amemaksa@ manusia untuk mengenal dirinya. Dikatakan demikian karena selama manusia tidak mengenal aneka cetusan pikiran dan kecenderungan hatinya, maka tidak mungkin dia dapat berdoa.
Doa mengandaikan orang mengenal diri. Ungkapan ini belum selesai, karena doa ternyata juga merupakan jalan yang membantu manusia untuk mengenal dirinya. Dalam doa manusia menghadirkan dirinya di hadapan Allah. Sekaligus dalam aktivitas itu manusia akan mengalami Allah yang menyoroti situasi aktual hatinya. Dalam doa manusia akan mengalami Allah sebagai Terang Ilahi yang menembus perbuatan, pikiran dan topeng-topeng yang mengkerdilkan hatinya. Dalam doa manusia menjadi sadar akan apa yang lemah dan rapuh dalam dirinya. Dalam doa manusia dapat mengenal dirinya lebih objektif dan menyeluruh. Dalam doa manusia akan memperhatikan dirinya dengan kaca mata terang Allah. C.G. Jung menggandengkan doa dan pengenalan diri dengan mengartikan doa sebagai relasi antara dua pribadi, yaitu si aku dan Engkau (Tuhan) yang kekal. Dan relasi ini merupakan situasi yang memungkinkan manusia untuk keluar dari dunia keakuannya. Pada umumnya manusia hidup pada level kesadaran, tetapi berkat doa manusia dapat melihat khazanah mental bawah sadarnya. Jung juga menyebut doa sebagai Acolloquium cum suo angelo bonum@. Doa disebut sebagai demikian karena menurut Jung doa mempunyai dimensi dialogal dengan khazanah mental bawah sadar manusia. Dan dengan itu hendak dikatakan bahwa doa merupakan media untuk keluar dari dunia Aaku kecil@ manusia yang terkurung dalam kesadarannya, dan masuk dalam inti kepribadiannya.

Dalam paradigma iman kristiani, pengenalan diri memang tidak sekedar berarti keluar dari ketidaksadaran, melainkan juga berarti menyadari realitas kedosaan di hadapan Allah. Dalam pemahaman ini doa merupakan sarana yang mempertajam mata batin manusia untuk melihat kenyataan dirinya dan memupuk disposisi sikap yang semakin terbuka di hadapan Allah.

3. Refleksi
3.1. Manfaat Untuk Pertumbuhan Hidup Rohani
Cetusan sikap dan pergulatan bahwa aneka krisis makna dalam hidup manusia terutama dilatarbelakangi oleh mendangkalnya relasi dengan Tuhan, dewasa ini semakin memperlihatkan validitasnya. Terutama pendalaman materi-materi Teologi Spiritual Sistematik saya lihat sebagai teropong yang mempertajam kebenaran fenomena tersebut. Di sisi lain saya merasakan bahwa pendalaman materi-materi ini - yang saya maksud di sini adalah tentang doa - merupakan sarana yang membantu dalam upaya memperkokoh bangunan iman dan hidup rohani saya. Carut marut perkembangan dunia dewasa ini semakin mendesak dan menuntut hal itu. Selain - tentu saja - karena hidup doa merupakan sesuatu yang mutlak dalam hidup (calon) imam. Dikatakan mutlak karena seorang (calon) imam pertama-tama adalah seorang pemimpin rohani, yaitu insan yang secara khusus mewarisi tugas Kristus untuk mewartakan sabda-Nya. Karena itu seorang (calon) imam dituntut juga untuk semakin serupa dengan Kristus. Dan sarana yang terdepan dalam soal itu adalah doa.

3.2. Rekomendasi Pastoral
Memberikan pemahaman yang benar kepada umat tentang doa bagi saya merupakan prioritas utama dalam reksa pastoral. Dewasa ini umat semakin memperlihatkan kerinduan dan kehausan akan hidup doa yang mendalam. Namun tidak jarang pula kita mendengar aneka keluhan yang intinya hendak mengatakan bahwa mereka sulit berdoa. Selain pertama-tama harus berupaya menggali aneka faktor yang membelenggu hidup doa umat, petugas pastoral juga harus berupaya memberikan pengertian tentang doa yang benar. Hal ini penting karena tanpa pemahaman yang benar, maka sebuah doa juga akan sulit untuk dihayati sebagai bagian integral dalam hidup umat.
Langkah selajutnya, setelah penggalian masalah dan memberikan pemahaman yang benar, adalah menunjukkan kepada umat aneka jalan yang bisa ditempuh untuk memperdalam hidup doa. Semuanya ini mengandaikan sebuah proses yang tidak pendek dan dinamika yang tidak mudah, maka kesetiaan dan ketekunan seorang petugas pastoral merupakan tuntutan yang utama.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar