Selasa, 24 Maret 2009

BURUH, PEMILU, DAN MINDSET

Di tengah hiruk pikuk persiapan menyambut pemilu 2009, hampir di setiap sudut jalan, kita dapat menyaksikan pelbagai atribut parpol. Bentuknya bermacam-macam. Isinya juga sangat variatif. Namun demikian semuanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengajak masyarakat untuk mempercayai dan akhirnya memilih partainya atau memilih dirinya sebagai “representative person” dalam jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan.
Fenomena yang agak berbeda akan kita temukan kalau kita berjalan di lorong jalan di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Keraton, Yogyakarta (KOMPAS, 18 Maret). Seperti yang dicatat Kompas, wilayah ini menolak pemasangan segala macam bentuk atribut parpol. Alhasil, berbeda dengan tempat-tempat dan wilayah-wilayah lainnya, wilayah kelurahan ini sampai saat ini kelihatan rapi dan bersih. Terlepas dari soal bersih atau rapi, saya menilai bahwa apa yang diputuskan oleh warga Kelurahan Kadipaten tersebut sebenarnya merupakan bentuk yang paling sederhana tetapi sangat nyata dari kedewasaan dan kematangan sikap berpolitik.Saya yakin bahwa keputusan warga Kelurahan Kadipaten yang nadanya sangat berbeda dengan wilayah-wilayah dan daerah-daerah lainnya ini, diambil tidak sekedar untuk tampil beda. Sebaliknya sikap dan keputusan itu merupakan bukti bahwa warga Kelurahan Kadipaten memiliki prinsip hidup yang kokoh. Dan prinsip itu ditunjukkan dengan keberanian mereka untuk menentukan sikap yang tegas, tanpa harus terombang-ambing oleh aneka janji, tawaran, dan strategi-strategi parpol, kendati sikap itu berbeda dengan sikap masyarakat Indonesia pada umumnya. Prinsip dan sikap tegas semacam ini kiranya yang harus kita bangun saat ini.
Sudah bukan barang baru lagi di telinga dan pemahaman kita, seperti apa dan bagaimana arah dan peta politik di negara kita. Juga bukan sesuatu yang asing lagi bagi kita, bagaimana dan seperti apa perilaku para pejabat dan calon pejabat di negara kita. Mereka dengan sangat tegas mendeklarasikan dirinya sebagai wakil-wakil masyarakat. Arah dan skema perjalanan kebijakan politik pun disuarakan di mana-mana untuk melayani dan mengembangkan masyarakat, bangsa dan negara. Namun kita semua mengetahui bahwa tidak jarang semuanya itu dalam kenyataannya tidak lebih dari sebuah iklan kebohongan publik. Pada point ini tidak perlu saya mengulas secara panjang lebar, karena fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat umum.
B. Herry Priyono mensinyalir bahwa perilaku caleg dan parpol-parpol dalam pemilu 2009 ini hanya terfokus pada perolehan suara (KOMPAS, 18 Maret). Yang penting slogan saya bagus dan menarik. Yang penting mendapat suara banyak. Yang penting menang. Tidak peduli apakah caleg-caleg itu memiliki integritas pribadi dan kompetensi untuk menduduki kursi wakil rakyat atau tidak. Juga tidak jarang caleg-caleg dan parpol-parpol, karena terlalu terfokus pada tujuan kemenangan dan perolehan suara, mereka justru melupakan hal-hal fundamental yang bersentuhan langsung dengan prinsip perubahan dan pengembangan negara dan bangsa. Kalau analisa ini benar, maka makna sejati dari sebuah percaturan politik menjadi sesuatu yang sangat dangkal. Dikatakan demikian karena percaturan politik hanya berkisar dan berjalan hanya pada tataran “perolehan kursi jabatan”, dan bukan pada kedalaman “platform” atau mindset politik. Dan kedangkalan itu pada gilirannya dapat dipastikan akan berimbas pada tiadanya perbaikan-perbaikan yang berarti dalam negara dan pemerintah. Bahkan mungkin akan semakin menggiring negeri ini dalam keterpurukan yang semakin mendalam.
Dalam situasi semacam ini apa yang harus kita lakukan? Golput? Menceburkan diri dalam salah satu partai? Memihak salah satu partai? Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja satu hal ini tidak bisa kita tinggalkan, yaitu mindset. Mindsetnya siapa? Tentu saja pertama-tama adalah mindset kita sendiri, dan pada gilirannya mindset parpol-parpol dan para caleg yang akan kita pilih. Apa maksudnya mindset atau pola pikir? Yang dimaksud dengan mindset atau pola pikir bukanlah semata-mata soal strategi dalam memikirkan sesuatu, atau bagaimana caranya saya memikirkan sesuatu. Lebih dari sekedar itu, mindset atau pola pikir sebenarnya adalah sikap dan prinsip hidup kita. Dalam hal ini mindset atau pola pikir memiliki isi yang sangat luas, mulai dari apa sesungguhnya yang menjadi tujuan hidup dan perjuangan saya? Apa sesungguhnya yang menjadi prinsip hidup saya? Bagaimana saya menggambarkan dan memposisikan diri dan hidup saya? Dan seterusnya.
Bagi kita yang bergerak dalam zona perjuangan kaum buruh, mindset kiranya merupakan persoalan yang sangat fundamental. Pengalaman-pengalaman perjuangan-perjuangan kita di masa lampau kiranya dapat menjadi bahan yang sangat baik untuk meneliti diri kita, bagaimana sesungguhnya warna pola pikir atau mindset kita. Lemahnya persatuan dan solidaritas di antara buruh, tiadanya konsep gerakan serikat buruh yang mampu merangkul elemen-elemen perburuhan yang lainnya, masih adanya elite-elite serikat buruh yang cenderung oportunis, dan yang semacamnya, merupakan bukti yang sangat nyata bahwa selama ini kita masih berada dalam kedangkalan mindset. Apa pun yang dikatakan, dalam gerakan-gerakan perburuhan, mindset merupakan faktor utama yang mutlak untuk kita perdalam. Salah satu contoh betapa pentingnya mindset sudah kita lihat dalam diri para warga Kelurahan Kadipaten. Kita yang berada dalam jalur perjuangan nasib buruh, betapa kokohnya pengaruh dan daya tawar kita untuk perubahan negeri ini, jika masing-masing dari kita memiliki mindset yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh para warga Kelurahan Kadipaten di atas. Dan pemilu 2009 bagi saya merupakan moment yang sangat istimewa untuk menguji diri kita, apakah di tengah hiruk pikuk pemilu kali ini kita mampu menempatkan diri sebagai element masyarakat yang memiliki kedalaman pola pikir? Atau kita masih berada dalam kecenderungan mudah terpengaruh dan terombang-ambing oleh pelbagai tawaran atau janji-janji para caleg dan parpol-parpol? Kecenderungan mudah terpengaruh dan terombang-ambing merupakan bukti yang jelas bahwa kita masih belum memiliki kekokohan mindset. Maka, pertanyaannya sekarang adalah: apa sesungguhnya yang menjadi platform atau mindset perjuangan kita?
Kalau menilik kekuatan buruh, maka kita sekalian sangat paham bahwa teoritis kaum buruh sebenarnya memiliki kekuatan yang tak dapat diragukan. Sekurang-kurangnya jika hal itu ditinjau dari sisi jumlah buruh. Namun dalam tataran percaturan di lapangan, tidak jarang kita justru berada dalam posisi yang sangat lemah dan dengan dengan mudah diperalat oleh pihak-pihak lain untuk melanggengkan ambisi-ambisi mereka. Mari sekarang kita bertanya kepada diri kita sendiri: mengapa kita sampai berada dalam situasi semacam itu? Apakah karena sistem? Atau apakah karena nota bene kita belum memiliki kesamaan mindset perjuangan? Atau karena faktor-faktor lain?
Pemilu, krisis global, dan situasi aktual kita saat ini, bagi saya merupakan saat yang sangat tepat untuk menguji diri kita. Untuk apa? Ya, supaya platform gerakan-gerakan kita semakin jelas. Juga supaya kita yang berada dalam jalur perjuangan kaum buruh semakin mampu menunjukkan peran yang sangat berarti untuk perubahan dan perbaikan negeri ini pada umumnya, dan secara khusus perubahan dan perbaikan nasib buruh.



Jumat, 13 Maret 2009

DI BERANDA NUGINI

Mans Werang, CM

Pagi ini mereka ingin membakar mobil di kampung ini. Kata seorang ibu kepadaku, saat aku bertemu dia di beranda pastoran. Orang-orang di kampung ini tidak menerima kematian saudara mereka. Keluarga dan kenalannya mulai datang dari berbagai kampung ke kampung ini dengan pertanyaan, mengapa dia mati muda? Semalam sekelompok orang merencanakan untuk membakar rumah dan membawa orang-orang yang dituduh penyebab kematian orang muda itu ke pengadilan desa. Bukankah orang muda yang meninggal itu, karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman keras? Kata saya kepada ibu itu. Menurut adat kami kematian bukanlah hal yang alamiah, apalagi dia masih muda, pasti ada orang yang membenci dia dan membunuh dia secara gaib. Demikian jawaban dari ibu itu kepadaku.
Saya tidak ingin melanjutkan lagi pertanyaan kepada ibu dan segera itu dia meninggalkan pastoran. Saya memilih duduk diam saja di beranda pastoran sambil merenungkan apa yang akan terjadi di pagi hari ini. Bermacam-macam perasaan takut dan cemas muncul di dalam benakku. Apa yang akan terjadi seandainya mereka sungguh-sungguh membakar mobil? Mungkinkah akan ada perang? Atau mereka akan membakar rumah-rumah penduduk disini juga? Tampak dari jauh sesepuh di desa kami, Noel namanya datang menemuiku di pastoran. Raut wajahnya tampak sangat lelah. Ia hanya diam saja dan memilih duduk di beranda bersama saya. Beberapa menit kemudian ia berkata kepadaku, bahwa persoalan di kampung ini semakin sulit. Kemungkinan akan terjadi kekacauan yang luar biasa di kampung ini. Tadi malam semua suku-suku berkumpul di rumah duka untuk membicarakan persoalan mengapa dia meninggal? Bahkan beberapa kelompok merencanakan untuk membakar mobil, dan ingin melakukan balas dendam sebagai tanda ketidakpuasaan mereka atas kematian saudara mereka ini. Untuk itu, sebaiknya father tetap berada di pastoran saja, dan menunggu sampai saya datang dan memberikan informasi lebih lanjut kepada father.



Dentang ketakutan

Ketika dia pamit meninggalkanku, saya masuk ke kamar dan memilih berdiam diri. Tatkala saya berada di dalam kamar, saya mendengar ledakan yang sangat besar, tampak asap tebal mengepul di jalan raya. Rasa takut dan cemas menghantuiku. Dari balik jendala pastoran, saya melihat massa di jalan raya yang begitu banyak. Mungkinkah akan terjadi perang? Tanyaku dalam hati. Beberapa orang lari menuju jalan raya. Sr. Denis Haman, DW (Daughter of wisdom) datang menemuiku di pastoran. Ia berkata kepadaku mengapa orang-orang Matkomnai melakukan tindakan kekerasan seperti ini? Apakah tidak ada cara lain lagi yang lebih manusiawi? Saya sendiri tidak tau apa yang dapat saya katakan kepadanya. Saya hanya menyarankan dia untuk tetap berada di susteran saja.

Beberapa saat kemudian seorang pemimpin umat berlari dengan ketakutan tanpa mengenakan pakaian. Saya mencoba pergi menemui dia, namun dia tidak memberikan informasi yang banyak kepadaku. Beberapa orang yang menemuiku bercerita bahwa keluarga dari orang muda yang meninggal itu hampir saja membakar dia hidup-hidup dengan menuangkan bensin ke tubuhnya. Ketika mereka hendak membakar dia, korek apinya jatuh ke tanah, dan segera saja pemimpin umat itu berlari ke rumahnya untuk menyelamatkan diri. Mereka berkata kepadaku, dia adalah salah satu yang dituduh oleh pihak keluarga sebagai pembunuh secara gaib. Tatkala kutanya dimanakah polisi? Mereka mengatakan kepadaku, ini bukan bisnisnya polisi, tetapi ini bisnisnya orang-orang kampung. Saya tidak mau melanjutkan lagi pertanyaan dan memilih kembali lagi ke beranda pastoran. Ketika senja mulai kembali ke peraduaan, kuajak beberapa umat datang ke gereja untuk menghadiri perayaan ekaristi, meskipun tidak begitu banyak jumlahnya. Selesai misa, sesepuh dari desa lain datang menemuiku dengan permintaan untuk berdoa di rumah duka. Saya agak ragu menerima permintaannya, karena hari sebelumnya saat saya datang ke rumah duka, mereka menolak saya berdoa untuk orang muda yang meninggal ini. Namun, akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke rumah duka. Saya datang dengan beberapa anak muda dan Sr. Denis Haman, DW. Kondisi dan keadaannya sudah mulai meredah, namun mereka mengatakan bahwa besok saat penguburan pasti terjadi kekacauan lagi di kampung ini.

Keesokan harinya saat saya datang untuk penutupan peti, tampak kerumunan orang-orang di rumah duka. Beberapa dari mereka merusakan apa saja yang ada di sekitar mereka, bahkan tiang rumah pun dipotong. Tidak ada orang yang berani menghentikan mereka karena ini ungkapan kesedihan dan kemarahan mereka. Upacara penutupan peti tidak berjalan dengan lancar, karena pihak-pihak keluarga menuntut agar kompensasi berupa uang atas meninggalnya saudara mereka harus diletakan di atas peti sebelum dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir. Maka kami harus menunggu lagi. Saya mencoba menunggu dengan sabar. Noel, datang mendekatiku dan mengatakan untuk tetap bersabar. Meskipun dia seorang pemimpin umat dan sesepuh di desa itu, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan apapun menghadapi suku dari keluarga yang berduka ini. Setelah melalui perdebatan dan negoisasi, akhirnya saya diperkenankan mendoakan dan memberkati jenasah, dan akhirnya dibawah ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Selama satu bulan semua kegiatan di gereja tidak berjalan dengan lancar. Kegiatan pasar di tepi jalan juga sangat sepih, karena tidak ada yang berani menjual dagangannya di pasar. Sementara jumlah orang yang datang ke gereja juga mulai menurun. Masing-masing pihak saling mencurigai dan menuduh satu dengan yang lainnya. Pihak keluarga yang berduka datang ke pastoran berbicara dengan saya tentang kematian saudara mereka dengan versi yang berbeda-beda. Sementara itu orang-orang yang dituduh membunuh orang muda itu secara gaib juga datang berkisah kepada saya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, karena masing-masing dengan versi kisahnya. Saya mencoba mendengarkan kisah mereka, dan menawarkan untuk mengadakan rekonsialiasi. Namun gagasan rekonsialiasi ternyata sangat berbeda dengan apa yang mereka pikirkan. Rekonsiliasi bagi mereka adalah, pihak yang dituduh harus membawa uang, makanan, binatang kepada keluarga yang berduka tersebut. Mereka akan duduk bersama, makan bersama dan meminta maaf sesuai dengan adat kebiasaan mereka. Sementara gagasan rekonsialiasi yang saya pikirkan sangat berbeda dengan mereka, sehingga rekonsiliasi yang saya tawarkan tidak pernah terwujud.



Merenung di beranda

Hidup dan berkarya di Papua New Guinea kadang sangat keras, bagaikan hidup di tengah padang gurun. Ada begitu banyak kesulitan dan tantangan yang akan kita hadapi dan alami. Kata seorang relawan dari Australia kepada saya. Karena yang dihadapi adalah karakter orang-orang Papua yang unik, keras, dan akses tempat tinggal yang sangat jauh, serta sulitnya sarana transportasi. Kita sangat sulit mengerti jalan pikiran dan hidup mereka. Romo Hubert, seorang imam diosesan bercerita kepadaku bahwa dia pernah diusir oleh orang-orang Papua sendiri, ketika dia berusaha membangun jalan raya bagi penduduk. Melihat akses tempat tinggal mereka yang sangat sulit, dia berusaha sekuat tenaga untuk membuka jalan di tengah hutan menuju kampung mereka, namun dia dibenci oleh orang-orang Papua. Ia sendiri berkata kepadaku bahwa dia pun sulit mengerti dengan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Romo Salvius, seorang imam diosesan lainnya berkata kepadaku, jalan satu-satunya untuk hidup dan berkarya di Papua adalah menghadapi semua tantangan dan kesulitan dengan kebesaran jiwa. Ia berkisah tentang pengalamannya kepadaku bahwa setiap daerah di Papua memiliki tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Untuk datang ke keuskupan saja dia harus menempuh perjalanan melewati sungai selama tiga hari. Beberapa kali, dia terpaksa harus tidur dan menginap di hutan, karena kehabisan minyak, atau mesin motor tidak berfungsi dengan baik. Ia hanya makan pisang dan makan apa saja yang dia temukan di hutan, bahkan seringkali dia tidak makan apapun juga. Pengalaman ini bukan hanya terjadi sekali, tetapi seperti menu bagi kehidupan dan karyanya setiap saat. Romo Jack Gros, CM, juga berkisah kepadaku bahwa selama delapan hari dia berjalan kaki mencari umatnya yang sedang berada dalam ketakutan, tetapi dia tidak menemukan mereka. Setelah delapan hari tidur dan tinggal di hutan dengan makan apa saja yang ditemukan di hutan, dia berhasil menjumpai satu keluarga. Saya juga ingat Romo Edi CM yang menerima seorang bapak dengan kebesaran jiwa, meskipun bapak itu meluapkan kemarahan yang meluap-luap tanpa alasan yang jelas. Saya juga ingat kisah dari Romo Aloi, SMM, yang berkarya di daerah Nomed yang sangat terpencil. Ketika dia pergi mengunjungi umatnya, tidak jarang dia tidur di tengah hutan, karena jarak yang sangat jauh. Lelah, capeh, dan lapar adalah santapan dan menu hidupnya. Ia berkisah kepadaku, hampir setiap hari umatnya meninggal dunia, karena tidak tersedianya rumah sakit. Saya juga ingat kisah Romo Mas John, SMM, setiap kali datang ke keuskupan dia harus berjalan kaki selama tiga hari. Ia berkisah kepadaku, jalan kaki selama tiga hari untuk datang ke kota , atau untuk kembali ke parokinya adalah santapan dan menu hidupnya. Bila hari sudah mulai malam, dia tidur di tengah hutan. Saya juga ingat kisah tentang jatuhnya pesawat yang menyebabkan seorang romo, smm yang adalah pilot, dan seorang suster DW meninggal dunia.



Makna Salib

Saya masih duduk di beranda, tatkala kisah-kisah tentang kehidupan orang-orang Papua dengan segala kesulitan dan tantangan hadir dalam ingatanku. Kesulitan dan tantangan ini masih akan selalu dihadapi, karena ini adalah menu dan santapan keseharian bagi orang yang bekerja di Papua. Mengingat kisah tragedy di Matkomnai setahun yang lalu, dan kisah-kisah dari Romo-romo yang berkarya di Papua, terlintas di benak saya mungkinkah ada solusinya? Namun saya tidak pernah menemukan jawaban yang tuntas. Tatkala saya memalingkan wajahku, kulihat salib besar yang dipasang di luar gereja. Salib itu setiap hari berdiri di sana , tetapi saya tidak melihat dengan mata iman. Kini, saat duduk sendirian di beranda, salib itu sepertinya berbicara kepadaku tentang pemberian diri Tuhan Yesus kepada kita. Salib adalah tanda pengorbanan Yesus dan cinta yang tuntas kepada kita. Salib juga adalah jalan untuk menemukan makna, dan arti hidup manusia. Semakin lama saya melihat dan membayangkan salib Kristus, semakin saya mulai menemukan jawaban atas hidup dan pelayanan kita sebagai seorang kristiani. Cardinal Basil Hume dalam bukunya (“The mystery of the cross”, Dalton Longman + Todd, 2000), menulis (“...there, and there alone, is the solution, because behind the crucifix you see, with the eyes of faith, the outline of the risen Christ. That is the point and that is why a crucifix is such a lovely thing”). Saya yakin jawaban yang ditemukan oleh Kardinal Basil bukanlah tanpa alasan yang kuat, karena segala persoalan, kesulitan, beban hidup yang berat, dan padang gurun hidup yang kita hadapi dan alami akhirnya kita temukan keindahannya pada salib Kristus. Melalui salib, Kristus ingin menunjukkan cintaNya untuk kita. Dia tidak mempunyai dosa, tetapi dia melakukan semuanya itu sehingga setiap orang dapat mengalami keselamatan. “Tidak ada cinta yang lebih besar, dari pada cinta seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”.

Kadang saya merasa hidup dan berkarya di Papua sangat berat, karena kita sepertinya berada dalam situasi padang gurun, dan kesendirian. Apalagi merasa tidak berdaya menghadapi orang Papua, karena karakter mereka yang unik dan akses tempat tinggal mereka yang sangat jauh. Namun, dari berbagai pengalaman itu, saya semakin mengerti kata-kata Tuhan Yesus, barang siapa ingin menjadi pengikutiku, harus menyangkal dirinya, memikul salib dan mengikuti Aku. Tuhan Yesus sendiri menunjukkan jalan, memikul salib, dan mati di kayu salib. Namun kematiannya di kayu salib berakhir dengan kemenangan yakni kebangkitan. Saat itulah hidup kita dijiwai dengan semangat pengharapan, kegembiraan dan damai, karena setelah melewati padang gurun, pasti ada sumber air yang memancarkan kegembiraan, setelah masa kegelapan dalam hidup, pasti ada terang, setelah penderitaan ada kegembiraan, dan setelah kematiaan ada kebangkitan. Selamat menjalani masa prapaskah 2009.