Rabu, 04 Februari 2009

PRINSIP DAN TUJUAN HIDUP BERSAMA

Perbandingan antara Pandangan Orang Jawa dan Filsafat Aristoteles

Dewasa ini, dengan mencuatya aneka bentuk perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sarana komunikasi, peziarahan hidup manusia semakin berada pada dinamika perubahan yang sangat signifikan. Manusia lebih condong mengedepankan karakter individualitasnya di atas prinsip-prinsip tata hidup bersama. Tentu, fenomena ini tak terlepaskan dari fakta bahwa dengan segala bentuk perkembangan fasilitas dan trend gaya hidupnya, manusia telah terbukti mampu melalukan segala aktivitas hidupnya tanpa orang lain. Apakah fenomena ini harus dikatakan sebagai dampak positif dari proses mengalirnya peradaban manusia? Atau justru sebaliknya, apakah fenomena ini merupakan representasi kemunduran proses perjalanan peradaban manusia?
Kita akan merunut jawaban atas persoalan di atas dengan membandingkan dua latar belakang tradisi pemikiran yang berbeda, yaitu tradisi pemikiran Jawa dan tradisi pemikiran Barat. Dari tradisi pemikiran Jawa kita akan menelaah Pandangan Manusia Jawa tentang individu dan hidup bersama. Dan dari pemikiran barat kita akan menganalisa filsafat Aristoteles tentang kodrat manusia.

Tradisi pemikiran Jawa: tempat individu dalam tata hidup bersama
Tradisi Jawa mengakui otonomi invividu. Pengakuan ini terutama tercetus dalam sikap manusia Jawa yang menunjung tinggi hak-hak pribadi. Misalnya adalah hak yang berhubungan dengan tukar-menukar, hutang-piutang, pinjam-meminjam, pembagian warisan, dan lain sebagainya. Dalam perkara-perkara semacam itu manusia Jawa memiliki kesadaran yang sangat tajam.
Namun demikian, harus ditegaskan bahwa dalam pandangan manusia Jawa yang ditekankan tidaklah pertama-tama dimensi otonomi individu atau hak yang dapat dituntut, melainkan dimensi otonomi individu atau hak yang harus diberikan kepada orang lain. Prinsipnya adalah bahwa setiap manusia atau individu memiliki kewajiban menjunjung tinggi hak sesamanya demi kerukunan hidup bersama. Kerukunan dalam pandangan manusia Jawa merupakan prinsip yang paling utama.
Apa itu rukun? Rukun dalam tradisi pemikiran Jawa dipahami sebagai suatu keadaan dan sebagai suatu cara bertindak. Rukun sebagai suatu keadaan berarti keselarasan sosial, atau suatu keadaan di mana semua manusia berada dalam relasi damai satu dengan yang lainnya. Dan rukun sebagai suatu cara bertindak berarti bahwa setiap manusia berani mengorbankan atau menomorduakan kepentingannya sendiri demi kepentingan hidup bersama.
Mengapa dalam tradisi Jawa kerukunan mendapat tempat paling utama? Paling utama karena menurut manusia Jawa dengan kerukunan, maka aneka pertentangan baik itu yang terjadi dalam tataran pribadi maupun dalam horizon sosial, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya tidak terejawantah secara nyata. Rukun merupakan cara untuk menyelesaikan pertentangan-pertentangan antara individu-individu yang memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Kedua, kerukunan itu memiliki kedudukan sangat penting karena di dalamnya terdapat paham Jawa tentang keseimbangan emosional yang merupakan sumber kekuatan moral dan sosial.
Apa konsekuensi logis dari paham tentang kerukunan di atas? Konsekuensi logisnya, kepentingan individu menjadi relatif. Kepentingan individu tidak mutlak. Kepentingan individu tidak boleh ditekankan sampai menimbulkan ketegangan yang mengancam kerukunan atau keselarasan tata hidup bersama. Kerukunan berarti bahwa semua pihak harus mau berdamai. Oleh karena itu setiap individu tidak dimungkinkan mengajukan tuntutan-tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebaliknya setiap individu harus tunduk pada norma-norma kerukunan.

Aristoteles: hidup bersama merupakan representasi kepenuhan kodrat manusia
Tata hidup bersama dan natura manusia. Dua gagasan ini dalam filsafat Aristoteles merupakan satu kesatuan tema yang tak terlepaskan satu dengan yang lainnya. Ide tentang tata hidup bersama mengandaikan penjabaran tentang siapa itu (kodrat atau natura) manusia. Sebaliknya bagi Aristoteles, menjelaskan gagasan tentang kodrat manusia berarti juga menelaah ide tentang tata hidup bersama. Siapa itu manusia? Apa itu tata hidup bersama?
Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai makluk politik atau makhluk sosial. Maksudnya bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan kodrati tinggal bersama dengan manusia lain. Atau makhluk yang dapat menggagas hidupnya sendiri dalam kebersamaan dengan manusia lain. Apa dasarnya gagasan ini? Dasarnya adalah fakta bahwa manusia tidak mungkin hidup sendirian. Manusia tidak mungkin hidup tanpa kehadiran pribadi lain. Sebaliknya manusia senantiasa berusaha membangun kesatuan. Seperti yang tertuang dalam literatur sejarah penciptaan, kesatuan yang paling kecil dibangun antara pria dan wanita. Kesatuan ini kemudian memunculkan keluarga, lantas masyarakat dan negara.
Tata hidup bersama dengan demikian – menurut Aristoteles – merupakan sistem yang ada secara natural karena manusia membangunnya. Apa tujuannya? Tata hidup bersama dibangun oleh manusia-manusia sedemikian rupa supaya masing-masing individu tercukupi kebutuhannya. Maksudnya adalah kebutuhan yang tidak sekedar berhubungan dengan hal-hal fisik belaka, melainkan terutama yang dimaksudkan adalah kebutuhan yang langsung merujuk pada cita-cita tertinggi hidup manusia, yaitu the good life. Sampai pada titik inilah, Aristoteles berpendapat bahwa polis atau tata hidup bersama merupakan cetusan paling tinggi dari aktivitas hidup manusia dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan sosialitasnya. Mengapa? Karena di dalam sistem atau tata hidup bersama itulah natura atau kodrat manusia ditemukan.


Perbandingan antara Tradisi Pemikiran Jawa dan Filsafat Aristoteles
Di mana titik temunya antara pandangan manusia Jawa dan Filsafat Aristoteles tentang invividu dan tata hidup bersama? Baik Aristoteles maupun manusia Jawa, keduanya sangat menekankan pentingnya hidup bersama. Bagi manusia Jawa hidup bersama merupakan tatanan yang memiliki nilai tak terbantahkan. Segala kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan individu harus tunduk pada kepentingan yang lebih luas, yaitu kerukunan hidup bersama. Aristoteles juga menegaskan hal yang sama. Dengan berpondasi pada fakta bahwa manusia dalam kesendiriannya tidak mungkin mengejar cita-cita kesempurnaan dirinya, Aristoteles berpendapat bahwa tata hidup bersama merupakan cetusan paling tinggi dari segala aktivitas hidup manusia. Hidup bersama merupakan tatanan yang merujuk langsung pada natura manusia dengan cita-cita the good life-nya. Dan karena itu tidak mungkin manusia menegasi keberadaan sistem hidup bersama. Manusia yang menegasi atau menyangkal hidup bersama berarti menyangkal eksistensi dirinya sebagai manusia, karena tatanan hidup bersama adalah cetusan yang paling nyata dari kodratnya sebagai manusia.
Di mana letak perbedaannya antara pandangan manusia Jawa dengan pemikiran Aristoteles? Perbedaannya terletak pada cara memaknai tatanan hidup bersama di satu sisi, dan cara memandang kodrat manusia di sisi yang lain. Manusia Jawa memaknai sistem hidup bersama dengan cara mengorbankan otonomi individu. Di hadapan kepentingan hidup bersama, setiap individu harus menyangkal dan merelatifkan kepentingan-kepentingannya. Seorang tokoh Jawa yang bernama Pangestu menuturkan bahwa seorang manusia ketika berada dalam tuntutan-tuntutan norma hidup bersama, maka ia harus rela, menerima (nrima), legawa (bersikap luhur, tidak menolak), dan sabar. Setiap manusia Jawa memiliki tugas untuk menjunjung tinggi sikap-sikap ini, karena sikap-sikap ini merupakan piranti yang akan mengantarkan seorang manusia pada keselarasan hidup dengan sesamanya.
Berbeda dengan manusia Jawa yang memaknai hidup bersama sebagai sebuah sistem yang kepadanya mereka harus menundukkan dirinya, Aristoteles memandang bahwa tata hidup bersama merupakan sistem yang tercetus karena kehendak masing-masing individu. Individu-individu menghendaki dan membangun sendiri sebuah tata hidup bersama karena – menurut Aristoteles – mereka menyadari bahwa memang di situlah (dalam kebersamaannya dengan yang lain) kepenuhan kodratnya sebagai manusia dapat tertuang secara sempurna. Dalam logika berpikir semacam ini, kemudian tata hidup bersama tidak dipandang oleh individu-individu sebagai tirani yang menghambat dirinya dan kebebasannya untuk mengaktualisasikan dirinya. Sebaliknya sistem hidup bersama justru dipandang sebagai piranti yang akan meniscayakan terejawantahnya the good life, atau self sufficient, atau happiness, sebagai cita-cita tertinggi hidup manusia.
Sekali lagi, sistem hidup bersama – menurut Aristoteles – dibangun pertama-tama agar kebutuhan anggota-anggotanya terpenuhi. Dalam konteks ini individu-individu dipandang sebagai sungguh-sungguh subjek pengelolanya. Oleh karenanya partisipasi aktif anggota-anggota sistem hidup bersama sangat diperlukan. Sampai pada titik ini terlihat secara jelas juga adanya perbedaan antara pemikiran manusia Jawa dan pemikiran Aristoteles. Dalam pemikiran Aristoteles peran aktif masing-masing anggota tata hidup bersama pertama-tama muncul dari kodrat manusia yang memang menghendaki adanya sistem hidup bersama. Sedangkan dalam pemikiran manusia Jawa, apa yang disebut partisipasi aktif dalam menjaga dan mengelola sistem hidup bersama berarti sebuah pengorbanan atau penegasian kepentingan-kepentingan diri sendiri.

Penilaian terhadap fenomena individualisme
Aristoteles dan paham Jawa, keduanya sangat menjunjung tinggi prinsip hidup bersama. Terlepas dari aneka perbedaan cara memaknai hidup bersama, keduanya memandang bahwa hidup bersama merupakan nilai yang memiliki kedudukan sangat penting bagi setiap manusia. Dan karenanya harus diperjuangkan oleh setiap manusia.
Dalam frame pemikiran semacam ini maka dapat dikatakan bahwa individualisme merupakan aliran yang sangat bertentangan dengan hakekat manusia di satu sisi, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup bersama di sisi yang lain. Di mana letak pertentangannya? Pertentangannya terletak pada cara mendefinisikan hakekat atau jati diri manusia. Atau dalam bahasa Aristotelian, natura manusia. Dalam individualisme manusia didefinisikan sebagai aku egois. Maksudnya adalah aku yang bertindak hanya demi dan untuk aku sendiri. Tindakan semacam ini menyisihkan kehadiran pribadi lain, menyangkal kepentingan pribadi lain, dan menegasi keberadaan pribadi lain.
Dalam pemikiran Jawa dan juga dalam filsafat Aristoteles, khazanah “aku” juga tercetus dengan jelas. Namun dalam kedua pemikiran ini (Jawa dan Aristoteles) “aku” tidak didefinisikan dengan aku egois, melainkan “aku” subjek. Aku subjek berarti aku yang berpikir dan bertindak sebagai pelaku sejati kehidupan. Aku subjek menyadari bahwa dalam kehidupan ada aku-aku lain, atau pribadi-pribadi lain, kepentingan-kepentingan dan peran-peran pribadi lain. Aku subjek memandang bahwa individu lain bukanlah sungguh-sungguh “lain” sebagai yang bertentangan dengan aku, melainkan sebaliknya justru menjadi alteritasku. Maksudnya, orang-orang lain adalah juga subjek-subjek lain, yang sama dengan aku yang adalah subjek. Pendefinisian semacam ini akan tidak muncul dalam aliran individualisme. Dan justru karena itu individualisme sangat menyepelekan apa yang disebut dengan tata hidup bersama. Dalam individualisme, hidup bersama hanyalah dipahami semata-mata sebagai sejumlah individu-individu, tetapi tidak merupakan sebuah keseluruhan atau kesatuan yang nyata.

PUSTAKA

1. Dr. Phil. Franz Magnis Suseno SJ, dan Dr. S. Reksosusilo CM, Etika Jawa Dalam Tantangan: Sebuah Bunga Rampai, Kanisius, Yogyakarta, 1983
2. DRS. Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, Intidayu Press, Jakarta, 1984
3. Dr. Purwadi, M.Hum dan Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum, Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai Kebijakan Tradisional, Panji Pusaka, Yogyakarta, 2006
4. Bryan Magee, The Story of Philosophy, (terj), Kanisius, Yogyakarta, 2008
5. Dr. Armada Riyanto CM, Filsafat Politik/Kenegaraan (Filsafat Pancasila), STFT Widya Sasana, Malang, 2000
6. FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Yogyakarta, 1992
7. Niels Mulders, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kulturil, Gramedia, Jakarta, 1984
8. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996


Tidak ada komentar:

Posting Komentar