Rabu, 04 Februari 2009

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN KECERDASAN SPIRITUAL

Seiring dengan berkembangnya perabadan manusia, semakin berkembang pula aneka ilmu dan pengetahuan tentang kepemimpinan. Dalam tulisan yang singkat ini, saya akan menampilkan beberapa point refleksi tentang kepemimpinan yang selama ini saya terapkan dalam lingkup tugas pelayanan saya. Namun di sini saya tidak bermaksud merepresentasikan sebuah teori baru dalam kepemimpinan. Mungkin apa yang akan saya tuangkan hanya berupa sintesa dari pelbagai macam prinsip kepemimpinan yang sudah banyak berkembang dan digunakan di mana-mana. Namun demikian, sebagai sebuah pondasi refleksi, saya akan menggunakan teori kecerdasan spiritual.
Sesuai dengan tugas kepemimpinan yang saya emban, maka ruang lingkup dan konteks refleksi yang akan saya cermati dalam tulisan ini ada dua, yaitu kepemimpinan di paroki dan kepemimpinan di lembaga perburuhan.

I. PANORAMA KONTEKS KEPEMIMPINAN
Dua belas tahun yang lalu, ketika saya masih menjalani masa pembinaan awal di Seminari Tinggi, Pimpinan saya sering mengulang-ulang pertanyaan ini: “Tekamu mrene arep ngopo?” (kamu datang ke sini mau apa?) atau “Apa yang sesungguhnya kamu kejar dalam hidupmu?” Dalam kesempatan berkomunikasi secara personal, beliau menjelaskan alasan mengapa pertanyaan reflektif itu ditanyakan berulang-ulang. Sambil menunjuk sebuah pohon yang tumbuh persis di atas tebing, beliau mengatakan bahwa pohon itu sengaja ditanam di atas tebing agar ketika hujan datang, tanahnya tidak mudah longsor karena terlindungi dan tertahan oleh akar-akar pohon itu.
Sekarang saya mulai mengerti mengapa Pimpinan saya melontarkan secara terus-menerus pertanyaan yang sama. Rupanya, beliau ingin agar saya menjadi pribadi yang kokoh; pribadi yang memiliki fokus hidup yang jelas; pribadi yang memiliki visi atau tujuan hidup yang mendalam; pribadi yang murni dalam motivasi. Singkatnya, melalui personal mission yang dikemas dalam pertanyaan di atas, pimpinan saya menghendaki agar hidup saya menjadi sebuah panorama yang meniscayakan makna dan nilai. Bukan hanya makna dan nilai yang terarah kepada diri saya sendiri, melainkan – seperti halnya contoh pohon yang ditanam di atas tebing – terutama makna dan nilai yang terarah kepada sesama, lingkungan hidup, dan Tuhan.
Melalui refleksi yang konstan, ditambah dengan aneka pengalaman yang saya temukan selama saya menjalani pembinaan di Seminari di tahun-tahun berikutnya, dan pengalaman saya terlibat dalam tugas pelayanan sebagai imam hingga saat ini, saya semakin yakin bahwa apa yang menjadi harapan pimpinan saya itu merupakan kebutuhan yang sangat penting dan mendesak, bukan hanya untuk saya sendiri melainkan juga untuk sesama dan umat yang saya layani. Penting dan mendesak antara lain karena harapan pimpinan saya itu sangat dekat dengan apa yang menjadi kebutuhan umat yang saya layani dan bahkan kebutuhan semua manusia jaman sekarang. Bahkan saya berani menyimpulkan bahwa kebutuhan utama manusia jaman ini adalah kebutuhan akan makna dan nilai hidup. Saya akan mencoba memaparkan fenomena ini secara global dalam bidang-bidang pastoral atau kepemimpinan yang saya emban.

1.1. Kebutuhan makna dan nilai hidup dalam konteks pastoral pendampingan buruh.
Sebagai ilustrasi awal tentang konteks pastoral pendampingan buruh yang saya tangani, berikut ini saya paparkan sebuah fakta kehidupan dari salah seorang buruh yang bergabung dalam institusi saya. “Setelah lima tahun bekerja di sebuah pabrik sepatu di kawasan Surabaya Utara, Sumirah tetap saja menempati kamar kost 2 x 2,5 meter, dan tak memiliki apa-apa, juga dikampungnya. Keadaan buruh yang satu ini membangkitkan pertanyaan, apa yang menyebabkan kehidupannya sama sekali tak berubah. Orang bisa mengadilinya dengan malas, tak mau menabung, mungkin untuk foya-foya, dan sebagainya. Jawaban atas semua pertanyaan itu adalah pada kenyataan yang ia pertanyakan balik, "Uang 315.000 sebulan saat ini dapat apa Mas?" Sumirah hanya salah satu dari ribuan buruh Surabaya yang tak pernah menyentuh angka Upah Layak. la masuk kerja 5 tahun lalu dengan upah 8.000 per hari, berarti 208.000 per bulan. Kini ia menyentuh 12.120 per hari. la memaksa cukup hidup dengan angka tersebut sebagai uang makan, uang kost, uang untuk berpakaian, dana beli bedak seadanya. Bisa dimengerti kalau ia tak pernah membuktikan janjinya pada keluarga untuk mengirimkan sedikit biaya sekolah 3 adiknya di kampung. Ribuan buruh hidup jauh dibawah standart hidup layak.” Cerita singkat tentang kehidupan salah satu buruh ini, cukup representatif untuk menggambarkan kehidupan kaum buruh pada umumnya. Realitas kehidupan buruh seperti di atas, seringkali diperparah dengan aneka tekanan dan ancaman-ancaman dari pimpinan tempat mereka bekerja. Misalnya yang paling sering adalah ancaman PHK.
Bagaimana realitas kehidupan buruh seperti terpapar di atas itu terbentuk? Realitas di atas terbentuk karena gagalnya dinamika dialog antara poros negara atau pemerintah, poros pengusaha atau pemilik modal, dan poros masyarakat sipil atau buruh. Sudah bukan barang baru, bahwa pemerintah Indonesia identik dengan korupsi dan manipulasi. Bahkan institusi hukum dan perundang-undangan, yang seharusnya menjadi pilihan terakhir untuk mengejar kebenaran dan keadilan, tak terelakkan dari fakta-fakta dan kebiasaan korupsi dan manipulasi. Sementara itu, poros pemilik modal bekerja dengan prinsip pencarian untung sebesar-besarnya. Dalam proses ini tidak jarang faktor manusia (buruh) ditempatkan di bawah modal dan keuntungan. Bisnis dengan demikian tidak pertama-tama dilakukan untuk mengabdi kepada manusia, sebaliknya manusia diekspoitasi untuk mengabdi kepada bisnis. Dalam proses dialog antara poros-poros ini, buruh sebagai pihak yang hanya memiliki kekuatan tenaga, tidak memiliki pilihan lain kecuali harus mengalah dan menerima apa adanya segala keputusan yang disodorkan oleh poros pemerintah dan poros pengusaha.
Pribadi-pribadi yang “kalah”. Seperti inilah kurang lebih wajah dunia perburuhan yang saya hadapi. Siapa yang saya maksud dengan pribadi-pribadi yang “kalah”? Buruh merupakan cerminan pribadi-pribadi yang kalah, karena mereka selalu melihat dirinya sebagai pihak yang inferior, yang tidak berdaya, korban dari kesewenang-wenangan, penindasan dan ketidakadilan. Pihak-pihak yang duduk dalam pemerintahan juga merupakan cerminan pribadi-pribadi yang kalah, karena hidup mereka tidak lagi selaras dengan tugas dan panggilan mereka untuk melayani kepentingan masyarakat. Dan pengusaha juga merupakan representasi dari pribadi-pribadi yang kalah karena hidup mereka telah disetir oleh uang, dan bukan mereka yang menyetir uang.
Danah Zohar membahasakan mendefinisikan fenomena pribadi-pribadi yang kalah dengan terminologi keterasingan diri, atau fenomena alienasi diri. Maksudnya adalah situasi di mana hidup manusia dikendalikan dan dikuasai oleh sesuatu yang berada di luar dirinya. Atau hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh dirinya yang sejati. Sebagai konsekuensinya, manusia tidak lagi menjadi “tuan” atas dirinya sendiri. Sebaliknya manusia menjadi “hamba” bagi kekuasaan dan kekuatan di luar dirinya. Dan itu berarti bahwa manusia kehilangan makna dan nilai hidupnya sendiri.

1.2. Kebutuhan makna dan nilai hidup dalam konteks pastoral paroki.
Kehidupan umat di wilayah pelayanan paroki memiliki sekian banyak varian persoalan hidup. Tetapi kalau dirunut secara detail dari mana sumber utama persoalan itu mengejawantah, maka jawabannya adalah keluarga. Saya tampilkan di sini salah satu contohnya. “Meike adalah seorang siswa SMU kelas 2. Lahir dan hidup dalam keluarga yang kaya. Usianya saat ini masih 16 tahun. Sejak kelas 3 SMP, Meike sudah mengenal dunia diskotik. Perkenalannya dengan dunia malam itu berawal dari ajakan temannya. Karena di dunia diskotik merasa mendapatkan banyak teman, akhirnya Meike mulai terbiasa ke diskotik, bahkan tanpa teman sekalipun. Tidak jarang sepulang sekolah Meike tidak pulang ke rumahnya, melainkan pergi ke rumah teman-temannya yang dia kenal di diskotik. Meike lebih suka pergi ke diskotik atau ke tempat teman-temannya daripada tinggal di rumah, karena di rumah dia tidak pernah mendapat sapaan dan kasih sayang. Kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kakak laki-lakinya juga demikian. Hampir setiap hari dia sendirian di rumah. Kalau sekolah di antar jemput oleh sopir. Kalau pun ada kesempatan bertemu dengan keluarganya, maka yang terjadi bukan dialog yang enak, melainkan luapan kemarahan kepada Meike. Bahkan tidak jarang Meike dipukuli oleh ayahnya. Situasi semacam ini tidak ditemukan di diskotik dan di rumah teman-temannya. Di rumah teman-temannya dan di diskotik, Meike merasa sering mendapat sapaan yang menyejukkan, yang menghibur, yang mau memahami, dan seterusnya. Namun tanpa disadari, pelan-pelan Meike mulai terserat dalam pergaulan-pergaulan yang menyesatkan. Kini Meike sudah kecanduan narkoba, kecanduan rokok, kecanduan seks bebas, dan terbelit oleh hutang dengan teman-temannya. Dan ketika sadar akan situasi hidupnya, Meike hanya bisa menangis dan tidak mampu berbuat apa-apa. Mau mengandalkan keluarga? Tidak mungkin, karena kalau keluarganya tahu kondisinya, pasti dia dibuang dari keluarga. Pengandaian ini logis, karena bahkan dalam saat-saat normal saja keluarganya sudah tidak mau menerima kehadiran Meike, apalagi dalam keadaan Meike yang sudah hancur seperti itu, pasti dengan udah Meike dibuang oleh keluarga.”
Meskipun masih banyak keluarga yang baik, bahagia, dan sejahtera, namun kisah Meike dan keluarganya kiranya merupakan kisah yang senantiasa aktual dalam kehidupan umat yang saya layani. Di luar kasus yang dihadapi Meike dan keluarganya, kita masih bisa melihat kasus-kasus kecil mulai dari semakin berkembangnya keengganan untuk menempatkan dan memprioritaskan kehidupan beriman di satu sisi dan kecenderungan berkembangnya sikap-sikap konsumeris dan sekularis di sisi lain; kelesuan dalam hidup berkomunitas di satu sisi dan berkembangnya gaya hidup individualis di sisi lain; formalisme agama di satu sisi dan materialisme di sisi lain, stress, depresi, keputusasaan, dan seterusnya. Fenomena-fenomena ini merupakan fakta yang secara sporadis menghiasi panorama perjalanan hidup umat yang saya layani.
Apa sebenarnya yang hendak ditampilkan oleh pelbagai fenomena di atas? Alkoholisme, seperti yang dialami Meike, materialisme, konsumerisme, sekularisme, formalisme agama, merupakan representasi yang sangat konkrit bahwa manusia telah tercabut dari akar kesejatian dirinya. Dikatakan demikian karena - misalnya - dalam mentalitas materialisme manusia cenderung mengidentikkan dan menterjemahkan makna hidupnya dengan materi yang berlimpah. Dalam mentalitas alkoholisme bukan lagi manusia yang mengendalikan dirinya, melainkan obat-obatan terlarang, narkoba, dan sejenisnya itulah yang menguasai dirinya. Dan fakta-fakta ini sekaligus menggambarkan bahwa disposisi batin manusia dalam memaknai dan menilai hidupnya sudah semakin melemah.
Hal yang serupa juga dapat kita katakan pada fenomena-fenomena seperti depresi, stress, dan keputusasaan. Soren Kierkegaard - sebagaimana dikutip oleh Danah Zohar - menterjemahkan kepustusasaan sebagai penyakit yang menuntun pada kematian. Keputusasaan merupakan simbol bahwa manusia tidak lagi mempunyai antusiasme untuk hidup. Manusia yang putus asa adalah manusia yang melepaskan diri dari konteks kehidupannya. Manusia yang putus asa adalah manusia yang tidak mempunyai daya untuk memenangkan kehidupannya. Danah Zohar melukiskan situasi itu sebagai berikut: “Keputusasaan adalah pelepasan diri sepenuhnya dari kehidupan, semacam tindakan bunuh diri. Orang yang berputus asa telah menyerah, dia tidak dapat menemukan makna, benda, atau orang-orang yang cukup berharga yang patut ditanggapinya. Hari-hari yang dilaluinya merupakan rangkaian kesamaan yang kelabu, malam-malamnya sering berupa peristiwa-peristiwa mengerikan.”
Depresi, stress, dan keputusasaan dengan demikian hendak mengatakan bahwa manusia sungguh-sungguh tidak mempunyai daya untuk memaknai kehidupannya. Juga merepresentasikan fenomena bahwa manusia tidak lagi mempunyai perspektif yang pasti dalam hidupnya. Keputusasaan merupakan fenomena yang menunjuk pada hancurnya makna keberadaan diri manusia. Karenanya manusia dipaksa untuk berada dalam iklim ketiadaan makna dan nilai.

II. KECERDASAN SPIRITUAL: APA DAN MENGAPA?
Di atas saya sudah memaparkan aneka fenomena yang menampilkan semakin mendesaknya kebutuhan akan makna dan nilai hidup. Dengan makna dan nilai hidup saya maksudkan kebutuhan yang berkaitan dan merujuk langsung pada persoalan kecerdasan spiritual.
Apa itu kecerdasan spiritual? Dan mengapa kecerdasan spiritual? Danah Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai hidup, bukan dalam horison teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku konkrit atau dalam hamparan tantangan nyata hidup sehari-hari. Misalnya di tengah-tengah krisis kesehatan, pekerjaan, kualitas lingkungan hidup, relasi sosial, ekonomi, politik, moral, intelektual, dan seterusnya. Bahkan juga di tengah-tengah fenomena hidup yang diwarnai nada dasar kebahagiaan. Di dalam panorama hidup semacam itu kecerdasan spiritual pertama-tama menghadirkan diri sebagai sebuah pemicu lahirnya refleksi-refleksi kritis: Mengapa saya hidup? Apa makna hidup saya? Kepandaian saya? Keterampilan saya? Kesehatan saya? Kegagahan atau kecantikan saya? Kedudukan saya? Kesuksesan saya? Penderitaan saya? Kegagalan saya? Apakah hidup saya sunggguh-sungguh berharga? Dan seterusnya.
Selanjutnya - lebih dari ungkapan-ungkapan reflektif kritis - kecerdasan spiritual dimengerti sebagai kemampuan yang dengan itu manusia tergugah untuk menemukan panggilan hidupnya yang sejati. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang meniscayakan manusia untuk menemukan dan menghayati apa yang esensial dan eksistensial dalam hidupnya. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang dengannya manusia dimungkinkan untuk menemukan makna hidup yang mendalam, yang dapat mengatasi rasa nyeri, sakit, derita, dan maut sekalipun. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan yang bercorak transformatif, yang melampaui segala arti sementara, yang membimbing manusia untuk memiliki keberanian mengorbankan uang, kedudukan, kebebasan, dan lain sebagainya, demi pilihan dan makna tertentu yang lebih luas dan mendalam. Dengan demikian kecerdasan spiritual juga berarti kemampuan yang dengannya manusia tidak hanya terpaku pada apa yang ada, melainkan manusia memiliki disposisi batin yang kreatif dan terbuka pada nilai-nilai tertentu yang lebih mendasar.
Sudah barang tentu, pertanyaan-pertanyaan personal ini pada gilirannya juga akan bersentuhan dengan realitas yang berada di luar diri manusia, yaitu sesamanya dan dunia di mana manusia itu hidup. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia juga adalah makhluk mondial. Eksistensi sesama dan dunia - dalam arti tertentu - merupakan faktor yang sangat berperan dalam mencitrakan hidup manusia. Dalam konteks hidup semacam ini kecerdasan spiritual pertama-tama dimengerti sebagai kemampuan dan keterbukaan manusia kepada sesama dan dunia di luar dirinya, yang sekaligus merangkum dirinya itu.
Namun demikian, apa yang disebut dengan kecerdasan spiritual bukanlah kemampuan yang berhenti pada kesadaran dan keterbukaan yang bertalian dengan dimensi personal, sosial dan kosmis. Sebaliknya - dengan bertolak pada kematangan dimensi-dimensi tersebut, kecerdasan spiritual lebih merupakan kemampuan yang dengannya mata manusia terbuka akan kehadiran prinsip utama yang mengutuhkan hidupnya, yaitu Tuhan. Inilah sebenarnya inti dari kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual menampilkan diri sebagai kemampuan - yang melalui pemahaman akan dirinya, sesamanya, dan dunianya - manusia sampai pada kesadaran Aintegratif@ dan Akontekstual@ akan kehadiran Pribadi Yang Mahabesar, yang mengatasi sesama, alam semesta, dan dirinya, tetapi juga yang sekaligus meresapi sesama, seluruh alam semesta, dan dirinya. Dengan terminologi integratif dan kontekstual hendak ditekankan bahwa panji-panji kecerdasan spiritual selalu mengisyaratkan adanya kemampuan Apenghayatan@ makna dan nilai hidup. Itu berarti bahwa makna dan nilai yang dirujuk oleh kecerdasan spiritual bukanlah semata-mata makna dan nilai yang berhenti dalam keterpesonaan manusia pada romantisme kontemplasi teologis. Melainkan makna dan nilai itu pertama-tama adalah sebuah pengintegrasian antara refleksi dan aksi; perkawinan antara apa yang dikontemplasikan dengan apa yang aktual; kesatuan antara credo dan sikap hidup sehari-hari. Dengan kata lain corak disposisi yang menjadi kriteria kecerdasan spiritual adalah corak disposisi manusia yang bertanggung jawab pada hidupnya, dan bukan manusia yang melarikan diri dari kehidupan konkritnya. Juga manusia yang semakin berdedikasi pada kebahagiaan sesamanya dan pembangunan lingkungan hidupnya.

III. KECERDASAN SPIRITUAL DALAM KEPEMIMPINAN
Sebenarnya ada banyak cara dan kemungkinan yang bisa kita gunakan untuk membangun dan menumbuhkan kecerdasan spiritual dalam konteks kepemimpinan. Dalam bagian ini saya hanya akan mensharingkan dua bentuk pengalaman pengembangan kecerdasan spiritual dalam konteks kepemimpinan saya. Dua bentuk pengalaman itu adalah dengan menciptakan ruang dialog dan yang kedua melalui keteladanan hidup.

3.1. Menciptakan ruang dialog
Chris Miller, CEO Angilan Water di Inggris, mengatakan, “jika Anda benar-benar ingin menjadi seorang pemimpin, hal pertama yang harus Anda pahami adalah diri Anda sendiri.” Pada titik inilah saya memulai untuk menerapkan point-point kecerdasan spiritual. Sepenuhnya saya sadar bahwa kecerdasan spiritual bukanlah materi atau tema atau ide yang dapat saya sampaikan melalui pengajaran, atau rekoleksi, atau seminar, atau yang semacamnya. Dalam konteks kepemimpinan, kecerdasan spiritual sebenarnya merupakan piranti praktis untuk mendulang sebuah kedalaman hidup. Dan ini harus diawali dari diri sendiri.
Di sisi lain, saya menyadari bahwa jika saya terlalu lama berkutat dengan diri sendiri dan menunggu hingga saya memiliki kesempurnaan, lantas pada tahap selajutnya mulai mengajak orang lain untuk mulai menampilkan point-point kecerdasan spiritual, itu juga bukan keputusan yang bijak. Mengapa? Karena hampir setiap saat saya bertemu dengan pribadi-pribadi yang memerlukan uluran ide baru untuk keluar dari aneka persoalan hidupnya.
Maka di tengah-tengah situasi bahwa saya harus terus merevisi diri di satu sisi, dan di sisi lain saya harus melayani pribadi-pribadi yang datang kepada saya, kepemimpinan lantas pertama-tama saya maknai sebagai sebuah ruang dialog. Dalam dialog tidak ada lagi batasan yang sangat ketat bahwa saya adalah guru dan orang lain murid, atau saya adalah pemimpin dan orang lain bawahan, atau saya adalah orang yang tahu dan orang lain tidak tahu. Sebaliknya dengan ruang dialog saya maksudkan bahwa relasi antara saya dan orang yang saya layani lebih sebagai relasi kemitraan; relasi yang saling memahami, dan bukannya mengetahui; relasi yang saling mencari, dan bukannya memberi jawaban; relasi yang saling berbagi, dan bukannya menang atau kalah; relasi yang setara, dan bukannya atasan bawahan; relasi yang dipondasikan pada sikap penghargaan dan cinta, dan bukannya kekuatan; relasi yang saling mendengarkan, dan bukannya membuktikan kebenaran pendapat. Dengan cara ini, maka bukan hanya orang lain yang belajar dari saya, melainkan juga saya banyak menimba pengalaman yang berharga dari orang lain. Dalam iklim relasi dialogal semacam itu, kecerdasan spiritual kemudian lebih merupakan frame yang berfungsi sebagai pondasi dan penuntun proses penemuan makna dan nilai kehidupan.

3.2. Keteladanan Hidup
Seperti yang sudah saya tegaskan di atas, kecerdasan spiritual bukanlah sesuatu yang dimaksudkan sebagai piranti teoritis. Sebaliknya dalam konteks kepemimpinan, kecerdasan spiritual lebih merupakan piranti praktis untuk sebuah tujuan eksplorasi diri ke arah hidup yang lebih kaya akan makna dan nilai. Pada titik ini, keteladanan dan kesaksian hidup merupakan sesuatu yang sangat penting. Dengan itu dimaksudkan bahwa saya, sebagai seorang pemimpin, dituntut untuk menghadirkan diri sebagai insan yang sungguh-sungguh memiliki komitmen dan konsistensi dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan spiritual. Dengan demikian eksplorasi kecerdasan spiritual bukanlah sekedar proses yang keluar dari konsep-konsep teoritis. Melainkan terutama merupakan proses yang didasari oleh kesaksian saya yang nyata dalam menerapkan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam perilaku hidup sehari-hari.
Misalnya, di tengah-tengah realitas hidup umat yang mulai merepresentasikan fenomena kekalahan terhadap dirinya – seperti yang saya uraikan di atas – saya berusaha untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki kehendak kokoh untuk terus mengenal diri. Juga sebagai pribadi yang memiliki konsistensi untuk menghayati panggilan dan tujuan hidup saya yang sejati. Pribadi yang mempunyai antusiasme hidup. Kegairahan hidup. Semangat hidup. Bergembira. Pribadi yang selalu berusaha menampilkan paradigma yang terbuka. Pribadi yang memiliki tanggung jawab yang kokoh atas apa yang harus saya kerjakan dan berani menanggung resiko sebagai konsekuensi logis dari perbuatan saya.
Atau di tengah-tengah berkembangnya kecenderungan yang menjunjung tinggi aliran materialisme dan sekularisme, serta formalisme agama, saya berusaha untuk menampilkan diri sebagai pribadi yang memiliki kekonstanan dalam menjalin relasi harmonis dengan Tuhan, meluangkan waktu untuk secara personal berbicara dengan Tuhan; sebagai pribadi yang sepenuhnya sadar bahwa hanya dalam persatuan dengan Tuhan maka hidup saya menjadi bermakna dan bernilai; sebagai pribadi yang juga sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya prinsip dan kekuatan yang mengenal dan menerangi delik-delik jalan terbaik bagi hidup saya.
Dalam konteks dunia perburuhan yang sangat akrab dengan mentalitas koruptif-manipulatif terhadap harkat, martabat, dan hak-hak hidup sesama, maka saya selalu berusaha untuk memperhatikan kaum buruh; mengembangkan dan memberdayakan kaum buruh; mengupayakan relasi yang adil, yang tulus, dan jujur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Arie Jan Plaisier, Manusia Gambar Allah: Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999
2. J. Inocencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Kanisius, Yogyakarta, 1986
3. Robert H. Lauer, Social Problems and The Quality of Life, Wm. C. Brown Company, Lowa, 1982
4. Bob Garon, Dinamika Kehidupan Yang Bahagia, Nusa Indah, Ende, 1986
5. Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, (terjemahan: Rahmani Astuti), Mizan, Bandung, 2000
6. B.S. Mardiatmadja, SJ., Panggilan Hidup Manusia, Kanisius, Yogyakarta, 1982Sukidi, Kecerdasan Spiritual, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
7. Henri J.M. Nouwen, Pandanglah Wajah Kasih Allah: Spiritualitas Seni Ikon, Kanisius, Yogyakarta, 2003
8. Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, jakarta, 1985Victor Barnouw, Culture and Personality, Dorsey Press, USA, 1973
9. Catechism of The Catholic Churc, Veritas, Ireland, 1994
10. Louis leahy, Horizon Manusia: Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan, Kanisius, Yogyakarta
11. Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual Capital, Mizan, Bandung, 2006
12. A.M. Mangunhardjono, Pendampingan Kaum Muda, Kanisius, Yogyakarta, 1986


Tidak ada komentar:

Posting Komentar