Senin, 08 September 2008

KAUM MUDA, MAHKOTA GEREJA

Oleh Rm. Werang CM
Hari sudah agak malam. Pintu pastoran belum aku tutup. Aku masih sibuk memasak nasi untuk makanan malamku. Aku dengar langkah kaki orang mendekat, dan segera itu pintu pastoran diketok. Aku segera meninggalkan masakan dan menemui tamuku. Ternyata Linus, koordinator mudika paroki kami. Kupersilakan dia masuk dalam ruangan pastoran. Ia hanya datang dan ingin bercerita tentang perjuangannya membawa kaum muda bangkit dan hidup lagi. Ia sendiri bingung bagaimana membawa kaum muda bangkit kembali, terlibat di dalam kehidupan menggereja, hidup berkomunitas dan di rumah mereka sendiri. Kebanyakan kaum muda terbius dengan gaya hidup sekarang ini, penggunaan narkoba, minum-minuman yang memabukan, judi dan lain sebagainya. Katanya kepadaku. Dia sendiri juga bingung apa yang harus dilakukan. Namun lebih dari itu, kebanyakan kaum muda tidak mengambil bagian dalam kehidupan menggereja dan memilih kegiatan yang berseberangan dengan kehidupan mereka karena mereka bingung dengan hidup mereka sendiri. Pada akhirnya mereka mencari bentuk-bentuk pemuasaan diri yang membahayakan masa depan mereka. Aku mencoba mendengarkan sharing dari Linus, dan berjanji kepada dia untuk mengadakan sharing bersama dengan teman-temannya lagi dalam pertemuan yang akan kami adakan. Setelah dia membagikan apa yang menjadi perhatiaannya, dia pamit dan pulang ke rumahnya.
Aku kembali ke tempat masakanku mulai mengambil nasi, dan ikan kaleng yang sudah matang. Kunikmati makanan itu, sambil merenungkan apa yang disharing Linus kepadaku. Aku sungguh-sungguh berterima kasih, ada orang muda yang masih punya komitmen untuk teman-temannya, berjuang bagi kaum muda untuk menemukan kembali nyala kasih di dalam kaum muda itu sendiri.

Kekayaan Gereja
Dalam surat pastoral para uskup Papua New Guinea dan Salomon Island menyebutkan bahwa kaum muda adalah kekayaan, kegembiraan dan mahkota kami saat ini. Dengan kata lain, kaum muda adalah rahmat yang berharga bagi gereja dan bangsa saat ini. Merenungkan surat pastoral para uskup, terbersit kekaguman betapa gereja memiliki perhatian yang serius terhadap kehidupan kaum muda saat ini. Gereja menyadari bahwa kaum muda adalah harapan masa depan gereja, penerus untuk melanjutkan misi Gereja di masa yang akan datang. Tanpa sentuhan dan sapaan dari Gereja, kaum muda semakin menjauh dari Gereja, untuk tidak mengatakan bahwa mereka semakin membenci gereja, karena tidak menemukan dan menghantar mereka menemukan makna hidup mereka yang sebenarnya. Mereka terjerumus dalam arus jaman yang menawarkan segala kemudahan untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi miskin akan semangat rohani.
Jean Vanier dalam bukunya (“Eruption to Hope”, Toronto, 1971) mengatakan bahwa sejak sepuluh tahun yang lalu ia berbicara tentang krisis dunia, imbas juga pada kaum muda. Krisis dunia itu masih terjadi sampai sekarang ini yang ditandai dengan banyaknya kaum muda yang drop out dari sekolah, meninggalkan universitas, dan kebanyakan dari kaum muda menolak system pendidikan yang mendikte mereka. Melakukan tindakan kekerasan, pembunuhan, bunuh diri dan berbagai tindakan anarkis lainnya. Puncak pelarian mereka adalah menjadi hamba dari penggunaan narkoba dan free sex. Mereka merindukan sebuah dunia yang bebas, tetapi kebebasan itu sendiri telah memenjarakan dan menghancurkan hidup mereka sendiri. Disini kita lihat bahwa orang muda gagal memaknai suatu nilai kebebasan. Kenyataan akan krisis dunia itu masih dirasakan sampai saat ini. Arus globalisasi, dan sekularisme memporakporandakan segala tatanan moral yang sudah dibangun selama ini. Aneka ajaran moral mulai dipertanyakan, karena kaum muda tidak lagi mengikat diri pada suatu institusi, tetapi memilih mengabdi pada kebenaran sendiri. Pemujaan individualisme menjadi sangat mengemuka. Kaum muda melihat bahwa selama ini institusi-institusi mengikat mereka, sehingga mereka tidak lagi memiliki ruang gerak yang bebas untuk mengekspresikan diri. Alih-alih, sikap pengagungan diri sendiri menjadi sangat kental dalam diri orang muda. Dalam Film “Secret” yang akhir-akhir ini beredar di dunia, ditayangkan dengan sangat menawan dan meyakinkan akan kebenaran mutlak pada diri sendiri. Seolah-olah manusia adalah penguasa tunggal akan keberadaan dirinya sendiri, tanpa ada campur tangan dari luar. Dengan kata lain, film “Secret” mempromosikan sikap penegasian akan keberadaan Allah adalah contohnya. Ini semua adalah pengaruh gerak sekularisme saat ini. Paus Benediktus XVI, mengatakan sekularisme adalah musuh kristianitas (Tablet, March 2006), karena sekularisme mengajarkan sebuah doktrin akan suatu pengagungan pada diri sendiri dan melucuti semua nilai-nilai universal yang dipegang teguh oleh agama.
Di tengah krisis dunia saat ini, baik Jean Vanier dan Paus Benediktus XVI mengatakan bahwa sebagai orang kristiani kita harus tetap mewartakan Yesus sebagai pusat pengharapan hidup kita. Di tengah dunia yang mengabaikan nilai-nilai universal, Yesus tetap menjadi nilai utama dalam hidup kristianitas. Karena Yesus satu-satunya harapan dan tempat kita menemukan nilai-nilai kebenaran dan makna hidup sejati kita sebagai orang beriman. Apa yang dikatakan oleh dua tokoh ini sungguh-sungguh mengalir dari kedalaman hati mereka dan perhatian mereka akan tantangan jaman yang dihadapi oleh orang-orang kristiani saat ini, dan kaum muda khususnya.

Hadir Bersama mereka
Dalam injil Lukas 24:13-35, dikisahkan tentang dua orang murid Yesus yang kembali ke desa mereka yang bernama Emaus, karena kecewa dengan wafat dan kematian Yesus. Di tengah jalan mereka berbicara tentang apa yang terjadi dengan Yesus, guru mereka. Saat seperti itu Yesus datang dan berjalan bersama dengan mereka. Inisiatif pertama-tama datang dari Yesus sendiri yang hadir diantara mereka. Kisah dua orang murid dari Emaus membawa kita dalam permenungan tentang kaum muda. Cermin dua murid Yesus adalah wajah kaum muda kita yang kecewa dan bingung, dan memilih melarikan diri dari dunia nyata ke dunia yang lain yang lebih menjanjikan hidup mereka. Namun, kita lihat bahwa Yesus datang dan hadir bersama mereka di tengah segala kegelisahan dan kegalauan hati mereka.
Hadir bersama kaum muda dan percaya kepada kaum muda adalah semangat di jalan menuju Emaus. Di jalan itu, kita dapat menunjukan perhatian, cinta, dan waktu kita dengan segala persoalan yang sedang dihadapi oleh mereka untuk meraih kepercayaan dari mereka. Pada saat kaum muda menyadari bahwa mereka sungguh-sungguh diperhatikan akan rahmat yang mereka miliki, entuasisme, kelemahan, keterbatasan, potensi dan tantangan untuk memperoleh kepenuhan hidup, di sana mereka akan mengapreasiakan kebaikan yang ada dalam diri mereka. Ini semua membutuhkan semangat dan bahasa hati. Hendri J.M. Neuwen menulis yang diperlukan adalah “from heart to heart”. Ini merupakan kata kunci untuk masuk dalam dunia kaum muda yang sedang menghadapi kebingungan dengan segala aneka promosi modernisme. Semangat dari hati ke hati membuat kaum muda berani membuka hati mereka sendiri dengan apa yang menjadi perhatian kita, dan pertumbuhan mereka menuju kedewasaan kristianitas. Hadir bersama mereka juga mengandaikan sikap mendengarkan mereka. Setelah Yesus datang bersama mereka, Ia mengambil inisiatif untuk bertanya kepada mereka, apakah persoalan yang sedang mereka diskusikan di tengah jalan? Jesus bertanya kepada mereka untuk mendengarkan kegelisahan apa yang sedang mereka rasakan. Sikap mendengarkan mengandaikan tidak hanya membuka telinga kita, tetapi juga membuka pikiran dan hati kita untuk mendengarkan kerinduan, dan menemukan apa yang Allah minta dari kita untuk kita lakukan.
Bagi kita yang hidup di jaman modern, semangat mendengarkan adalah sesuatu yang membosankan. Mungkin kita memperhatikan mereka, tetapi seolah-olah mereka tidak ada, karena hati dan pikiran kita tidak berada di sana. Maka semangat Yesus yang mendengarkan suara-suara kaum muda harus mendapat ruang untuk diapreasiasi saat ini jika harta istimewa itu tidak hilang ditelan gerak perubahan jaman.

Mewartakan Kabar Gembira
Yesus mendengarkan ungkapan kecemasan dan kegalauan hati kedua muridnya, dan setelah itu menjelaskan kepada mereka makna Kitab suci sehingga mereka mengerti secara benar. Ketika kita memberikan perhatian kepada kaum muda, maka kita juga mewartakan Injil sebagai sumber kegembiraan bagi mereka. Paus Benediktus XVI dalam pesannya kepada kaum muda di seluruh dunia dalam kesempatan hari kaum muda sedunia yang kedua puluh tiga, 2008 di Sydney menyinggung: “Saya mengetahui bahwa kamu orang muda melekat di hatimu keinginan yang besar untuk mencintai Yesus dan kalian memiliki kerinduan untuk bertemu denganNya dan berbicara dengannya”. Dengan mengambil tema kaum muda “kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku (Kisah Para Rasul 1:8). Paus Benediktus mewartakan kegembiraan kepada mereka. Warta gembira ini menjadi momentum bagi mereka untuk menemukan harapan dan kegembiraan baru dalam diri dan hidup mereka.
Kaum muda hidup dengan segala impian dan kerinduan mereka, tetapi juga pada sisi yang lain mengalami kecemasan dan kegelisahan. Ditengah segala kecemasan dan kegalauan hati mereka, santapan rohani yakni Injil harus diwartakan sehingga mata dan hati mereka terbuka akan pesan-pesan Allah bagi hidup mereka. Pesan-pesan itu nyata yakni hidup mereka sangat berharga dan mereka dicintai oleh Tuhan. Dengan demikian mereka akan kembali untuk merenungkan hidup mereka dan berani memilih Yesus sebagai model hidup mereka. Karena melalui Yesus, mereka akan menemukan kebenaran dan makna hidup sejati mereka. Pada titik ini kita harus membantu mereka untuk memilih Yesus sebagai model hidup mereka melalui sikap dan teladan hidup kita, sehingga nyala kasih dan cinta tetap mekar di taman hati mereka, karena Yesus akan menunjukkan jalan menuju hidup sejati.

Merayakan dalam kebersamaan
Ketika saatnya kami mengadakan pertemuan dan berbagi pengalaman bersama dengan kaum muda, beberapa kaum muda berkisah tentang kegalauan dan kegelisahan mereka. Tanpa ragu-ragu mereka juga berbicara tentang kebingungan mereka, yang tidak pernah disapa, dan dianggap seperti orang yang tidak memiliki pengalaman. Namun, mereka masih memiliki pengharapan, ketika ada orang yang datang duduk, hadir dan mendengarkan mereka. Mereka yakin mereka dapat melakukan sesuatu yang berguna dengan memberi kepercayaan kepada mereka. Dari berbagi pengalaman dan sharing, akhirnya mereka memutuskan untuk mengambil moment untuk merayakan kebersaman dengan seluruh kaum muda dalam kegiatan “Gospel night”. Semua kaum muda dari sebelas stasi datang ke pusat paroki bersama-sama. Selama dua hari mereka tinggal di paroki, dengan segala kegiatan dan acara kaum muda. Perayaan ekaristi gaya kaum muda mereka tampilkan. Gereja didekorasi gaya kaum muda, dengan tarian-tarian tradisional yang mereka perkenalkan sebagai ekspresi dari hidup dan adat istiadat mereka. Mereka berbagi pengalaman dan bakat mereka melalui musik, menampilkan drama yang berhubungan dengan kitab suci, menampilkan lagu-lagu dan tarian-tarian tradisional mereka. Nampaknya sederhana, tetapi disana kebersamaan mereka sebagai kaum muda mereka rayakan. Mereka kadang tertawa bersama, ketika ada moment-moment dari drama yang menampilkan gaya hidup mereka sebagai orang muda. Tetapi ada saat-saat mereka hening ketika ada drama-drama yang menggugah semangat mereka untuk merenungkan kembali arti dan makna hidup mereka. Masing-masing kampung berusaha menampilkan yang terbaik, karena disana mereka ingin mengekspresikan pengalaman hidup mereka, dan bagaimana penghayatan mereka akan pencarian Allah dalam hidup mereka.
Paus Yohanes Paulus II, ketika menyambut kaum muda sedunia di Roma, mengatakan bahwa kaum muda, “kalian datang ke Roma bukan saja untuk merayakan kebersamaan sebagai kaum muda, atau melihat saya, tetapi lebih dari itu kalian datang mencari Allah”. Inilah kerinduan hati kaum muda saat ini. Kerinduan mereka untuk mencari Allah ini harus kita respon, sehingga mereka dapat menemukan Allah yang sungguh-sungguh mencintai mereka, yang dekat dengan mereka, yang ingin berbagi cinta dengan mereka. Kerinduan yang besar untuk mencari Allah ini harus kita tanggabi sehingga kita tidak kehilangan domba-domba yang berharga lagi di masa yang akan datang. Saat perayaan “Gospel Night” selesai, aku duduk sendirian lagi di pastoran, mataku terarah pada kehadiran Linus yang membawa kegalauan hatinya. Kecemasan dan kebingungannya telah menghantarkan aku dan kita untuk memiliki hati pada kaum muda. Hati yang datang, hadir bersama mereka dengan mendengarkan kegalauan dan kerinduan hati mereka. Hati yang datang, percaya kepada mereka, jika kita tidak ingin harta yang terlupakan itu hilang, karena di sana kaum muda adalah harta, dan mahkota kita juga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar