Senin, 08 September 2008

WHY GOD?

Oleh Rm Werang CM
Senja baru saja kembali ke peraduaannya. Awan berarak pulang, terbang bersama suara alam memberitakan kidung malam. Nyanyian malam yang mengisahkan tentang kesunyiaan hati warga Papua. Nyanyian yang tidak bisa didengar dengan telinga, tetapi hanya bisa dirasakan dalam lubuk jiwa insan yang mengalaminya.Malam tak ada cahaya lampu lagi di rumah-rumah. Saat di mana persediaan minyak tanah di rumah mereka sudah tidak ada lagi. Saat di mana mereka datang ke kota untuk mencarinya di sana , tetapi di kota pun sudah habis. Saat di mana, beberapa minggu hujan tidak turun di kota , sehingga menyebabkan sungai mengalami kekeringan, dan kapal tidak dapat masuk ke pelabuhan Kiunga. Maka satu-satunyanya harapan mereka adalah cahaya lilin untuk menerangi hidup mereka di malam hari. Demikian juga di pastoran, tak ada lagi nyala listrik, persediaan disel untuk generator sudah habis. Yang ada cuma nyala lilin kecil di pastoran.
Di jalan masuk menuju gereja, terlihat beberapa umat yang berjalan dengan nyala lampu senter yang bergegas menuju pastoran. Mereka datang ke pastoran untuk mencari lilin. Kebetulan malam itu, di pastoran juga persediaan lilin sudah tidak ada lagi. Biasanya persediaan lilin selalu ada, tetapi saat itu sudah habis. Kami lupa membelinya di kota . Aku tahu keluarga Joan dan Jack serta anak-anaknya itu sangat mengharapkan ada persediaan lilin di pastoran. Ketika kukatakan bahwa tidak ada lilin lagi, mereka hanya berkata “no problem father”. Mereka terus duduk di beranda pastoran dan bercerita tentang kehidupan keluarga mereka, tentang anak mereka, dan tentang tak ada cahaya lampu lagi di malam hari. Aku hanya coba mendengarkan kisah tentang kehidupan keluarga mereka. Tak ada kata yang dapat aku ungkapkan, karena aku tahu mungkin ini yang bisa aku lakukan adalah mendengarkan kisah kehidupan mereka.

Lorong-Lorong Gelap
Joan adalah seorang guru yang mengajar di Elementary School. Suaminya bekerja sebagai security. Mereka dianugerahi dua orang anak. Suatu saat, Jenevi, anak yang paling terakhir, jatuh sakit. Ini merupakan pukulan berat bagi keluarga mereka. Berminggu-minggu, dan berbulan-bulan, dia dan suaminya harus menjaga Jenevi di rumah sakit. Jenivi yang masih kecil itu tidak dapat menahan rasa sakit. Hari-hari dia hanya bisa menangis. Ayah dan ibunya bingung dan sedih melihatnya. Jenivi tidak dapat mengerti dan menghayati rasa sakitnya. Yang dia lakukan adalah menangis, dan kadangkala dia berteriak, karena merasakan sakit yang luar biasa. Hari-hari Ayah dan ibunya hanya berdoa dan berdoa. Mereka sepertinya masuk dalam lorong-lorong hidup yang gelap. Tak ada terang yang memberi secercah harapan bagi anak mereka. Karena anak mereka terus menerus menangis. Keluarga ini sebenarnya takut, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Jenevi. Jenevi sebenarnya mempunyai saudari kembar, tetapi sudah dipanggil oleh Tuhan. Rasa takut akan pengalaman yang sama membuat mereka berada dalam lorong-lorong kehidupan yang gelap. Doa sebagai satu-satunya harapan dan tempat mereka berkanjang menjadi tumpuan hidup keluarga mereka. Namun lorong-lorong penderitaan yang dirasakan oleh anak mereka membuat mereka bertanya “mengapa Tuhan”? Sebuah pertanyaan bernada menggugat. Karena takut kalau anak mereka mengalami kelumpuhan atau mengalami nasip yang sama yang dialami oleh saudari kembarnya Jenevi.
Sebagai keluarga kristiani yang setia dan berani berkorban dan melayani sesama. Pertanyaan mengapa Tuhan, penderitaan ini harus dialami oleh anak kami? Bukankah kami sudah setia mengikuti engkau? Bukankah kami tidak pernah melupakan engkau? Bukankah kami setia melayani engkau? Bukankah kami selalu giat mengikuti setiap kegiatan rohani dan sangat aktif membantu kehidupan iman umat di paroki? Pertanyaan-pertanya an ini tidak pernah terjawab, mengapa penderitaan, rasa sakit, dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang setia kepada Allah, dan yang dermawan kepada orang lain? Namun akhirnya mereka menyadari misteri cinta Allah yang tersembunyi dan tidak dapat diketahui untuk saat ini. Mereka meyakini bahwa rencana Allah selalu indah bagi kehidupan mereka. Ada pesan dibalik semua penderitaan ini. Maka yang kami lakukan adalah terus berdoa. Malam hari kami melakukan doa bersama. Sebuah doa yang sederhana, mengingatkan bahwa pertolongan datang kepada kami dari Allah yang membuat langit dan bumi. Kami berusaha menemukan beberapa tindakan cinta untuk menghayati dan merasakan kehadiran Allah yakni melayani Jenevi dengan penuh cinta, hadir di tengah dia dan bersama dengan dia. Kami “menunggu” dan di dalam keheningan kami merasakan kasih Allah yang menyelamatkan. Lalu, sesudah itu kami melihat anak kami bisa tertidur. Kami tidak tahu apa yang terjadi keesokkan harinya, tetapi pada akhirnya kami merasa lebih baik. Lorong-lorong gelap itu tampak mulai ada cahaya, karena yakin bahwa pertolongan Tuhan datang pada waktunya. Dalam masa penantiaan menunggu, kami mencoba menghayati dalam keheningan. Di sanalah kasih Allah kami rayakan.

Pengalaman Getzemani
Ketika Yesus mengetahui bahwa dia akan menghadapi dan mengalami penderitaan, Yesus sungguh merasakan ketakutan yang luar biasa. Di taman Getzemani peluh darah mengalir di tubuhnya, karena ketakutan yang akan dihadapinya. Yesus berdoa sampai tiga kali. Bahkan Dia meminta para muridNya untuk menemani Dia dalam berdoa “tidak bisakah kamu bersamaku satu jam saja”? Yesus menggugat kesetiaan para muridNya. Namun akhirnya Dia menyadari karya perutusanNya “ Ya Bapa, biarlah piala ini berlalu dari padaKu, namun bukan karena kehendakKu, melainkan karena kehendakMu”. Tuhan Yesus sungguh-sungguh menyakini kasih BapaNya akan selalu menyertaiNya.
Saat mengalami penderitaan di Kayu salib, Tuhan Yesus merasa sendirian. Dia merasa ditinggalkan oleh BapaNya. “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Yesus memasuki lorong-lorong gelap, karena merasa ditinggalkan oleh BapaNya. Namun, lorong-lorong gelap mulai ada cahaya ketika Yesus meyakini dan pasrah kepada kehendak BapaNya. Dia diutus untuk melanjutkan karya perutusan BapaNya di surga. Karya dan perutusan ini harus dilaksanakan. Puncak karya perutusanNya adalah penderitaan, dan wafat di kayu salib. Pada titik ini Yesus menyadari dan mengetahui bahwa BapaNya mempunyai rencana yang indah bagi DiriNya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar