Minggu, 14 September 2008

KEJAHATAN DAN ATEISME

Kejahatan. Sebuah fenomena sekaligus fakta yang tak terlepaskan dari kehidupan manusia. Artikel singkat ini secara khusus bermaksud membicarakan soal itu. Yaitu bahwa sampai pada titik tertentu kejahatan merupakan salah satu pemicu lahirnya ateisme. Ada pelbagai bentuk dan perwujudan ateisme. Pada bagian pertama - dalam artikel ini - kita akan membahas soal itu. Termasuk di dalamnya kita akan mendefinisikan secara singkat paham kejahatan. Dan selanjutnya kita akan meminta pertimbangan Louis Leahy atas persoalan kejahatan dan ateisme. Pada bagian kedua akan diuraikan secara kurang lebih lengkap sikap Gereja terhadap ateisme. Dan bagian ketiga merupakan penutup. Yaitu sebuah kesimpulan kecil atas pembahasan tema kejahatan dan ateisme.

Pengantar

Semua manusia mengharapkan kebahagiaan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Namun idealisme semacam ini ternyata bukan sesuatu yang mudah untuk diejawantahkan. Bukan karena manusia itu sendiri tidak menghendaki, namun karena sering kali kehendak manusia itu harus berhadapan dan berbenturan dengan fakta lain yang sama sekali tidak dikehendakinya, yaitu fakta kejahatan.

Kejahatan hadir di tengah hamparan kehidupan manusia sebagai sebuah fakta yang tak bisa disangkal dan dihindari. Dalam konteks pemahaman dan penghayatan iman kristiani kejahatan dilihat sebagai problem teologi karena problem ini sering kali menghantar manusia kepada pertanyaan-pertanyaan mendasar perihal eksistensi Allah. Allah yang diyakini sebagai Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Bijaksana seakan-akan “dengan adanya kejahatan” tidak bisa ditemukan lagi. Akhirnya pada titik tertentu muncullah pelbagai pertanyaan fundamental yang bernuansa menyangsikan keberadaan Allah. Jalan pikiran yang tercetus dalam hal ini biasanya seperti berikut: “kejahatan ada, maka Allah tidak ada”.

Memang, runyamnya fenomena kejahatan sering kali merupakan pemicu lahirnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan eksistensi Allah. Berkembangnya realitas kejahatan dan penderitaan, sering kali selalu dibarengi dengan pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada sikap skeptis akan eksistensi Allah. Allah itu ada atau tidak? Kalau Allah itu ada mengapa Ia membiarkan bentuk-bentuk kejahatan itu berkembang di bumi ini? Di mana letak kemahakuasaan Allah? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang intinya berusaha mempertanyakan peranan Allah dalam aneka situasi kejahatan.
Penyangsian eksistensi Allah kiranya tidak hanya terjadi dalam dunia kaum ateis. Bahkan harus dikedepankan bahwa dalam dunia kita dewasa ini pun aneka pertanyaan yang bernada skeptis itu juga mengemuka dalam diri kaum agamis; kaum yang mengklaim dirinya sebagai insan beriman. Sungguh-sungguh ironis!!!

Aneka persoalan dan pergulatan yang terjadi dalam masyarakat gareja katolik itu pada akhirnya menggelitik penulis untuk memaparkan secara ringkas perlbagai pandangan dan solusi Louis Leahy tentang fenomena kejahatan dan ateisme. Aneka gagasan Louis Leahy ini kemudian akan kita padankan dengan pandangan gereja perihal ateisme. Dan akhirnya kita akan mencari beberapa kesimpulan reflektif atas keduanya.


I. PEMIKIRAN LOUIS LEAHY TENTANG KEJAHATAN DAN ATEISME

1.1. Arti Ateisme

Ateisme berasal dari kata Yunani “atheos”. Artinya tanpa Tuhan. Ateisme selanjutnya dipahami sebagai keyakinan atau pandangan bahwa Tuhan tidak ada. Ateisme juga diartikan sebagai disposisi sikap yang menyangsikan atau bahkan menolak adanya yang adikodrati, yang dalam agama dibahasakan dengan Tuhan.

Ada banyak aliran atau jenis ateisme. Antara lain ateisme naif, ateisme praktis, ateisme teoritis, ateisme postulatori, ateisme materialistis, ateisme positivistis. Ateisme naif adalah aliran yang berupaya menjelaskan fenomen-fenomen dengan sebab-sebab alamiah. Aliran ini ditandai oleh optimisme yang besar pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah kunci pembuka segala bentuk kebenaran. Tidak ada kebenaran yang tidak dapat dijangkau oleh imu pengetahuan. Konsekuensinya adalah tidak ada tempat lagi untuk agama yang diyakini sebagai “wahyu Ilahi”. Sementara seorang penganut aliran ateisme praktis mempunyai keyakinan akan adanya Tuhan, tetapi menolak Tuhan dalam cara hidupnya. Dalam hidupnya ia bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada.

Dengan demikian pengingkaran seorang ateis praktis terhadap adanya Tuhan tercetus dalam cara hidupnya. Sedangkan seorang penganut ateisme teoritis memutuskan bahwa Tuhan tidak ada. Secara negatif keyakinan ini muncul karena mereka tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Dan secara positif pendapat itu muncul karena sebuah penyangsian bahwa pembuktian eksistensi Tuhan sama sekali tidak memadai. Ateisme positif dapat juga muncul karena orang secara subjektif yakin bahwa Tuhan tidak ada. Aliran selanjutnya adalah ateisme postulatori. Mereka menolak adanya Tuhan karena diandaikan Tuhan mengancam nilai-nilai manusiawi atau nilai-nilai moral. Dan ateisme materialistis dan positivistis merupakan representasi konkrit dari bentuk-bentuk ateisme. Mareka menolak keberadaan dari yang rohani dan yang transenden.

1.2. Apa itu Kejahatan?

Louis Leahy, seorang pemikir yang berasal dari Quibec, mendefinisikan kejahatan sebagai sesuatu yang secara objektif kurang sempurna, yaitu sesuatu yang secara fisik menyakitkan dan secara moral adalah dosa. Pengertian kejahatan yang semacam itu secara sangat ringkas dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan moral dan kejahatan fisik. Kejahatan fisik adalah kejahatan yang berhubungan dengan dunia material, yaitu kejahatan yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri manusia atau ulah manusia yang tidak lahir dari kehendak bebasnya. Misalnya kelaparan, banjir, cacat fisik, dan lain sebagainya. Kejahatan fisik sering juga disebut dengan penderitaan.

Sedangkan kejahatan moral adalah kejahatan yang dilakukan seserong dengan bebas di mana pelaku itu sendiri dengan sadar dan bebas memilih untuk melakukan suatu tindakan yang salah. Dengan demikian kejahatan moral selalu berhubungan dengan kebebasan dan kesadaran manusia sebagai pelaku yang bebas dan sadar. Contoh kejahatan ini adalah sikap tidak adil, tidak jujur, egois, dan lain sebagainya.

1.3. Solusi Teisme Tidak Memadai

Teisme berpendapat bahwa kejahatan itu merupakan kebalikan yang diperlukan untuk kebaikan yang lebih besar. Kejahatan itu ada supaya kebaikan dapat secara lebih jelas dilihat oleh manusia. Logika semacam ini dalam perkembangannya sulit untuk diterima, karena kebaikan itu sendiri sebenarnya tidak tidak bisa hanya dipahami sebagai sesuatu yang bergantung pada kejahatan. Bahwa orang yang menderita akan menjadi lebih kuat untuk penderitaan atau rasa sakit yang seperti itu kalau penderitaan atau rasa sakit yang sama muncul lagi, adalah tesis yang bisa diterima. Dapat diterima juga bahwa dalam perspektif spiritualitas kemalangan akan dapat memurnikan iman seseorang. Meskipun jalan pikiran semacam ini bisa diterima, harus segera ditegaskan bahwa bagaimana pun jalan pikiran semacam itu tetaplah merupakan solusi yang sangat fungsional dan sangat berbahaya. Sangat berbahaya karena dengan demikian teisme menggunakan logika yang akan membenarkan usaha-usaha yang dilakukan dengan cara mengorbankan yang satu untuk kebaikan yang lain yang lebih tinggi.

Pada perspektif lain teisme juga mengatakan bahwa kejahatan merupakan hukuman atau kutukan dari Tuhan. Tesis itu dapat juga dibenarkan, akan tetapi banyak sekali dalam peristiwa-peristiwa tertentu kita sangat sulit menerima pernyataan bahwa kejahatan itu merupakan hukuman dari Allah. Contohnya penderitaan yang menimpa orang yang aleh, bencana alam yang menimpa semua orang tanpa membedakan yang baik dan yang jahat. Dalam peristiwa-peristiwa alamiah campur tangan Allah tidak bisa dilihat secara mudah. Seperti halnya jika ada rem sepeda yang aus sehingga sepeda tersebut bisa saja menimpa semua orang, begitu juga tak peduli apakah orang itu jahat atau baik, kalau dia bekerja tanpa istirahat pasti akan jatuh sakit. Dalam persoalan-persoalan penderitaan semacam ini campur tangan Allah harus dilihat dalam perspektif tanggapan manusia atas peristiwa-peristiwa yang mereka alami.

1.4. Keberatan Atas Logika Ateisme

Ateisme menyangkal adanya Allah karena ada kejahatan di dunia. Kejahatan menurut ateisme merupakan tanda ke-tidak-dapat-nya di damaikan antara kemaha-kuasaan dan kemaha-baikan Allah dengan adanya kejahatan. Allah itu mahakuasa dan mahabaik, mengapa harus ada kejahatan yang bertolak belakang dengan eksistensi-Nya? Mengapa Allah membiarkan adanya kejahatan? Allah itu mahakuasa, mengapa tidak menghapus semua bentuk kejahatan? Manusia saja menolak kejahatan, mengapa Allah tidak? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini menuntun kaum ateis pada kesimpulan bahwa dari pada mempunyai Allah yang membiarkan kejahatan lebih baik tidak punya Allah sama sekali. Maka dengan adanya kejahatan, seandainya Allah ada sekali pun, Dia harus ditolak.

Kekeliruan ateisme terletak dalam cara mereka mempersepsi dan mengilustrasikan kemahakuasaan Alah. Allah memang mahakuasa. Akan tetapi bukan berarti bahwa Allah dapat melakukan segala sesuatu. Allah hanya bisa melakukan sesuatu yang tidak mengandung pertentangan intern. Dari pihak Allah sifat mahakuasa memperlihatkan kekuasaan penciptaan-Nya. Allah dengan kemahakuasaan-Nya yang tidak tergantung pada materi apapun membuat karya ilahi yang sungguh-sungguh tidak terbatas, dalam mana tidak bisa diterapkan pada manusia, karena manusia selalu bergantung pada materi yang sudah ada sebelumnya dan yang membatasinya. Dari pihak-pihak yang hendak diciptakan dituntut tidak adanya pertentangan intern, sebab Allah tidak bisa membuat sesuatu yang bertentangan dengan diri-Nya. Allah tidak bisa membuat atau merubah kodrat lingkaran yang adalah bulat menjadi lingkaran segi empat. Lingkaran segi empat bukanlah ada melainkan ketiadaan.


1.5. Solusi Atas Masalah Kejahatan

Masalah kejahatan yang menjadi keprihatinan semua manusia sebenarnya merupakan konsekuensi dari dunia yang tercipta. Dunia ini terdiri atas pelbagai macam makluk hidup dan materi lainnya yang sangat bervariasi. Ada-ada tersebut mempunyai kekhasannya sendiri, mempunyai hukum-hukumnya sendiri, sehingga kemungkinan terjadi suatu benturan atau tumbukan dan penghancuran merupakan suatu yang tak dapat dihindarkan. Demikian pula dalam relasinya dengan manusia, materi sebagai suatu ada mempunyai resistensi dan hukumnya sendiri. Dan manusia hanya bisa menguasainya dengan satu usaha dan karya yang keras bahkan menyakitkan. Misalnya orang bekerja secara terus-menerus tanpa istirahat pasti akan sakit, dan kondisi ini akan menimpa semua orang tanpa mempedulikan apakah orang itu jahat atau baik. Inilah hukum material. Hukum itu berlaku untuk semua orang. Dan sebenarnya justru dalam realitas inilah kita bisa melihat kemahakuasaan Allah itu. Andai kata dalam contoh di atas yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu manusia yang bekerja keras secara tak henti maka terus sehat, maka keteraturan dunia ini, di mana berlangsung sesuai dengan hukum alam, akan ternodai. Dan hal itu merupakan hantaman langsung yang menciptakannya, yaitu Allah.

Di samping sebagai konsekuensi atas hukum material, kejahatan dalam perspektif manusiawi dapat juga dilihat sebagai akibat realitas dunia manusiawi itu sendiri. Dunia ini didiami oleh individu-individu yang mempunyai corak dan karakter yang khas satu dengan yang lain. Sementara mereka dituntut oleh kodratnya untuk hidup berdampingan secara harmonis. Hidup berdampingan, apalagi dengan adanya kebebasan manusia, mengisyaratkan suatu kehidupan yang diwarnai suasana konflik. Kenyataan dunia inilah yang akan menjadi pemicu munculnya kejahatan dalam dunia manusia yang hidup.

Kenyataan bahwa manusia tidak dapat menerima adanya kejahatan dapat kita lihat dari adanya aneka bentuk pemberontakan terhadap kejahatan itu sendiri. Dan hal itu tidak hanya terjadi pada orang-orang beriman saja, akan tetapi juga pada kaum ateis. Perbedaan antara keduanya terletak pada akibat yang terjadi karena pemberontakan itu. Orang beriman dengan pemberontakannya akan mencari cara untuk tidak sampai pada penolakan eksistensi Allah. Mereka tidak berhenti pada pemberontakannya, melainkan berusaha terus untuk mencari jalan keluar untuk memahami penderitaannya dalam kaca mata iman. Dengan demikian kaum beriman sebenarnya mendasarkan sikap pemberontakannya pada suatu realitas yang tak terbatas dan seorang Pribadi, yaitu Allah sendiri. Sedangkan bagi kaum ateis, pemberontakan itu justru menuntun mereka pada jalan penolakan eksistensi Allah, karena pada dasarnya mereka sudah mempunyai keyakinan bahwa kejahatan itu sama sekali tidak bisa didamaikan dengan eksistensi Allah. Meskipun demikian keduanya sebenarnya ingin memberontak terhadap adanya kejahatan.


II. PAHAM DAN SIKAP GEREJA TERHADAP ATEISME

Dewasa ini gereja hidup dalam dunia yang sarat dengan nuansa modernisasi. Dan lebih dari itu, Gereja semakin menyadari bahwa dewasa ini terdapat tantangan yang hebat, yaitu merebaknya ateisme. Proses modernisasi yang tampak secara fisik, bukan hanya melahirkan pelbagai paradigma dan realitas sosial yang semakin majemuk atau plural, melainkan juga sering kali menggiring manusia pada benturan-benturan. Realitas kejahatan merupakan representasi dari sekian deret benturan yang merebak dalam kehidupan manusia. Bagaimana gereja mengambil posisi dalam persoalan ini?

Gereja sepenuhnya menyadari bahwa aneka perubahan mentalitas dan struktur-struktur sering kali menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan. Dan fenomena ini pada gilirannya akan menimbulkan pemberontakan dan kegelisahan. Lembaga-lembaga, hukum-hukum serta cara-cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para pendahulu sering kali memang tidak kontekstual dengan situasi saat ini. Akibatnya dalam masyarakat dewasa ini sering terjadi kekacauan yang besar mengenai cara-cara maupun kaidah-kaidah berperilaku.

Yang tak terhindar pula dalam hal ini adalah hidup keagamaan. Pelbagai perubahan yang sungguh-sungguh signifikan, yang terjadi dalam dunia dewasa ini secara langsung juga berimbas pada pola-pola penghayatan kehidupan beragama. Fenomena yang terlihat dalam hal ini adalah semakin banyaknya manusia yang mengupayakan tindakan-tindakan menjauhkan diri dari pengalaman agama. Dan kiranya dapat disimpulkan bahwa fenomena itu pada dasarnya bukan lagi merupakan kekecualian atau soal perorangan saja, melainkan sudah merupakan fenomena umum. Dengan ini Gereja hendak mengatakan bahwa pola-pola hidup ateistis merupakan gejala yang sungguh-sungguh meracuni kehidupan manusia modern.

Gereja berpendapat bahwa Ateisme apaun bentuknya merupakan aliran yang yang meniscayakan pengingkaran terhadap eksistensi Allah. Ateisme merupakan aliran yang mementingkan manusia; dan dengan demikian berupaya untuk tidak memberi ruang pada kehadiran Allah dalam hidup manusia. Ateisme mengedepankan disposisi semacam ini karena bagi kaum ateis agama sering dilihat sebagai cara hidup yang penuh rintangan karena tabu-tabu yag sakral; atau agama disamakan dengan khayalan-khayalan suci tanpa hubungan dengan realitas hidup manusia.

Di hadapan tesis-tesis semacam ini Gereja dengan tegas mengecam ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan kaum ateis. Mengapa? Pertama-tama karena ajaran dan tindakan kaum ateis dilihat sebagai sesuatu yang sangat bertentangan dengan akal budi dan pengalaman umum manusiawi. Kedua, karena ajaran dan tindakan kaum ateis sungguh-sungguh meruntuhkan martabat luhur manusia sebagai citra Allah. Gereja berpendirian bahwa pengakuan terhadap Allah sama sekali tidak berlawanan dengan martabat manusia sebab martabat manusia memperoleh dasarnya dan disempurnakan dalam Allah sendiri. Selain itu Gereja mengajarkan bahwa karena harapan akan jaman akhir, tugas-tugas duniawi bukannya berkurang pentingnya; sebaliknya penuaiannya justru diteguhkan dengan motivasi-motivasi baru. Sebaliknya bila manusia tidak memiliki dasar ilahi dan harapan akan hidup kekal, maka semua pergulatan hidup dengan segala macam bentuknya, seperti kejahatan, bahkan justru akan menjerumuskan manusia pada jurang keputus-asaan.

Dalam kaca mata semacam ini manusia dituntut untuk mentransformasikan semua pengalaman hidupnya. Manusia harus semakin menyadari bahwa kejahatan adalah fakta hidup manusia. Dan manusia tidak bisa mengelak dari fakta ini. Persoalannya adalah bagaimana manusia harus menanggapi fakta ini? Karena kejahatan adalah fakta hidup, maka manusia juga harus menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidup ini. Karena itu sebenarnya manusia tidak perlu terlalu mengedepankan aneka argumen yang begitu ekstrim dalam memandang kejahatan, dan serta merta menolak eksistensi Allah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan fungsi destruktif. Allah tidak menghendaki kejahatan. Kejahatan ada bukan pertama-tama karena Allah mengendaki demikian, melainkan terutama karena peran antagonis yang diperlukan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar. Kejahatan dan kebaikan diperlukan untuk menampilkan secara lebih jelas keindahan dunia dan kebaikan pada umumnya.
Gereja juga menegaskan bahwa kejahatan bukanlah hukuman yang berasal dari Allah. Allah tetap adil dan baik. Allah sekali-kali tidak menghukum manusia. Argumen ini memang kadang-kadang menimbulkan dilema: di satu pihak, sebagai orang beriman, kita harus tetap yakin bahwa Tuhan itu adil, baik, dan semacamnya; namun di pihak lain sebagai seorang manusia yang bermoral kita selalu berusaha memberontak terhadap kejahatan. Dalam konteks ini Gereja mengajak umatnya untuk merujuk pada pengalaman Ayub. Sangat jelas bahwa di tengah-tengah penderitaan yang dialami oleh Ayub, terdapat dua argumen yang kontradiksi. Orang-orang dekat Ayub berpendapat bahwa penderitaannya merupakan buah dari dosa-dosanya. Pendapat ini ditentang oleh Ayub, karena keyakinan bahwa dirinya tidak berdosa. Keyakinan Ayub memperoleh justifikasi dari Tuhan. Ini terlihat dari keberpihakan Tuhan pada Ayub. Dan pada akhirnya Tuhan membenarkan Ayub karena imannya.

Dalam perspektif lain, Gereja juga melihat bahwa kejahatan ada justru karena manusia menyalahgunakan kebebasannya. Allah bukannya enggan untuk turut campur tangan menepis kebebasan manusia yang cenderung destruktif. Allah sama sekali tidak melepaskan manusia setelah memberikan kebebasan kepadanya. Allah kita bukanlah Allah Deistis, yaitu Allah yang jauh, yang tidak mau ikut campur dalam perkembangan dunia. Allah selalu ada dalam setiap derap langkah kebebasan manusia. Namun sekaligus Allah tidak memaksa manusia dalam kebebasan-Nya untuk mengikuti jalan-Nya. Allah hadir dalam peristiwa hidup manusia untuk menawarkan jalan; dan dalam konteks ini manusia dengan kebebasannya adalah subjek yang menentukan jawabannya.

Dengan demikian, pelbagai bentuk kajahatan yang ada di dunia bukan tidak mungkin didamaikan dengan eksistensi Allah. Theilard de Chardin mengatakan bahwa dunia bukanlah sesuatu yang terjadi seketika. Dunia adalah itu yang sedang dalam proses menjadi pada setiap tarafnya. Dunia selalu bergeser dari tingkatan pengada yang berkekurangan ke tingkat pengada yang sempurna. Dalam proses ini kegagalan, pergulatan dan ketidak-sempurnaan merupakan bagian yang tak dapat dihindari. Perubahan itu mengandung kejahatan sebagai efek samping atau produk tambahan yang tak terelakkan. Tidak ada tata yang di segala tingkatannya tidak mengandung suatu ketidak-teraturan. Refleksi mengenai kejahatan dalam hubungannya dengan keterbatasan, keaneka-ragaman, kebebasan, evolusi ini kiranya merupakan langkah yang mencerahkan manusia. Sekurang-kurangnya sekarang manusia diharapkan untuk memiliki cakrawala yang lebih proporsional bahwa kejahatan di dunia ini bukanlah alasan yang cukup untuk mengingkari eksistensi Allah.


III. PENUTUP

Terdapat konsensus antara pemikiran Louis Leahy tentang kejahatan dengan sikap dan ajaran Gereja tentang Ateisme. Dengan ketidak-puasannya atas solusi teisme di satu sisi dan penolakannya atas paham ateisme di sisi lain, Louis Leahy berupaya memecahkan persoalan kejahatan dalam dua perspektif, yaitu perspektif hukum alam dan perspektif hukum manusia itu sendiri. Dengan kedua perspektif ini dimaksudkan bahwa kejahatan pertama-tama merupakan fakta alamiah dan manusiawi, dan sama sekali bukan bukti yang memadai untuk menyangsikan eksistensi Allah. Gagasan yang bernada serupa juga dikemukakan oleh Gereja. Di sinilah kita menemukan titik temu antara gagasan Louis Leahy dengan sikap dan ajaran Gereja tentang ateisme. Dengan tegas Gereja juga mengecam ajaran dan tindakan kaum ateis yang mendasarkan penolakannya atas eksistensi Allah karena fakta kejahatan. Gereja - senada dengan gagasan Louis Leahy - berpendapat bahwa manusia harus tetap - dengan sikap optimis - berani meneropong fakta kejahatan dengan cakrawala pandang yang lebih holistik-transformatif; betapa pun kejahatan merupakan fakta yang tiada hentinya membombardir keharmonisan kehidupan manusia; dan karenanya juga meniscayakan upaya-upaya pemberontakan dalam diri manusia.

Dengan cakrawala holistik-transformatif dimaksudkan sebuah keberanian dan keterbukaan hati manusia untuk melihat fakta kejahatan bukan pertama-tama sebagai fenomena absennya Allah, atau sebagai ke-tiada-anya Allah, melainkan terutama sebagai fakta yang sungguh-sungguh alamiah-manusiawi, yaitu sebagai bagian tak terelakkan dari sebuah proses penyempurnaan dunia di satu sisi dan sebagai buah penyalahgunaan kebebasan manusia di sisi lain. Dan atas dasar pemahaman ini Gereja mengajak semua manusia untuk tidak putus asa. Melainkan secara terus menerus mengupayakan motivasi-motivasi baru, yaitu meniscayakan sebuah pola hidup dan perilaku yang bersumber pada Yang Ilahi dan pada harapan akan kehidupan kekal.
Pemecahan akhir perihal kejahatan dan ateisme, baik yang tertuang dari gagasan Louis Leahy maupun dari Gereja, bagaimanapun juga tetap merupakan disposisi yang belum sanggup memuaskan sanubari semua manusia. Karena itu sebagai penutup makalah ini penulis berani berkata bersama Santo Agustinus. Santo Agustinus mengatakan bahwa misteri kejahatan atau pun misteri Allah tidak bisa hanya dipahami oleh pemikiran manusia yang pada dasarnya sangat terbatas. Sekiranya manusia dengan pemikirannya mampu menyingkap misteri itu, maka manusia akan menjadi lebih tinggi dari Allah. Atau sekurang-kurangnya mempunyai kedudukan sejajar dengan Allah. Hanya manusia Yesus yang mampu menyelami apa yang ada dalam pikiran Allah, akan tetapi itu pun tidak semua. Yesus sendiri mengatakan bahwa soal kapan hari kiamat akan datang hanya Allah yang tahu.

Kesadaran akan keterbatasan diri manusia inilah sebenarnya yang menjadi kunci semua pemahaman akan kemahakuasaan Allah. Sikap memberontak atau melawan segala macam bentuk kejahatan akhirnya hanya dapat dipahami sebagai proses yang menunjukkan bahwa manusia ini terbatas. Sekiranya semua manusia mampu sampai pada pemahaman atau cara berpikir ini, maka segala misteri Allah atau misteri kejahatan mana pun akan mampu juga didamaikan dengan realitas kehidupan manusia. Inilah tugas manusia. Manusia dituntut untuk merefleksikan keterbatasan dirinya, supaya dengan cara berpikir yang rasional sederhana pun, dia mampu menyelami hakekat kejahatan atau kemahakuasaan Allah di tengah-tengah kejahatan itu. Sekali lagi kesadaran semacam ini sangat penting karena sebenarnya keterbatasan kodrat manusia dalam memahami misteri Allah dan misteri kejahatan hanya mampu sampai pada titik “kemungkinan-kemungkinan”. Disiplin filsafat dan teologi yang mempunyai kompetensi dalam persoalan ini pun hanya mampu mengatakan mungkin dengan kejahatan itu Allah sedang murka, atau mungkin dengan kejahatan itu Allah hendak menguji kesetiaan manusia terhadap-Nya, seperti yang dilakukan Allah terhadap umat-Nya Israel pada jaman pembuangan, atau mungkin manusia justru akan memperoleh solusi yang bertolak belakang dengan imannya, yaitu bahwa dengan adanya kejahatan mungkin Allah juga mempunyai hakekat jahat, dan lain sebagainya. Aneka macam pendapat dan solusi itu tidak akan menggoncangkan disposisi iman manusia seandainya di dalam diri manusia itu sendiri sudah tercipta disposisi dan kesadaran yang kokoh mengenai misteri Allah. Allah itu sungguh-sungguh maha kuasa, sebaliknya manusia itu sungguh-sungguh makluk yang terbatas.


DAFTAR PUSTAKA

1. DR. Th. Huijbers, OSC, Manusia Mencari Allah, Kanisius, Yogyakarta, 1982
2. ED. L. Miller, Questiones That Matter, Mc Graw-Hill, Inc. New York, 1987
3. Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1991
4. Focus, edisi Pebruari, 1992
5. Focus, No.17, tahun VII, Maret 1993
6. Julius Runtu, Rasa Berontak Terhadap Kejahatan Sebagai Titik Tolak Suatu Jalan Menuju Pengakuan Eksistensi Allah, STFT Widya Sasana, Malang, 1993
7. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
8. Louis Leahy, Esai Filsafat Untuk MasaK Kini: Telaah Masalah Roh-Matei Berdasarkan Data Empiris Baru, Grafiti, Jakarta
9. Prof. Dr. Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Kanisius, Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, 1993
10. Prof. Dr. Louis Leahy, Manusia Di Hadapan Allah 3: Kosmos, Manusia dan Allah, B.P.K. Gunung Mulia: Jakarta, dan Kanisius: Yogyakarta, 1986
11. R. Hardawiryana, S.J. (Pentj), Dokumen Konsili Vatikan II, Obor, Jakarta, 1993





Tidak ada komentar:

Posting Komentar